Angklung diperkirakan lahir antara abad ke-12 dan ke-16 di masa Kerajaan Sunda. Pada masa itu, rakyat Kerajaan Sunda meyakini, dengan memainkan angklung, hal itu akan membuat senang Nyi Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi kesuburan bagi rakyat Kerajaan Sunda. Berkat angklung, hasil padi melimpah, rakyat makmur sejahtera.
Dalam artikel tentang Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri yang ditulis Prof Drs Jakob Sumardjo berdasarkan Pantun Sulanjana (transkripsi Ajip Rosidi), Wawacan Nyi Pohaci (versi Bandung), dan Wawacan Pohaci Terus Dangdayang (versi Bandung), Nyi Pohaci konon berasal dari telur yang berasal dari air mata Dewa Naga Anta yang hidup di dunia atas bersama para dewa.
Saat Nyi Pohaci kemudian meninggal, Dewa Guru meminta agar tubuh Nyi Pohaci dikubur di dunia yang menjadi tempat tinggal manusia, yaitu dunia tengah. Karena kemurnian sifat Nyi Sri Pohaci selama hidupnya, dari kuburnya itu kemudian tumbuh berbagai jenis tanaman yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Sunda.
Saat ini, Padi berasal dari kedua mata Nyi Sri Pohaci. Mata kanannya menjadi padi putih, mata kirinya menjadi padi merah. Begitu juga tanaman bambu yang sangat penting dalam kultur masyarakat Sunda. Bambu yang dikenal dengan nama bambu aur berasal dari paha kanan Nyi Sri Pohaci. Sementara paha kirinya menjadi bambu tali.
Bagian tubuhnya yang lain menjadi tanaman lain yang tak kalah bermanfaat bagi masyarakat Sunda, seperti kelapa dan enau. Karena itu, kemudian Nyi Sri Pohaci pun lalu menjadi dewi yang dipuja dalam kultur masyarakat Sunda. Nyi Sri Pohaci dikenal sebagai dewi kesuburan.
Persembahan terhadap Nyi Sri Pohaci biasa dilakukan dengan iringan tetabuhan dari alat yang terbuat dari batang-batang bambu sederhana. Dari situ lahir struktur alat musik bambu yang menjadi cikal bakal angklung.
Nyi Sri Pohaci yang terhibur dengan alunan musik angklung diyakini akan membuat tanah menjadi subur sehingga padi yang ditanam pun memberikan hasil berlimpah. Karena itulah, angklung kemudian selalu mengiringi ritual padi. Angklung ada di setiap awal musim tanam padi, dan acara perayaan panen, sebagai persembahan untuk Nyi Sri Pohaci.
Upacara perayaan padi salah satunya adalah seren taun. Pada acara tersebut, angklung yang menjadi bagian ritual biasanya juga dihadirkan. Seperti yang dilakukan komunitas penganut Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, dan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di Ciptagelar, angklung dimainkan nyaris sepanjang tahun mulai dari persiapan menanam padi hingga panen, masuk ke lumbung, bahkan sampai tersaji di meja makan.
Di Kanekes, masyarakat Baduy yang meyakini bahwa mereka merupakan keturunan pertama dari manusia pertama, yaitu Adam, juga masih menggunakan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi hingga masa ngubaran pare (mengobati padi) yang dilakukan sekitar tiga bulan sejak padi ditanam. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya konon angklung tidak boleh dimainkan hingga musim menanam padi berikutnya.
Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan atau menyimpan) angklung setelah dipakai. Menurut penuturan Ayah Armah (46), pembuat angklung dan pemain angklung dari Baduy Dalam, biasanya angklung tersebut diletakkan di balai adat. Meski begitu, angklung tersebut tetap boleh dimainkan di luar kebutuhan ritual.
Sebagai hiburan, angklung bisa dimainkan kapan pun. Saat ini, di Baduy, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, justru didorong untuk mengenal dan belajar angklung agar pemain angklung semakin banyak dan angklung terus lestari. ”Angklung tidak boleh berhenti. Harus ada terus,” ujar Ayah Armah.
