A degan film Ada Apa Dengan Cinta 2, saat Rangga dan Cinta menikmati matahari terbit dari atas bukit berlatar depan bangunan unik menyerupai burung merpati, membuka mata semua orang. Ternyata, perbukitan Menoreh, Magelang, Jawa Tengah, begitu indah.
Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema, yang muncul di film itu, kemudian menjadi hanya segelintir dari banyak obyek wisata yang belakangan tumbuh. Dari pinggiran, pariwisata Borobudur kembali dibangun oleh masyarakat.
Nama Punthuk Setumbu sendiri pun sudah lama dikenal meski terbatas di kalangan fotografer. Dari puncak bukit setinggi lebih kurang 400 meter itu, mereka dapat membidik kemegahan Candi Borobudur dengan lanskap perbukitan Menoreh.
Fotografer harian Kompas, Eddy Hasby misalnya, tepat awal tahun 2004, telah memotret Candi Borobudur berselimut kabut pagi dari atas ketinggian perbukitan Menoreh. Foto itu dicetak di harian Kompas, 2 Januari 2004.
Beberapa tahun kemudian, beberapa warga setempat selalu mengantar fotografer-fotografer amatir untuk memotret Candi Borobudur saat subuh dari lokasi yang mereka kenal sebagai, ”bukit Eddy Hasby”.
Namun, keindahan alam perbukitan Menoreh belum tersebar luas. Meskipun dibuka untuk pariwisata sejak 2010, Punthuk Setumbu baru ramai dikunjungi setelah film AADC 2 menampilkan adegan Rangga dan Cinta berkejar-kejaran menuju puncaknya.
Pada Senin, 16 Mei 2016, harian Kompas menulis, seminggu setelah AADC 2 diputar perdana di bioskop di seluruh Indonesia, jumlah pengunjung Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, melonjak.
Biasanya, per hari hanya ada 100-200 pengunjung, tetapi meningkat menjadi 400-900 orang per hari. Tidak lama kemudian, jumlah wisatawan mencapai lebih dari 800 orang dalam sehari.
Lonjakan jumlah pengunjung kemudian mendongkrak ekonomi warga setempat. Kepala Desa Karangrejo M Hely Rofiqun juga mengakui, ramainya Punthuk Setumbu juga membangkitkan keyakinan warga untuk mengelola wisata secara swadaya.
Sebelumnya, meski hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer dari Candi Borobudur, warga di sekeliling destinasi berskala dunia itu tidak banyak terdampak. Warga Desa Karangrejo juga lebih banyak gigit jari.
Harus diakui, hanya segelintir warga yang memanfaatkan kunjungan turis dengan berjualan pakaian, cendera mata, ataupun oleh-oleh di sekitar candi. Secara keseluruhan, pariwisata Borobudur belum punya daya ungkit terhadap perekonomian warga sekitar.
Perubahan pun terjadi. Harian Kompas, 6 Agustus 2016, mencatat pernyataan Sekretaris Badan Pengelola Wisata Alam dan Sunrise Punthuk Setumbu (BPWASPS) As’ad Muzaki (30). Dengan tiket masuk wisatawan domestik Rp 15.000 per orang dan Rp 30.000 bagi turis asing, kata Muzaki, rata-rata omzet Punthuk Setumbu sekitar Rp 70 juta per bulan.
Dia menambahkan, BPWASPS menggandeng para petani, pedagang di kawasan candi, dan para pemuda pengangguran. ”Sekitar 50 persen pengurus adalah pengangguran, termasuk saya,” kata Muzaki.
Didukung demam swafoto untuk diunggah di media sosial yang sedang mewabah di kalangan anak-anak muda, satu per satu destinasi wisata di sekitar Candi Borobudur mulai tumbuh. Dalam radius lima kilometer dari candi, setidaknya terdapat 10 destinasi wisata yang dikelola swadaya oleh warga.
Selain Punthuk Setumbu, dan Bukit Rhema—yang juga sering disebut ”Gereja Ayam”, obyek lain ialah Bukit Barede, Puncak Sukmojoyo, Punthuk Mongkrong, Pos Mati, Bukit Purwosari, Punthuk Setompo, Punthuk Setumpuk, dan Punthuk Cething.
