ASAL
USUL
Manusia saat ini merupakan inang utama untuk mendukung ”kehidupan pinjaman” virus SARS-CoV-2. Sebelum berinang pada manusia, nenek moyang virus korona tipe baru ini kemungkinan sudah lama bersirkulasi di dunia binatang.
Sebagaimana virus korona penyebab SARS dan MERS, virus SARS-CoV-2 diduga awalnya berinang di kelelawar. Tidak hanya virus korona, kelelawar juga menjadi inang beragam virus lainnya.
Kajian David Robertson dan tim dari Pusat Riset Virus Universitas Glasgow, Inggris, dalam jurnal Nature pada Juli 2020 menyimpulkan, SARS-CoV-2 memiliki garis keturunan dari virus korona umumnya yang telah beredar beberapa dekade pada kelelawar tapal kuda.
Ini menguatkan riset Peng Zhou dan tim dari Wuhan Institute of Virology, seperti termuat dalam jurnal Nature 3 Februari 2020. Disebutkan, urutan genom lengkap virus SARS-CoV-2 yang ditemukan pada lima pasien di tahap awal wabah, memiliki kemiripan 79,5 persen dengan SARS-CoV. Virus SARS-CoV-2 juga 96 persen identik dengan virus korona yang ditemukan pada kelelawar tapal kuda di Guangzhou.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Kelelawar diduga sebagai inang awal virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Kecurigaan kelelawar tapal kuda sebagai inang awal SARS-CoV-2 menguat dengan munculnya hasil riset Vibol Hul dan tim dari Institut Pasteur International Network, Kamboja, yang diunggah di www.biorxiv.org pada awal Februari 2021.
Penelitian ini menemukan kerabat dekat SARS-CoV-2 yang telah lama ada di Kamboja dan kemungkinan di negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Sampel yang diuji oleh para ilmuwan itu sebelumnya disimpan dalam lemari es di Institut Pasteur, Phnom Penh, sejak Desember 2010 dan mulai dianalisis kembali baru-baru ini.
Para peneliti mengurutkan sampel dari 430 kelelawar yang dikumpulkan lebih dari satu dekade lalu. Mereka kemudian menemukan virus korona yang ”hampir identik” dengan virus penyebab Covid-19 pada dua kelelawar tapal kuda Shamel (Rhinolophus shameli). Kelelawar ini diketahui tersebar di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
”Kajian ini menjadi bukti empiris bahwa virus ini telah lama berada di alam,” kata Riza Arief Putranto di Jakarta, Selasa (2/2/2021). Ia peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK.
Berdasarkan temuan Vibol dan tim, virus korona yang dinamakan RShSTT182 dan RShSTT200 tersebut memiliki kemiripan identitas 92,6 persen dengan SARS-CoV-2. Ini berarti, keduanya sangat dekat.
“
Perbedaannya setara 2.146 huruf atau 1 gen saja dari total 29.000 huruf dari material genetik SARS-CoV-2
kata Riza
„
Sekalipun memiliki kedekatan, virus korona yang ditemukan di Kamboja memiliki evolusi yang berbeda dengan SARS-CoV-2. Namun, kajian ini semakin menunjukkan bahwa kelelawar merupakan reservoir atau inang dari banyak virus korona.
Meski demikian, ini belum menjawab misteri bagaimana virus ini melompat dan menyebar ke manusia. Apalagi, SARS-CoV-2 yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China, jauh dari tempat ditemukannya kelelawar tapal kuda yang diduga merupakan perantara.
Beberapa orang berpendapat, trenggiling boleh jadi merupakan mata rantai yang hilang. Namun, trenggiling dilaporkan sakit akibat infeksi virus korona. Ini berarti mereka bukan reservoir alami.
MISTERI
PERPINDAHAN
Misteri bagaimana virus pertama kali muncul di Wuhan dan binatang apa yang menjadi perantara virus memang belum terjawab. Namun, satu hal telah terpatahkan, yakni dugaan virus ini dibuat di laboratorium.