Di Kanekes, hanya orang-orang tertentu atau yang merupakan keturunan pembuat angklung yang membuat angklung. Nada angklung dibuat berdasarkan ingatan mereka pada suara angklung yang mereka dengar sebelumnya. Nada-nada tersebut, menurut Ayah Armah, sudah terekam dengan baik di dalam ingatan mereka.
Saat mulai membuat angklung, mereka umumnya menjaga diri dengan berpuasa, tidak makan dan tidak minum. Pembuatan angklung pun didahului dengan ritual khusus, begitu juga dengan pemilihan bahan bakunya yang tidak boleh sembarangan.
”Bambu terbaik adalah bambu yang terkena sambaran petir,” ucap Ayah Armah. Saat petir menyambar, diyakini sang dewa masuk ke dalam bambu sehingga bambu menjadi nyaring bunyinya, bagus sebagai material angklung.
Banyak orang dari luar Baduy yang memesan angklung dari Baduy. Sebelum angklung diberikan kepada pemesan, dilakukan ritual khusus agar suara angklung tetap terjaga. ”Selama ada angklung, hasil padi selalu berlimpah. Tak pernah kami kekurangan,” kata Ki Pantun, pembuat angklung yang kini bermukim di Baduy Luar.
Klik pada gambar angklung untuk memainkan irama angklung tersebut!
Di Cigugur, Kuningan, masyarakat agraris Sunda Wiwitan masih merawat berbagai ritual adat yang terkait dengan penghormatan Nyi Pohaci, Dewi Sri, atau Dewi Padi ini. Namun, Nyi Pohaci kemudian tak hanya dimengerti sebagai Dewi Padi, tetapi lebih dipahami sebagai Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi yang harus terus dimuliakan demi kelangsungan hidup manusia.
Sesepuh adat masyarakat Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah (86), menorehkan rasa penghormatannya itu dalam salah satu lirik lagu ritual ”Sisir Gunda”. Putri bungsunya, Dewi Kanti Setianingsih (43), menuliskan liriknya seperti ini:”Aduh bagja nu bagja urang jeung urang/Eyong eyong anggean Nyai Pohaci/Dina ieu seren taun di cigugur/Keur sukuran”.
Sepenggal lirik itu selalu dinyanyikan dalam perayaan seren taun di Cigugur. Menurut Dewi, Pangeran Djatikusumah menggubah lagu ”Sisir Gunda” itu sekitar tahun 1970. ”’Sisir Gunda’ seperti lagu ritual lainnya, tidak dikenal dalam tulisan seperti sebuah partitur. Hanya untuk dihafal. Notasi nadanya pun menganut laras pentatonik.”
Dalam ritual seren taun, ”Sisir Gunda” kerap dimainkan dengan angklung takol, yaitu seperangkat angklung yang ditata dengan laras nada pentatonik. Laras angklung takol yang ditabuh itu mengacu pada laras gong renteng.
Di Cigugur, seren taun dimaknai sebagai peringatan tahun baru kalender Sunda. Di situ ada perayaan atas panen padi yang diwujudkan dengan menumbuk gabah seberat 22 kuintal bersama-sama sebagai puncak perayaan seren taun.
Padi menjadi ilustrasi kelangsungan hidup komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Karena itu, wajar ketika dilakukan penghormatan kepada Nyi Pohaci sebagai representasi kekuatan alam yang selalu melindungi mereka dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan padi ini.
Di sinilah alat bunyi berupa angklung memiliki peranan. Menurut Dewi, ketika kita menabuh atau membunyikan alat musik bambu, hal ini seperti menjalin komunikasi dengan alam semesta.
”Setidaknya, suara yang dihasilkan dari resonansi bambu itu lebih disukai tumbuh-tumbuhan yang kita tanam, seperti padi. Karena itulah, memainkan musik dari bambu seperti angklung sering diwujudkan sebagai doa untuk kesuburan tanaman padi yang kita tanam,” tutur Dewi.
Dari kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, perjalanan angklung ke panggung dunia dimulai. Di sana, iramanya membahana saat Perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia, setahun pasca-kemerdekaan.