Julet Tambeng, penasihat pengelola wisata Bukit Barede, mengakui, ramainya Punthuk Setumbu menginspirasi warga sekitar Borobudur memanfaatkan keindahan alam menjadi destinasi wisata. Bukit Barede, yang baru dibuka awal tahun 2017, sejauh ini mampu menyedot kunjungan ribuan wisatawan dalam sebulan dengan omzet per bulan Rp 40 juta.
A degan film Ada Apa Dengan Cinta 2, saat Rangga dan Cinta menikmati matahari terbit dari atas bukit berlatar depan bangunan unik menyerupai burung merpati, membuka mata semua orang. Ternyata, perbukitan Menoreh, Magelang, Jawa Tengah, begitu indah.
Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema, yang muncul di film itu, kemudian menjadi hanya segelintir dari banyak obyek wisata yang belakangan tumbuh. Dari pinggiran, pariwisata Borobudur kembali dibangun oleh masyarakat.
Nama Punthuk Setumbu sendiri pun sudah lama dikenal meski terbatas di kalangan fotografer. Dari puncak bukit setinggi lebih kurang 400 meter itu, mereka dapat membidik kemegahan Candi Borobudur dengan lanskap perbukitan Menoreh.
Fotografer harian Kompas, Eddy Hasby misalnya, tepat awal tahun 2004, telah memotret Candi Borobudur berselimut kabut pagi dari atas ketinggian perbukitan Menoreh. Foto itu dicetak di harian Kompas, 2 Januari 2004.
Beberapa tahun kemudian, beberapa warga setempat selalu mengantar fotografer-fotografer amatir untuk memotret Candi Borobudur saat subuh dari lokasi yang mereka kenal sebagai, ”bukit Eddy Hasby”.
Namun, keindahan alam perbukitan Menoreh belum tersebar luas. Meskipun dibuka untuk pariwisata sejak 2010, Punthuk Setumbu baru ramai dikunjungi setelah film AADC 2 menampilkan adegan Rangga dan Cinta berkejar-kejaran menuju puncaknya.
Pada Senin, 16 Mei 2016, harian Kompas menulis, seminggu setelah AADC 2 diputar perdana di bioskop di seluruh Indonesia, jumlah pengunjung Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, melonjak.
Biasanya, per hari hanya ada 100-200 pengunjung, tetapi meningkat menjadi 400-900 orang per hari. Tidak lama kemudian, jumlah wisatawan mencapai lebih dari 800 orang dalam sehari.
Lonjakan jumlah pengunjung kemudian mendongkrak ekonomi warga setempat. Kepala Desa Karangrejo M Hely Rofiqun juga mengakui, ramainya Punthuk Setumbu juga membangkitkan keyakinan warga untuk mengelola wisata secara swadaya.
Sebelumnya, meski hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer dari Candi Borobudur, warga di sekeliling destinasi berskala dunia itu tidak banyak terdampak. Warga Desa Karangrejo juga lebih banyak gigit jari.
Harus diakui, hanya segelintir warga yang memanfaatkan kunjungan turis dengan berjualan pakaian, cendera mata, ataupun oleh-oleh di sekitar candi. Secara keseluruhan, pariwisata Borobudur belum punya daya ungkit terhadap perekonomian warga sekitar.
Perubahan pun terjadi. Harian Kompas, 6 Agustus 2016, mencatat pernyataan Sekretaris Badan Pengelola Wisata Alam dan Sunrise Punthuk Setumbu (BPWASPS) As’ad Muzaki (30). Dengan tiket masuk wisatawan domestik Rp 15.000 per orang dan Rp 30.000 bagi turis asing, kata Muzaki, rata-rata omzet Punthuk Setumbu sekitar Rp 70 juta per bulan.
Dia menambahkan, BPWASPS menggandeng para petani, pedagang di kawasan candi, dan para pemuda pengangguran. ”Sekitar 50 persen pengurus adalah pengangguran, termasuk saya,” kata Muzaki.