”Jika virus ini buatan manusia, akan terlihat dalam genomnya,” bantah Robertson. ”Selain itu, jika Anda ingin membuat virus korona yang dapat ditularkan oleh manusia, Anda hampir pasti akan mulai dengan virus SARS. Virus SARS-CoV-2 ini tidak seperti yang pernah kita lihat sebelumnya. Sangat tidak mungkin seseorang membuatnya karena virus ini tidak disatukan dari potongan-potongan yang kita ketahui.”
Kajian Kristian G Andersen dan tim dari Department of Immunology and Microbiology, The Scripps Research Institute, Amerika Serikat, yang termuat dalam jurnal Nature pada 17 Maret 2020, mencoba mengonstruksi bagaimana perpindahan virus SARS-CoV-2 dari binatang ke manusia.
Hipotesis pertama, adanya seleksi alam pada hewan inang sebelum terjadinya lompatan zoonosis. Karena banyak kasus awal Covid-19 dikaitkan dengan Pasar Huanan di Wuhan, ada kemungkinan sumber hewan memang berada di lokasi ini. Bisa jadi berasal dari trenggiling malaya (Manis javanica) yang diimpor secara ilegal ke Provinsi Guangdong. Trenggiling ini mengandung virus korona yang mirip dengan SARS-CoV-2.
Kompas/Lasti Kurnia
Teori perpindahan virus SARS-CoV-2, salah satunya menyebutkan kemungkinan nenek moyang SARS-CoV-2 melompat langsung dari kelelawar yang diperdagangkan di pasar Wuhan kepada manusia.
Memang virus kelelawar RaTG13 tetap yang paling dekat dengan SARS-CoV-2 di seluruh genom. Namun, beberapa virus korona pada trenggiling menunjukkan kemiripan yang kuat dengan virus SARS-CoV-2, yakni pada bagian domain pengikat reseptor atau receptor-binding domain (RBD).
Ini dengan jelas menunjukkan bahwa protein lonjakan SARS-CoV-2 yang dioptimalkan untuk mengikat ACE2 yang mirip manusia adalah hasil mutasi yang terpilih melalui seleksi alam. Kebetulan trenggiling menjadi medium perantara dari kelelawar sebelum ke manusia.
NIAID-RML via AP
Virus SARS-CoV-2 dilihat lewat mikroskop elektron di Institut Kesehatan Nasional AS pada Februari 2020. Virus penyebab Covid-19 ini diisolasi dari seorang pasien di sana.
Teori kedua, ada kemungkinan nenek moyang SARS-CoV-2 melompat langsung dari kelelawar yang diperdagangkan di pasar Wuhan kepada manusia. Virus ini memperoleh fitur genomnya melalui adaptasi selama penularan dari manusia ke manusia. Awalnya, lompatan ini tidak terdeteksi karena dampaknya yang belum kentara.
Namun, setelah beberapa kali mutasi dan virus semakin mapan beradaptasi pada sel manusia, jumlah penularan pun semakin meningkat yang kemudian menjadi pandemi. Keberadaan RBD di trenggiling yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2, kemungkinan juga terjadi pada virus yang berpindah ke manusia.
Teori ketiga, seleksi terjadi selama perjalanan. Penelitian dasar masuknya virus korona mirip SARS-CoV kelelawar dalam kultur sel dan atau model hewan telah berlangsung bertahun-tahun di laboratorium seluruh dunia. Di tengah itu, ada dokumentasi kasus lolosnya SARS-CoV di laboratorium. Oleh karena itu, Andersen mengingatkan untuk memeriksa kemungkinan lepasnya SARS-CoV-2 di laboratorium secara tidak sengaja.
Secara teori, menurut dia, bisa juga SARS-CoV-2 memperoleh mutasi RBD selama adaptasinya ke dalam kultur sel. Namun, penemuan virus korona mirip SARS-CoV pada trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang jauh lebih kuat dan lebih pelik tentang bagaimana SARS-CoV-2 memperoleh mutasinya melalui rekombinasi atau mutasi secara alami.
