Sasando adalah alat musik asli dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Sasando juga sering disebut sasandu yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Alat musik ini terbuat dari bambu dan daun lontar yang berfungsi sebagai resonator.
Sasando dimainkan dengan cara dipetik menggunakan kedua tangan, dimainkan menggunakan dua tangan secara berlawanan. Tangan kanan berperan untuk memainkan chord, sedangkan tangan kiri berperan sebagai pengatur melodi dan bas. Dibutuhkan keterampilan tersendiri untuk memainkan sasando.
Meski suara yang dihasilkan terdengar mirip dengan alat musik lain yang sama-sama dipetik, harpa misalnya, apabila dicermati dengan saksama, suara yang dihasilkan sasando memiliki ciri khas. Suara yang berbeda dan khas dapat dinikmati pada sasando yang masih tradisional dengan nada pentatonik yang dimilikinya.
Saat ini, dengan perkembangan yang demikian pesat, sasando tradisional yang dikenal dengan sebutan sasando gong justru agak sulit ditemukan, termasuk di Rote yang menjadi tempat lahir sasandu (bahasa Rote). Sasando yang banyak dimainkan dan diperkenalkan keluar Rote hingga ke panggung internasional lebih banyak didominasi sasando elektrik.
Pada sebagian model sasando yang berkembang, daun lontar yang semula berfungsi sebagai resonator dan menjadi ciri khas yang kuat pada sasando juga telah dihilangkan karena alasan kepraktisan. Begitu juga jumlah dawai atau senarnya yang kini sudah semakin banyak dengan nada-nada diatonis sehingga sasando bisa digunakan untuk memainkan banyak lagu modern.
Misalnya, lagu ”Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki dan lagu Barat milik Eric Clapton, ”Wonderful Tonight”. Lagu-lagu Barat paling baru pun, seperti ”Havana” yang dilantunkan oleh penyanyi muda Camila Cabello yang berdarah campuran Kuba-Amerika Serikat, bisa dengan mudah dimainkan menggunakan sasando.
Menurut cerita, pada awalnya, dawai sasando tidak terbuat dari senar seperti sekarang, tetapi berasal dari tulang daun gewang. Daun gewang berasal dari pohon gewang yang memiliki kemiripan dengan pohon lontar. Cerita lain menyebutkan, dawai sasando terbuat dari usus musang yang dikeringkan.
Gunakan keyboard atau klik pada senar sasando untuk memainkan irama sasando tersebut!
Di balik keunikan bentuk dan keindahan suaranya, sasando memiliki makna dan filosofi tersendiri, khususnya bagi orang Rote. Dawai sasando yang awalnya berjumlah tujuh konon melambangkan siklus kehidupan seorang anak manusia yang berada di dalam kandungan.
Orang Rote percaya, seorang bayi yang telah berusia 7 bulan telah sempurna secara fisik. Adapun dawai yang berjumlah 9 memiliki arti bahwa seorang anak telah siap dilahirkan ke dunia. Sasando di awal kemunculannya memang hanya berdawai 7 atau 9.
Penggunaan daun lontar juga tak lepas dari filosofi hidup orang Rote yang sejak dulu akrab dan bergantung pada pohon lontar atau siwalan (Borassus flabellifer), sejenis palem batang tunggal, tingginya bisa mencapai 30 meter, berbatang kasap, kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah. Orang Rote menyebutnya pohon tuak.
Lontar bisa tumbuh di mana saja. Di hamparan tanah kosong, bukit, tepi pantai, ladang, bahkan di tanah tandus sekalipun. Datanglah ke Rote, pohon lontar dengan mudah ditemukan di seluruh penjuru Rote.
Karena hidup dan tumbuh dengan sangat mudah, pohon lontar tidak dihitung sebagai harta milik ataupun mas kawin. Lontar juga pantang dijual karena merupakan penunjang utama kehidupan orang Rote.