Didukung demam swafoto untuk diunggah di media sosial yang sedang mewabah di kalangan anak-anak muda, satu per satu destinasi wisata di sekitar Candi Borobudur mulai tumbuh. Dalam radius lima kilometer dari candi, setidaknya terdapat 10 destinasi wisata yang dikelola swadaya oleh warga.
Selain Punthuk Setumbu, dan Bukit Rhema—yang juga sering disebut ”Gereja Ayam”, obyek lain ialah Bukit Barede, Puncak Sukmojoyo, Punthuk Mongkrong, Pos Mati, Bukit Purwosari, Punthuk Setompo, Punthuk Setumpuk, dan Punthuk Cething.
Julet Tambeng, penasihat pengelola wisata Bukit Barede, mengakui, ramainya Punthuk Setumbu menginspirasi warga sekitar Borobudur memanfaatkan keindahan alam menjadi destinasi wisata. Bukit Barede, yang baru dibuka awal tahun 2017, sejauh ini mampu menyedot kunjungan ribuan wisatawan dalam sebulan dengan omzet per bulan Rp 40 juta.
Dari tulisan Kompas (21/10/2002) berjudul ”Potret Lama Itu Namanya Borobudur”, geliat ekonomi masyarakat di sekitar Candi Borobudur tak terlepas dari Rembuk Kepariwisataan Masyarakat Borobudur tahun 2002.
Dalam rembuk yang dihadiri kepala desa, LKMD, Badan Perwakilan Desa, ketua pemuda, pelaku wisata, tokoh masyarakat, dan seniman itu terungkap bahwa masyarakat tidak merasakan manfaat dari pariwisata Candi Borobudur.
Padahal, dari data Kantor Pariwisata Kabupaten Magelang 2001, jumlah wisatawan domestik Borobudur mencapai 2.770.645 orang di mana 110.962 orang di antaranya adalah wisatawan asing.
Warga malah tergusur setelah adanya penetapan kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Mereka yang tinggal dekat candi harus pindah ke desa pinggiran, bahkan terusir ke luar Kabupaten Magelang.
Seiring waktu, warga yang tinggal di desa pinggiran Candi Borobudur mulai merintis berbagai usaha berbasis kearifan lokal. Salah satu potensi unik di sekitar Borobudur adalah kerajinan batu di Desa Prumpung, Kecamatan Muntilan, Magelang. Banyak orang meyakini, inilah sisa peninggalan peradaban megalitik Borobudur abad ke-9.
Di Prumpung terdapat sekitar 150 perajin batu. Mereka umumnya membuat miniatur candi, patung, dan batu nisan makam. Sebelum kerajinan patung dan miniatur candi berkembang, perajin secara turun-temurun membuat alat-alat rumah tangga dari batu, seperti cobek atau ulekan.
Mayoritas pematung kini membuat arca Buddha yang sangat digemari kolektor asing. Menurut perajin, segelintir kolektor bahkan menjual kembali arca itu di negara asal mereka dengan harga tinggi karena sangat mirip dengan arca Buddha kuno yang ”asli”. Kerajinan patung batu ini sudah dipasarkan ke sejumlah negara di Eropa dan Amerika.
Selain patung batu, kawasan Borobudur juga menyimpan potensi pengembangan ekonomi yang tinggi. Di Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur, misalnya, terdapat usaha kerajinan bambu untuk tirai (Kompas, 25/9). Ada juga kluster usaha gipsum yang sudah menembus pasar internasional.
Adapun Desa Wanurejo potensial untuk pengembangan wisata budaya, khususnya di Dusun Jowahan. Sejak 2004, pemuda dusun membentuk sanggar karawitan yang dipusatkan di rumah Ny Tatik, rumah tua berbentuk joglo. Kondisi rumah tersebut sebagian besar masih asli dan merupakan rumah tertua di dusun itu.
Selain sanggar karawitan, di Wanurejo juga terdapat Batik Tingal Borobudur milik Lusiana (32) (Kompas, Senin 15/2/2016). Batik Tingal termasyhur hingga ke mancanegara karena motif khas Candi Borobudur. Setiap wisatawan lokal atau mancanegara yang ke Borobudur biasanya mampir di Batik Tingal sehingga omzet penjualan melejit hingga sekitar Rp 30 juta per bulan.