NOEL CELIS / AFP
Pasar ikan Wuhan di Provinsi Hubei, China, Sabtu (11/1/2020). Orang kedua di Wuhan yang meninggal akibat virus SARS-CoV-2 pernah berbelanja di pasar ini.
Terlepas dari ketiga teori tersebut, yang jelas lompatan SARS-CoV-2 dari binatang ke manusia hanya akan berhasil jika virus ini bermutasi. Kita patut menunggu hasil para ahli di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang tengah menelusuri asal-usul SARS-CoV-2 dan bagaimana awal penyebarannya di Wuhan guna mengantisipasi pandemi berikutnya.
Namun, di tengah upaya ini, kita juga tak boleh melupakan bahwa SARS-CoV-2 saat ini terus berbiak dan bermutasi untuk beradaptasi dengan dunia barunya: tubuh manusia!
KONSEKUENSI
MUTASI
Setidaknya, ada dua
konsekuensi dari kemunculan varian baru ini yang menyebabkan kekhawatiran global. Pertama, akankah virus ini menular lebih cepat dan menyebabkan penyakit yang lebih parah? Kedua, akankah mereka lebih resisten terhadap vaksin anti-Covid-19 yang sudah ada?
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto mengatakan, saat ini kita berkejaran dengan kemunculan varian baru SARS-CoV-2. Semakin tak terkendali dan meluas kasusnya, peluang terjadinya mutasi baru juga meningkat.
“
Khusus untuk varian baru, baik B.1.1.7, N501Y.V2, maupun P1 memang harus diwaspadai jika sampai masuk ke Indonesia karena bukti-bukti ilmiah terus bertambah mengenai kemampuan varian-varian baru tersebut, mulai dari penularan, kegawatan hingga efektivitas vaksin.
kata Riza
„
Laporan yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada 12 Februari 2021 berdasarkan kajian sejumlah ilmuwan menunjukkan, varian B.1.1.7 meningkatkan risiko rawat inap dan kematian dibandingkan varian pendahulunya.
Beberapa bukti menunjukkan, orang yang terinfeksi varian tersebut memiliki viral load lebih tinggi, suatu fitur yang tidak hanya membuat virus lebih menular, tetapi juga berpotensi merusak efektivitas pengobatan tertentu.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro dalam diskusi daring tentang ”Genomic Surveillance, Mutation and Vaccine”, di Jakarta, Senin (15/2/2021), juga menyebutkan, kemunculan varian-varian baru ini bisa berimplikasi serius, terutama terhadap kesehatan publik.
“
Bakal butuh lebih banyak rumah sakit, tenaga kesehatan, laboratorium, dan penyesuaian vaksin. Padahal kita punya keterbatasan. Karena itu, kita perlu percepatan cakupan vaksin dan surveilans
katanya
„
Semakin lama pengendalian pertumbuhan kasus Covid-19 melalui tes, lacak, isolasi, dan target cakupan vaksin, semakin besar peluang gagal tercapainya herd immunity atau kekebalan kawanan. Bahkan, jika vaksin yang ada benar-benar mampu memblokir penularan, pemenuhan target cakupan vaksinasi bukan hal yang gampang.
Untuk mencapai kekebalan kelompok, vaksin dengan tingkat efektivitas 90 persen dalam memblokir penularan, perlu menjangkau setidaknya 55 persen populasi. Dengan catatan, warga tetap menjalankan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak sosial dan memakai masker. Cakupan vaksin harus lebih besar lagi jika tingkat penularan meningkat akibat varian baru virus atau jika efektivitas vaksin kurang dari 90 persen.
Sejumlah studi menunjukkan, sekalipun vaksin yang ada saat ini masih mampu bekerja terhadap varian baru B 1.351, kemanjurannya berkurang. Misalnya, vaksin Pfizer yang menjadi kurang efektif meskipun masih berfungsi. Demikian pula dengan vaksin Moderna yang masih efektif, walaupun respons imun tidak sekuat sebelumnya.
