Dambus adalah alat musik petik khas Bangka, provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sejumlah sumber menyebut, dambus lahir karena pengaruh dari alat musik yang berasal dari Timur Tengah, yaitu oud, dengan musik gambus-nya. Namun begitu, terdapat telaah yang menyebut bahwa dambus sesungguhnya merupakan alat musik asli Bangka, produk budaya masyarakat Bangka.
Dalam catatan tertulis tertua tentang alat musik di Bangka, ditemukan catatan hasil penelitian Franz Epp, seorang warga negara Jerman yang pernah berkunjung ke Bangka sekitar tahun 1830-an. Dalam bukunya yang terbit tahun 1852 berjudul Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Franz menyebutkan, saat dia berkunjung ke rumah tradisional orang Bangka, di kamar depan (teras rumah), biasanya terdapat ornamen alat musik senar.
Alat musik tersebut dideskripsikan oleh Franz terbuat dari kayu keras yang ringan, yang kemudian dilubangi dan ditutup kulit monyet. Apa yang dilihat oleh Franz itu kemungkinan adalah alat musik yang sekarang disebut dambus.
“Saya menginterpretasikan bahwa apa yang disampaikan oleh Franz itu adalah alat musik yang kita kenal sekarang di Bangka ataupun di Belitung dengan sebutan dambus. Penamaan dambus mungkin karena adanya pengaruh alat musik dari Arab, irama padang pasir yang disebut gambus,” papar Sejawaran dan Budayawan Bangka, Akhmad Elvian, Senin (14/5), di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung.
Meski begitu, menurut Elvian, bentuk fisik dan cara memainkan dambus tidak menyerap unsur-unsur gambus, jadi hanya mirip nama saja. “Dulu namanya alat musik petik senar. Ketika masuk Islam, diseraplah, gambus menjadi dambus,” kata Elvian.
Selebihnya, dambus sangat berciri khas Bangka. Elvian menyebutnya sebagai alat musik asli etnis Bangka. Hal ini merujuk pada bentuk dambus yang merepresentasikan bentuk rusa atau kijang.
“Di seluruh Nusantara dan dunia, alat musik yang dibuat dengan bahan dari flora dan fauna banyak. Tapi alat musik yang bentuknya seperti hewan, saya hanya menjumpainya di dambus. Jadi dia utuh, menyerupai satu bentuk hewan rusa, atau kijang, ada tanduk, mata, kuping, leher, perut, kemudian ekornya,” kata Elvian.
Rusa atau kijang, ujar Elvian, merupakan hewan penting dalam kehidupan masyarakat Bangka. Salah satunya dalam tradisi nganggung, yaitu membawa makanan di dulang untuk disantap bersama-sama dalam acara yang berhubungan dengan daur hidup dan upacara keagamaan.
Makanan paling mulia atau agung yang disajikan dalam tradisi nganggung adalah daging rusa atau kijang. Untuk menangkap rusa atau kijang, diperlukan ritual khusus.
Sebelum berburu, kelompok pemburu yang disebut belapun atau berasuk harus lebih dulu meminta izin kepada dukun hutan. Pembagian rusa atau kijang hasil buruan pun harus dilakukan secara adil dan merata, tidak boleh ada satu pun yang terlewat.
Bentuk dambus yang merepresentasikan tubuh rusa atau kijang tersebut, menurut Elvian, juga menegaskan bahwa dambus merupakan alat musik dan kesenian khas Bangka.
“Dalam Islam bentuk alat musik kan tidak boleh menampakkan sesuatu, karena seperti berhala. Dambus itu kan (bentuknya) seperti rusa, yang bersuara. Tapi itulah, dia merupakan kesenian etnik Bangka, karena walaupun mendapat pengaruh Islam, tetap eksis bertahan dengan bentuknya yang seperti itu. Tidak diubah kepalanya atau menjadi kutung, nggak ada kepalanya. Kalau gambus kan nggak ada kepalanya,” kata Elvian.
Bagi masyarakat Bangka, dambus memiliki nilai tinggi. Dahulu, untuk membuat dambus, digunakan enam jenis kayu berbeda, yang diambil dari enam hutan yang berbeda pula. Hutan-hutan tersebut masing-masing dipisahkan oleh sungai kecil. Sementara pemetiknya berupa gigi harimau.
Agar suara yang keluar dari dambus membuat rindu atau menjerat hati pendengarnya, biasanya dambus diberi kemat (jimat). Caranya dengan mengasapi dambus menggunakan kemenyan, lalu diberi mantra.
Begitu juga dengan para pemain dambus. Ada sejumlah ritual, bentuknya bisa berbeda-beda, yang biasa dilakukan oleh para pemain dambus agar penonton atau pendengar terpikat alunan dambus yang mereka mainkan.
“Biar selalu rindu,” ujar Kusyadi, pemain dambus yang sekaligus pembuat dambus dari Namang, Bangka Tengah.
Seiring perkembangan zaman, kemat dan ritual-ritual semacam itu sudah banyak ditinggalkan. Begitu juga dengan material dambus berupa enam jenis kayu dari enam hutan berbeda.