Satu lagi potensi di sekitar Candi Borobudur yang menjadi daya tarik wisatawan asing adalah kerajinan gerabah Klipoh, Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur. Tradisi membuat gerabah di desa itu diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Jangan heran bila Supoyo (46), misalnya, kini menjadi perajin gerabah generasi ke-10 (Kompas, Kamis, 6/4/2017).
Menurut cerita turun-temurun, warga Dusun Klipoh telah membuat gerabah sebelum Candi Borobudur ”ditemukan” pada abad ke-18. Sejumlah ahli arkeologi pun menemukan beberapa relief di sisi timur Candi Borobudur yang menggambarkan pembuatan gerabah. Namun, modernitas mulai mengikis ketertarikan anak muda untuk meneruskan budaya ini.
Supoyo bersama warga lain membuat desa wisata setelah Dusun Klipoh dikunjungi puluhan wisatawan mancanegara pada 2004. Kini, tamu yang datang beragam, mulai dari anak sekolah, wisatawan lokal, hingga wisatawan mancanegara. Mereka dapat berinteraksi dengan warga sekitar untuk mempelajari pembuatan gerabah kemudian membeli gerabah itu sendiri.
Tarif masuk desa wisata Dusun Klipoh Rp 15.000 untuk anak-anak dan Rp 20.000 bagi dewasa. Itu sudah termasuk pelajaran membuat gerabah hingga cendera mata gerabah untuk dibawa pulang. Inovasi pun digenjot. Setidaknya 70 jenis gerabah telah dihasilkan, mulai dari asbak, tempat lilin, kendi, mangkok, cangkir, pot bunga, sampai miniatur patung Buddha dan Candi Borobudur.
Sejak Dusun Klipoh menjadi desa wisata, kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara meningkat. Setiap hari datang 50-70 wisatawan. Perekonomian warga perlahan menggeliat. Aneka gerabah dijual Rp 1.000-Rp 1,5 juta per buah. Harga jelas tergantung tingkat kesulitan desain.
Pada 2014, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Borobudur bahkan mencapai 3,24 juta orang di mana 3 juta orang di antaranya wisatawan domestik. Dengan jumlah turis sebesar itu, tak heran apabila desa di sekitar Borobudur berupaya agar mereka ikut mendapat berkah dari pariwisata Borobudur.
Nilai Belanja Wisatawan di Jawa Tengah
Harapan warga cepat ditanggapi oleh pemerintah pusat. Sejak 2016 dikembangkan balai ekonomi desa (balkondes) di desa-desa di Kecamatan Borobudur. Setiap desa mendapatkan pendampingan dan suntikan dana dari BUMN yang ditunjuk. Setiap balkondes diharapkan menjadi daya tarik baru sehingga destinasi wisata di kawasan Borobudur tidak hanya terfokus pada Candi Borobudur.
Dengan begitu, kunjungan dan lama tinggal wisatawan di kawasan Borobudur dapat ditingkatkan. Agar menarik kunjungan para wisatawan, setiap balkondes harus mengembangkan produk unggulan yang berbeda.
Balkondes di Desa Bigaran, misalnya, fokus mengangkat produk cokelat yang diolah dari biji kakao. Menurut pengelola Balkondes Bigaran, Nano Widodo (35), di desanya memang terdapat banyak tanaman kakao. Sayangnya, selama ini mayoritas biji kakao dari Bigaran dijual mentah.
Kini sudah ada beberapa produk cokelat dari Bigaran, baik berupa cokelat bubuk, cokelat batangan, selai cokelat, cokelat praline, maupun kurma cokelat. ”Produk itu kami beri nama Cokelat Ndeso karena cokelat ini, kan, dari desa dan spirit pengembangan usaha ini untuk membangun desa,” ujar Nano.
Di Desa Giritengah, para pengurus balkondes fokus pada pengembangan makanan dan minuman berbahan madu. Supervisor Balkondes Giritengah Yudhi Pramono mengatakan, madu merupakan salah satu komoditas unggulan Giritengah karena di desa itu terdapat sejumlah peternak lebah madu. ”Makanya, kami membuat makanan dan minuman yang serba madu, misalnya ayam goreng madu, nasi goreng madu, dan kopi madu,” katanya.