Sosok yang berperan penting dalam penyebaran angklung adalah Daeng Soetigna (1908-1984). Dia dikenal sebagai penemu angklung diatonik berlaras do-re-mi-fa-sol-la-si pada tahun 1938. Dengan laras itu, lagu-lagu modern terbuka untuk dimainkan menggunakan angklung. Sebelumnya, angklung masih berlaras pentatonik: da-mi-na-ti-la.
Guru kesenian di sekolah dasar Belanda (HIS) di Kuningan itu tertarik pada angklung setelah melihat pengemis bermain angklung untuk meminta-minta. Soetigna lalu belajar dari Jaya, pegiat karawitan, untuk melahirkan laras diatonik. Ia kemudian diam-diam mengajarkan angklung kepada murid-muridnya di sekolah yang kini merupakan SMPN 1 Kuningan.
Perundingan Linggarjati yang berlangsung di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kuningan, pada 11-13 November 1946 menjadi salah satu episode mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Di sela-sela perundingan yang dihadiri ketua delegasi Indonesia, Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan pemimpin delegasi Belanda, Willem Schermerhorn, angklung dipentaskan.
”Daeng Soetigna memainkan angklung di halaman depan gedung ini,” ujar Sukardi, pemandu wisata Gedung Naskah Linggarjati, Rabu (5/9/2018). Gedung Linggarjati sebelumnya merupakan Hotel Merdeka. Dari sanalah angklung pertama kali mendunia. Sayang, peristiwa bersejarah itu tak terekam.
Padahal, dalam pemaparannya saat Festival Linggarjati pertengahan November 2015, sejarawan Rushdy Hoesein menyebutkan, irama angklung Daeng Soetigna ikut meredakan ketegangan yang terjadi dalam perundingan. Bahkan, sidang harus diskors. ”Belanda sebenarnya belum 100 persen rela melepas Indonesia saat itu,” ucapnya.
Meski hasil perundingan baru ditandatangani 25 Maret 1947, Perundingan Linggarjati menjadi salah satu upaya mempertahankan kemerdekaan. Salah satu isinya, Belanda yang telah menjajah negeri ini sekitar 3,5 abad mengakui kedaulatan NKRI. Dalam rangkaian perjuangan itu, angklung Daeng Soetigna turut berperan.
Sepak terjang Daeng Soetigna dalam membesarkan angklung diikuti oleh Udjo Ngalagena. Sebagaimana disebutkan dalam buku Udjo, Diplomasi Angklung yang ditulis oleh Sulhan Syafii, Udjo kemudian mengajarkan cara memainkan angklung kepada banyak orang. Dia juga membangun Saung Angklung Udjo di Kota Bandung agar semakin banyak orang yang mengetahui sejarah angklung dan seluk-beluknya. Keberadaan Saung Udjo membuat angklung makin dikenal luas
Setelah menggema saat jamuan makan malam delegasi Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, pada November 2010, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) juga mencatat angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Dalam Konferensi Asia Afrika pada April 2015, sebanyak 20.704 orang berkumpul di Stadion Siliwangi Bandung memainkan lagu ”I Will Survive” dan ”We Are The World” menggunakan angklung.
Baru-baru ini, Tim Muhibah Angklung Paguyuban Pasundan melanglang ke Eropa selama 33 hari dan menyabet penghargaan Grand Prix atau juara umum di 13th International Youth Festival of Arts di Sozopol, Bulgaria. Mereka terpilih sebagai penampil terbaik dari 2.000-an peserta yang berasal dari 15 negara.
Langkah angklung makin jauh. Dari media pemikat dewi kesuburan, kini angklung pun menjadi salah satu media untuk mempererat hubungan antarbangsa.
Penulis: Dwi AS Setianingsih, Abdullah Fikri Ashri, Nawa Tunggal | Fotografer: Riza Fathoni | Videografer: Rian Septiandi | Editor Video: Hendry Dwi Agusman, Vincentzo Calviny Joski | Penyelaras Bahasa: Teguh Candra | Infografik: Maria Karina Putri, Lim Bun Cai, Pandu Lazuardy Patriari | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.