Ada filosofi hidup orang Rote, yaitu mao tua do lefe bafi, artinya kehidupan cukup bersumber dari mengiris atau menyadap tuak serta memelihara babi. Secara tradisional, orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Maka, umumnya komunitas atau kelompok kecil masyarakat Rote tinggal di sekitar pohon lontar yang sudah ada sebelumnya.
Dari pohon lontar itulah seluruh kebutuhan hidup orang Rote dipenuhi, sebagaimana dituturkan Mama Margaretha Lani yang sejak turun-temurun telah bergulat dengan pohon lontar sebagai pembuat gula lempeng. Batang pohon lontar bisa digunakan sebagai tiang untuk membangun rumah. Daunnya, bisa digunakan sebagai atap. Atap dari daun lontar konon mampu menahan udara Rote yang panas sehingga rumah terasa dingin. Pelepah lontar bisa digunakan sebagai pagar halaman.
Buah lontar berwarna putih, tentu saja bisa dimakan. Sadapan air lontar bisa diolah menjadi gula cair dan gula lempeng hingga olahan minuman yang disebut sopi. Daunnya bisa digunakan sebagai bahan lintingan rokok, membuat topi khas Rote yang disebut Ti’i Langga, sasando, serta kebutuhan sehari-hari masyarakat Rote.
Tidak salah apabila lontar menjadi simbol kebudayaan dan peradaban karena di sana terdapat kelangsungan hidup orang Rote. Orang Rote menyebutnya sebagai pohon kehidupan.
Ember atau wadah menampung benda cair dan gelas dari daun lontar disebut haik. Maknanya ”ambil sesuatu untuk”, atau dalam artian haik sebagai wadah untuk mengambil dan menampung sesuatu.
Dari masa lalu hingga kini, haik digunakan sebagai perlengkapan harian orang Rote dan dibuat sesuai kegunaannya. Misalnya, haik untuk menampung air minum ataupun wadah menampung air dan dipikul dari sumber air ke rumah, haik untuk menampung hasil sadapan air lontar, haik untuk menjual tuak, haik untuk minum, serta haik khusus untuk membuat sasando.
Haik untuk sasando bentuknya sama dengan haik untuk memikul ataupun menjual tuak, tetapi pegangannya diganti dengan bambu yang dipasang senar. Ini dimaknai bahwa, dalam diam sekalipun, orang Rote tetap mampu menggetarkan orang lain dengan irama serta suara merdu penuh keindahan.
Sasando gong yang dimainkan dengan sistem gong tidak boleh ada dua nada yang dipetik bersamaan karena tak akan menghasilkan suara merdu. Dari situ dapat dimaknai bahwa perbedaan mampu menghasilkan sebuah harmoni.
Selain itu peran setiap dawai yang berbeda mempunyi arti kemandirian. Meski sasando dimainkan secara berbeda, nada itu saling mengisi. Setiap nada memiliki peran untuk menciptakan keharmonisan. Hal ini juga berarti bahwa keharmonisan bukan terletak pada persamaan, melainkan justru pada perbedaan.
Ada beberapa versi cerita rakyat yang mengisahkan tentang awal mula sasando atau sansandu. Cerita pertama bermula dari terdamparnya seorang lelaki bernama Sangguana di Pulau Ndana pada 1650-an.
Oleh penduduk sekitar, Sangguana lalu dibawa ke hadapan Raja Takalaa. Saat melihat putri raja, Sangguana (yang sesungguhnya sudah memiliki istri dan sedang mengandung) jatuh cinta. Sebelum menerima Sangguana, raja mengajukan syarat agar Sangguana membuat sebuah alat musik yang istimewa.
Dalam mimpi, Sangguana memainkan alat musik yang indah bentuknya serta bersuara merdu. Mimpi itulah yang lantas mengilhami Sangguana untuk membuat alat musik seperti yang diinginkan raja.
Alat musik itu lalu diberi nama sasando yang lantas diberikan kepada putri raja. Oleh putri raja, alat itu diberi nama hitu (tujuh) karena, saat dipetik, tujuh dawainya bergetar bersamaan. Sangguana akhirnya mempersunting putri raja.