Sementara itu, Desa Karangrejo memilih mengembangkan pertanian organik sehingga desa tersebut nantinya dapat menjelma menjadi agrowisata kampung organik. Pengurus Balkondes Karangrejo juga berupaya mengoptimalkan sejumlah destinasi wisata yang sudah dikenal, seperti Punthuk Setumbu dan Bukit Barede.
Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Edy Setijono, mengatakan, balkondes akan dikembangkan di 20 desa di Kecamatan Borobudur. Namun, hingga kini baru ada 16 balkondes, empat desa lainnya baru akan mengembangkan balkondes di 2018.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, pengembangan setiap balkondes didukung oleh satu BUMN dengan anggaran Rp 1 miliar. Selain memberi bantuan anggaran, setiap BUMN juga bertugas memberikan pembinaan dan pelatihan kepada warga di masing-masing desa binaan mereka.
Sebagai bank pembangunan daerah, Bank Jateng berinisiatif membantu masyarakat di sekitar Borobudur. Salah satunya melalui program kredit berbunga ringan, Kredit Mitra Jateng (KMJ) 25. Sejumlah pelaku usaha pun ikut mengakses kredit dengan bunga 7 persen per tahun ini.
Kunto Winarno (48), misalnya, adalah perajin produk olahan limbah kayu dengan nama Kun Kun Craft. Limbah kayu mahoni dan sonokeling ”disulap” Kunto menjadi aneka cendera mata berupa gantungan kunci dan pajangan ruangan. Gerainya ada di seberang pintu masuk Candi Borobudur.
Demi mengembangkan usaha, pada 2016 Kunto memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke Bank Jateng cabang Borobudur. Tanpa prosedur rumit, dia mendapat pinjaman modal Rp 25 juta. ”Tambahan modal dipakai menambah stok produk agar pemasaran lancar,” katanya.
Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno mengatakan, program kredit ini dapat diajukan oleh siapa pun yang berusia minimal 21 tahun atau telah menikah. Calon penerima kredit juga memiliki usaha produktif yang telah berjalan sekurang-kurangnya enam bulan.
Dengan KMJ25, Supriyatno berharap Bank Jateng dapat lebih melayani masyarakat dan mendekatkan diri dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. ”Program ini juga sebagai upaya menjauhkan pelaku UMKM dan pedagang pasar dari jerat rentenir,” katanya.
Hingga Oktober 2017, nilai KMJ 25 yang tersalurkan mencapai Rp 215,59 miliar bagi 15.147 debitor. KMJ 25 yang menawarkan kredit dengan suku bunga 7 persen mulai tahun depan diikuti program kredit usaha rakyat (KUR) yang menetapkan bunga 9 persen.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menilai, potensi UMKM di Jateng sangat besar tetapi terkendala modal usaha. Bahkan, tidak sedikit pelaku UMKM yang bangkrut akibat terjerat rentenir.
Melalui KMJ 25, kata Ganjar, tidak sedikit pelaku UMKM di sejumlah daerah yang menjadi sukses. Bahkan, dengan program tersebut, para pelaku UMKM dapat terhindar dari jeratan rentenir. Berkembangnya UMKM jelas menggeliatkan ekonomi kerakyatan.
Konsep membangun dari pinggiran telah menjadi pegangan Presiden Joko Widodo. Hal itu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Borobudur dan sekitarnya. Perpres itu juga sebagai tindak lanjut penetapan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Terlebih lagi, Borobudur telah ditetapkan sebagai destinasi yang dikembangkan menjadi ”Bali Baru” oleh Kementerian Pariwisata. Sembilan daerah lain meliputi Danau Toba (Sumatera Utara), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Tanjung Lesung (Banten), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Pulau Morotai (Maluku Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), kawasan Bromo, Tengger, Semeru (Jawa Timur), dan Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur).
Dalam Perpres 58/2014 itu, pemerintah pusat berencana mengembangkan kawasan penyangga Borobudur. Rencana itu disinkronkan dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo di DI Yogyakarta. Diharapkan dapat dibangun jalur langsung penghubung bandara dan Candi Borobudur.