Saat ini, dambus umumnya banyak dibuat dari kayu nangka, kayu ludai, kayu pulai, dan lain sebagainya. Di Belitung, dambus yang disebut juga gambus, sebagian bahkan dibuat dari kayu-kayu limbah atau kayu-kayu sisa.
Gunakan keyboard atau klik pada senar dambus untuk memainkan irama dambus tersebut!
Dambus umumnya dimainkan sebagai hiburan misalnya pada upacara ngembaruk atau panen padi pertama saat bulan purnama. Selain ditampilkan secara tunggal, dambus juga ditampilkan bersama alat musik lain berupa gendang induk, gendang anak, tawak-tawak, dan gong, juga bersama tarian yang disebut dincak dambus.
Sebelum Islam masuk Bangka di abad ke-16, dambus diyakini menjadi sarana hiburan dan pergaulan muda mudi. Namun setelah Islam masuk, selain berfungsi sebagai hiburan dan sarana pergaulan muda-mudi, dambus juga digunakan untuk syiar agama.
“Ini biasanya diselipkan di pantun. Jadi lagu yang dinyanyikan pemain dambus itu pantun. Ada yang disebut tangtut seperti refrain, biasanya berupa ajaran-ajaran, petuah, larangan, dan nasihat-nasihat. Biasanya untuk syiar agama,” jelas Elvian.
Salah satu syair lagu dambus yang sangat dikenal paska masuknya Islam adalah “Abu Samah”. Sebelumnya ada “Aliun”, “Hantu Berayun”, dan “Ancok Ati”. Meski begitu, hingga kini, syair-syair dambus sebelum Islam masuk tersebut tidak lantas berhenti dimainkan.
Dambus masih populer hingga akhir 90-an. Dambus laris di banyak panggung. Mulai panggung-panggung hajatan yang berhubungan dengan upacara daur hidup seperti cukur rambut, sunatan hingga perkawinan, juga di acara seperti taber (ruwatan) kampung dan sedekah rumah. Tak jarang, pemain dambus bahkan menjadi idola, layaknya seorang bintang rock alias rock star.
Secara personal, dambus juga menjadi hiburan pelepas lelah seusai bekerja di ladang. Abusar, pemain dambus yang juga penjaga ladang di Kampung Dul contohnya, masih kerap berdambus seusai berladang untuk mengusir lelah dan menghibur diri.
Dia yakin, tak sekedar menghibur dirinya, alunan merdu dambus juga akan membuat tanaman di ladangnya tumbuh subur sehingga memberi hasil yang baik. Alunan dambus juga diyakini mampu menghalau burung-burung yang mengganggu ladangnya.
Belakangan, dambus makin kerap tampil di panggung-panggung komersial, panggung politik (kampanye), hingga festival. Meski tetap saja, frekuensinya tak bisa dibilang luar biasa. Setidaknya, masih ada panggung yang memberi ruang bagi dambus untuk berjumpa dan berdialog dengan masyarakat.
Seperti nasib kesenian tradisional di Tanah Air, seiring laju zaman, tak banyak lagi yang tertarik menekuni dambus. Saat ini, penekun dambus adalah orang-orang tua yang usianya sudah di atas 50-an tahun.
Seperti Zairoti dari Kecamatan Bukit Intan dan Sulaiman dari Kecamatan Kacang Pedang, serta pemain-pemain dambus senior lainnya yang terserak di seantero Bangka.
Di sisi lain, posisi dambus makin tergeser dengan kehadiran organ tunggal di berbagai panggung perhelatan. Acara-acara yang semula memanggungkan dambus, seolah serentak menggantinya dengan organ tunggal yang jauh lebih menarik dan kekinian.
Dengan kondisi seperti itu, upaya pewarisan dambus kepada generasi muda menghadapi tantangan besar. Padahal, sejak tahun 2003, dambus sebenarnya telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Beruntung, di tengah berbagai persoalan, seperti lambatnya regenerasi karena label dambus yang kuno dan tidak modern, sejumlah terobosan terus dilakukan meski hanya oleh segelintir orang. Anak-anak muda dalam Komunitas Cak Macak misalnya, mencoba menghadirkan dambus dalam kemasan yang lebih modern.
Mereka menggabungkan dambus dengan alat-alat musik lain seperti kibor, biola, dan gitar. Mereka juga meramu komposisi musik baru, dengan tetap memposisikan dambus sebagai instrumen utama. Sambutannya cukup positif.
Dalam gelaran Malam Pangkal Pinang Berkesenian yang baru lalu, dambus juga dikawinkan dengan jazz agar wajahnya menjadi lebih kekinian dan modern. Motornya adalah musisi Idang Rasjidi.
Seniman Usni Mariosha di Belitung, bahkan berencana menghadirkan dambus bersama orkestra, membawakan lagu-lagu Melayu. Tujuannya satu, agar dambus terus dirindu, terutama oleh generasi mudanya.
Penulis: Dwi AS Setianingsih, Wisnu Dewabrata | Fotografer: Priyombodo | Ilustrator: Andri Reno Susetyo | Desainer & Pengembang: Elga Pranata, Yulius Giann | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.