Vaksin Novavax yang diujikan terhadap varian ini menunjukkan tingkat efikasinya tinggal 60 persen dalam mencegah gejala. Sementara vaksin Johnson & Johnson hanya 57 persen efektif untuk varian Afrika Selatan, dibandingkan efikasinya saat diujikan di Amerika Serikat yang mencapai 72 persen. Sejauh ini belum ada data terkait efikasi vaksin Sinovac terhadap varian baru dari Afrika Selatan.
Perjalanan mutasi acak yang telah terbukti dapat meningkatkan penularan, keparahan, dan juga penurunan efikasi vaksin bukan akhir cerita. Seiring berbagai upaya yang dilakukan, termasuk pemberian terapi kepada pasien Covid-19, virus ini ternyata juga terus bermutasi secara adaptif.
MUTASI dan
ADAPTASI
Selama ribuan tahun, mutasi dan adaptasi telah mendorong evolusi Coronavirus (CoV) dan inangnya, termasuk manusia. Sebelum 2003, dua CoV pada manusia (Human CoV atau HCoV) diketahui menyebabkan penyakit ringan, seperti flu biasa.
Namun, wabah sindrom pernapasan akut yang parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) telah membalikkan koin. Kedua jenis virus itu mengungkapkan potensi infeksi HCoV yang dapat menghancurkan dan mengancam nyawa.
Munculnya SARS-CoV-2 di Wuhan pada akhir tahun 2019 kembali membuat CoV menjadi sorotan dan mengejutkan dengan penularannya yang tinggi, meskipun tingkat patogenisitasnya lebih kecil dibandingkan ”saudara”-nya, SARS-CoV.
Ini berarti, virus korona (CoV) memang terus berubah alias bermutasi guna beradaptasi dan akhirnya berhasil menjadi pandemi terbesar di abad ini. Untuk memahaminya, kita perlu menelisik ke dalam jasad renik berukuran sekitar 0,1 nano meter atau sekitar 1/1.000 ukuran rambut manusia dan bagaimana mekanisme mutasinya.
Di dalam inti setiap virus korona, termasuk SARS-CoV-2, terdapat untaian hampir 30.000 ”huruf” RNA yang tersusun melingkar. Instruksi genetik ini memaksa sel manusia yang terinfeksi mengumpulkan 29 jenis protein guna membantu virus tersebut untuk mereplikasi diri dan menyebar ke sel lainnya.
Saat virus menggandakan diri, kesalahan kecil penyalinan kerap terjadi dalam genomnya. Kesalahan kecil yang terjadi secara acak inilah yang disebut mutasi dan menjadi bahan mentah terjadinya evolusi.
Dibandingkan virus RNA lainnya, SARS-CoV-2 bukanlah ”pesawat jet” dalam hal kecepatan mutasi. Genom SARS-CoV-2 yang relatif besar untuk ukuran virus RNA, rata-rata hanya mengakumulasi dua mutasi huruf tunggal dalam sebulan, tingkatnya sekitar setengah dari kecepatan mutasi virus H1N1 pemicu influenza dan seperempat kecepatan HIV.
Berbeda dengan H1N1, SARS-CoV-2 sebenarnya relatif lebih stabil karena material genetiknya lebih besar. Namun, karena SARS-CoV-2 sukses menginfeksi banyak orang sehingga terus berkembang biak secara eksponensial selama setahun terakhir ini, virus ini telah menjadi pohon rimbun dengan beragam cabang variannya.
Beberapa mutasi itu tidak berpengaruh pada protein virus korona yang dibuat oleh sel yang terinfeksi. Mutasi lainnya mungkin mengubah bentuk protein dengan mengubah atau menghapus salah satu asam amino atau bahan penyusun yang terhubung bersama guna membentuk protein.
Melalui proses seleksi alam, mutasi netral yang sedikit menguntungkan virus dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara mutasi yang merugikan virus kemungkinan besar akan punah. Perlu ditekankan di sini, menguntungkan bagi virus dapat berarti membahayakan bagi inangnya.