Secara fungsi, sasando kemudian biasa dimainkan untuk mengiringi nyanyian, menirukan nyanyian, mengiringi pembacaan syair-syair Rote, juga untuk mengiringi tarian, menghibur keluarga yang berduka, dan menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta.
Secara komunal, sebagaimana dituturkan Elias Ledoh, pemain sasando asal Rote yang kini telah pensiun karena usia tua, sasando dimainkan dalam upacara adat hus ndeo, yaitu upacara sebagai ungkapan syukur atas hasil panen padi di sawah dan ladang, serta hasil laut yang melimpah. Saat ini, upacara adat hus ndeo masih dipraktikkan di Desa Boni, Kecamatan Rote Barat Laut, pada setiap akhir Juli dan pertengahan Agustus.
Hal ini dibenarkan tokoh adat asal Boni, Les Mole. Oleh karena itu, sasando atau sasando juga lekat dengan makna kemakmuran. Konon, apabila sasando dipetik, hujan pun akan segera turun.
Versi lain tentang asal-usul sasando menyebutkan, sasando ditemukan oleh dua penggembala bernama Lunggi Lain dan Ballo Aman dari Pulau Rote. Notasinya diselaraskan dengan nada Gong Rote, bersistem nada pentatonik (lima nada).
Sasando buatan Lunggi dan Ballo kemudian dilihat sekretaris raja bernama Pah Ndulu. Dari situ, senar sasando yang semula diyakini terbuat dari serat daun lontar yang dipilin diganti dengan senar logam.
Perkembangan sasando terhitung pesat, berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan sebutan sasando gong karena biasanya dimainkan dengan irama gong, sasando gong berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 dawai. Pada akhir abad ke-18, sasando diperkirakan mengalami perubahan dari sasando gong ke sasando biola yang nada-nadanya meniru nada biola.
Selain nada yang diatonis, bentuk sasando biola mirip sasando gong dengan diameter bambu yang lebih besar serta jumlah dawai yang lebih banyak. Awalnya 30 nada lalu berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai. Ruang resonansinya ada yang terbuat dari daun lontar, ada juga yang berbentuk kotak terbuat dari kayu atau multipleks (kotak/boks/peti).
Pada 1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada 1960 berhasil dirampungkan dengan bunyi yang sama dengan suara aslinya. Sasando elektrik ini dibuat dengan 30 dawai. Pembuat pertamanya Arnoldus Edon. Usahanya kini diteruskan oleh anaknya, Marlines Edon, bersama sang suami.
Alat yang paling penting pada sasando elektrik, selain badan sasando dan dawai, adalah spul (pickup) yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk ke dalam amplifier. Dengan nadanya yang diatonis, sasando bisa memainkan berbagai jenis lagu, termasuk dikolaborasikan dengan alat musik modern lainnya.
Saat ini sasando tengah mengalami perkembangan pesat. Di Rote memang belum terlalu banyak muncul regenerasi, tetapi di Kupang mulai banyak anak muda yang meminati sasando.
Kini, malahan sasando tak hanya digeluti anak-anak Rote atau Kupang, tetapi juga anak-anak NTT secara umum, hingga ke luar NTT, termasuk di Jakarta. Sebutlah nama-nama pemain sasando muda, seperti Ganzer Lana asal Atambua dan Gazpar Araja asal Flores yang kini moncer sebagai pemain sasando di panggung nasional serta internasional. Apabila sudah seperti ini, masa depan cerah menanti sasando di depan sana….
Penulis: Dwi AS Setianingsih | Fotografer: Rony Ariyanto Nugroho | Videografer: Rian Septiandi | Editor Video: Hendry Dwi Agusman, Vincentzo Calviny Joski | Penyelaras Bahasa: Teguh Candra | Infografik: Pandu Lazuardy Patriari | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.