”Tentunya, akses jalan itu dapat membangkitkan perekonomian daerah-daerah yang dilintasi,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Jawa Tengah Prambudi Trajutrisno.
Pengembangan kawasan penyangga juga diprioritaskan untuk mengurangi kepadatan turis di candi. Menurut Prambudi, salah satu strategi penataan ruang Borobudur adalah juga dengan mempertahankan kawasan cagar budaya dari kerusakan permanen akibat pemanfaatan ruang yang berlebihan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Magelang Sugiyono mengatakan, pihaknya telah mengusulkan dua alternatif jalan untuk jalur Bedah Menoreh. ”Pertama, cukup memanfaatkan jalan yang sudah ada. Kedua, membuka jalan baru,” ujarnya.
Untuk jalur baru Bedah Menoreh, Sugiyono mengatakan, ada alternatif pilihan jalan. Dua alternatif jalan itu menghubungkan Ngargosari di Kabupaten Kulon Progo dengan tujuh desa di Kecamatan Borobudur dan Salaman sepanjang masing-masing 17,3 kilometer dan 12,3 kilometer. Di jalur baru Bedah Menoreh, yang merupakan jalur utara ini, sebagian jalan masih berupa jalan setapak.
Untuk jalur Bedah Menoreh yang memanfaatkan jalan eksisting, ditawarkan dua alternatif jalan. Alternatif pertama menghubungkan Jagalan di Kabupaten Kulon Progo dengan lima desa di Kecamatan Borobudur sepanjang 8,5 kilometer. Adapun alternatif kedua adalah jalur penghubung Jagalan dengan delapan desa di Kecamatan Borobudur dan Mungkid sepanjang 10,2 kilometer. Semua jalan di jalur selatan ini sudah beraspal.
Sugiyono mengatakan, pemerintah pusat dipersilakan untuk memilih jalur yang akan dibangun. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Magelang berharap pembangunan jalur Bedah Menoreh dapat dilakukan di jalur utara. ”Pembukaan dan perbaikan akses jalan di jalur utara akan membangkitkan perekonomian di wilayah yang dilewati. Selama ini, wilayah itu belum tersentuh karena terkendala sulitnya akses jalan, terutama oleh kendaraan roda empat,” ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Magelang juga berencana meneliti aspek sosial ekonomi di tujuh desa di Kecamatan Borobudur dan Salaman. Hasil penelitian itu nantinya dapat untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di tujuh desa tersebut.
Pemkab Magelang juga sedang menggelar prastudi kelayakan terkait rencana pembuatan anjungan cerdas. Anjungan cerdas itu disediakan khusus bagi wisatawan di mana di dalamnya disediakan pusat informasi digital, pusat perbelanjaan, dan terminal besar—khusus untuk menampung bus-bus wisata.
”Nantinya, anjungan ini diharapkan memecah keramaian pengunjung yang selama ini hanya terkonsentrasi di Candi Borobudur,” ujarnya. Menurut Sugiyono, kini sedang dicari lokasi terbaik untuk pembangunan anjungan seluas sekitar lima hektar.
Selain untuk pemerataan ekonomi, pengembangan kawasan sekitar Borobudur diyakini dapat memperlama masa kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Wisatawan pun tidak hanya tertuju pada Borobudur, tetapi dapat tersebar ke sejumlah desa di kawasan Borobudur.
Yang lebih penting lagi, jangan sampai Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang sudah diakui UNESCO ini hanya mendatangkan uang untuk dirinya sendiri. Borobudur tentu layak tetap tegak berdiri, tetapi masyarakat sekitar juga layak sejahtera.
Penulis: Gregorius M Finesso, Karina Isna, Regina Rukmorini, Haris Firdaus | Fotografer: Eddy Hasby, P Raditya Mahendra Yasa, Ferganata Indra Riatmoko, Haris Firdaus, Regina Rukmorini, Bahana Patria Gupta | Videografer: Ferganata Indra Riatmoko | Paralaks: Toto Sihono | Video Editor: Antonius Sunardi | Penyelaras Bahasa: Teguh Candra | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Rafni Amanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.