Di antara ribuan mutasi itu, setidaknya ada tiga varian SARS-CoV-2 yang kini menyedot kekhawatiran global, yaitu mutasi di Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil, yang menyimpan konstelasi mutasi tidak biasa. Mereka semua berbagi mutasi yang disebut N501Y. Mutasi ini mempengaruhi domain pengikat reseptor (RBD) dari protein lonjakan, yang digunakan virus untuk menggenggam reseptor sel manusia dan memasukinya.
Mutasi ini juga menggantikan asam amino 501 SARS-CoV-2, asparagine (N) dengan tirosin (K) pada protein lonjakan, yang memungkinkannya terikat lebih erat ke reseptor ACE2 pada sel manusia. Ini yang menyebabkan varian baru ini bisa memiliki implikasi berbeda pada orang yang terinfeksi.
BABAK BARU
MUTASI
Mutasi adaptif menjadi babak baru mutasi SARS-CoV-2. Alih-alih mutasi sebelumnya yang terjadi secara acak, mutasi adaptif terjadi saat dilakukan perubahan untuk menanggapi tekanan tertentu.
Dengan kata lain, mutasi yang terjadi bukan lagi secara acak, melainkan spesifik, sebagai respons terhadap tekanan yang dialami dalam rangka bertahan. Ini lebih menguntungkan, tentu saja bagi virus.
Dokter Inggris yang menghabiskan 102 hari merawat pasien Covid-19 dengan kanker mendokumentasikan bagaimana virus tersebut bermutasi adaptif saat diberikan plasma konvalesen atau plasma penyembuhan.
Fenomena ini dilaporkan oleh Steven A Kemp dan tim, peneliti infeksi dan imunologi dari University College London dalam jurnal Nature pada 5 Februari 2021. Selama 57 hari pertama, pasien ini mendapat terapi remdesivir, kemudian mendapatkan donor plasma penyembuhan.
Pasien Covid-19 ini adalah seorang pria berusia tujuh puluhan tahun yang sebelumnya didiagnosis mengalami limfoma sel B marginal dan baru saja menerima kemoterapi. Itu berarti sistem kekebalannya sangat terganggu. Setelah dirawat, pasien diberikan sejumlah pengobatan, termasuk remdesivir obat antivirus, dan plasma penyembuhan atau plasma konvalesen yang mengandung antibodi dari darah penyintas Covid-19.
Kompas/Priyombodo
Penyintas Covid-19 melakukan donor plasma konvalesen di kantor pusat Palang Merah Indonesia di Jakarta, Senin (18/1/2021). Donor untuk membantu penyembuhan pasien Covid-19 ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang telah sembuh dari infeksi Covid-19.
Meskipun awalnya stabil, kondisinya kemudian memburuk. Dia dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan menerima perawatan lebih lanjut, tetapi kemudian meninggal. Selama dirawat, dari tubuh pasien diambil 23 spesimen virus yang kemudian dianalisis genomiknya.
Saat diamati, antara hari ke-66 dan ke-82 atau setelah dua kali pemberian serum penyembuhan yang pertama, terjadi perubahan dramatis dalam populasi virus dengan varian yang mengandung penghapusan ΔH69/ΔV70. Di samping itu, mutasi pada protein lonjakan (D796H) menjadi dominan. Meskipun awalnya tampak mati, varian ini kemudian muncul kembali saat pasien mendapat terapi remdesivir ketiga dan terapi plasma pemulihan.
Profesor Ravi Gupta dari Cambridge Institute of Therapeutic Immunology & Infectious Disease, yang memimpin penelitian tersebut, mengatakan, ”Apa yang kami lihat pada dasarnya adalah persaingan antara varian virus yang berbeda. Dan kami pikir itu didorong oleh terapi plasma penyembuhan.”
Virus yang akhirnya menang dalam persaingan tersebut (survival of the fittest) memiliki mutasi D796H dan penghapusan ΔH69/ΔV70. Awalnya, varian ini berada di atas angin selama terapi plasma penyembuhan sebelum disalip oleh varian lain. Ketika terapi dilanjutkan, varian ini muncul kembali.
AP Photo/Jessica Hill
Botol berisi vaksin Covid-19 produksi Pfizer-BioNTech yang digunakan di Rumah Sakit Hartford, Connecticut, AS, Senin (14/12/2020). Riset baru mempublikasikan, vaksin ini mampu melindungi dari varian baru virus SARS-CoV-2 yang muncul di Inggris dan Afrika Selatan.
Di bawah kontrol ketat kondisi, para peneliti membuat dan menguji versi sintetis virus dengan penghapusan ΔH69/ΔV70 dan mutasi D796H ini, baik secara individu maupun bersama-sama. Mutasi gabungan membuat virus kurang peka terhadap netralisasi plasma penyembuhan.
Para peneliti kemudian menemukan, penghapusan ΔH69/ΔV70 membuat virus dua kali lebih menular dibandingkan varian dominan sebelumnya. Para peneliti juga percaya peran penghapusan itu untuk mengompensasi hilangnya penyakit akibat mutasi D796H. Paradigma ini klasik untuk virus, yakni mutasi yang sukses diikuti oleh mutasi kompensasi.
“
Mengingat vaksin dan terapi ditujukan pada protein lonjakan dari virus yang bermutasi pada pasien, cukup mengkhawatirkan bahwa virus ini dapat bermutasi untuk mengecoh vaksin
tambah Gupta
„
Sekalipun mutasi ini spesifik dan terjadi pada pasien yang spesifik, ini menjadi bukti nyata bahwa SARS-CoV-2 bisa bermutasi adaptif.
REKOMBINASI
VIRUS
Peneliti di AS melaporkan bentuk baru mutasi, yaitu rekombinasi atau penggabungan dua varian SARS-CoV-2 menjadi mutasi hibrida. Pertama kali diidentifikasi di Inggris dan California.
Rekombinasi virus ini ditemukan dalam sampel virus di California berisi varian B.1.1.7 yang lebih menular (berasal dari Inggris) dan varian B.1.429 yang berasal dari California. Diduga, mutasi virus inilah yang bertanggung jawab atas gelombang kasus Covid-19 di Los Angeles.
Rekombinan ini ditemukan oleh Bette Korber di Laboratorium Nasional Los Alamos di New Mexico dan disampaikan dalam pertemuan Akademi Ilmu Pengetahuan New York pada 2 Februari 2021. Menurut dia, ada bukti yang cukup jelas dalam basis data genom virus AS.
Dalam presentasinya, Korber menyebutkan, ”Kami menemukan setidaknya satu rekombinan.” Dia juga memperlihatkan representasi grafis genom virus yang menunjukkan adanya mosaik urutan dari dua garis keturunan berbeda, yang sulit dijelaskan kecuali melalui rekombinasi.
AP Photo/Jessica Hill, File
Wadah berisi vaksin Covid-19 produksi Pfizer-BioNTech di Rumah Sakit Hartford, Connecticut, AS, Senin (14/12/2020). Vaksin ini dinilai mampu melindungi dari varian baru virus SARS-CoV-2.
Meski demikian, implikasi dari temuan ini belum jelas karena masih sangat sedikitnya yang diketahui tentang biologi rekombinan SARS-CoV-2. Hanya saja perlu diingat, rekombinan ini membawa mutasi varian B.1.1.7 yang disebut Δ69/70 yang membuatnya lebih mudah menular serta mutasi B.1.429 yang disebut L452R, yang dapat memberikan resistensi terhadap antibodi.
Tidak seperti mutasi biasa yang mengakumulasi perubahan satu per satu, rekombinasi dapat menyatukan banyak mutasi sekaligus. Ini bisa saja tidak memberikan keuntungan, tetapi terkadang memberi manfaat bagi virus. Bagi manusia, ini berarti lebih berbahaya.
Rekombinasi sebenarnya lazim terjadi pada virus korona karena enzim yang mereplikasi genom mereka, cenderung terlepas dari untai RNA yang disalin, tetapi kemudian bergabung kembali di tempat yang ditinggalkannya. Secara teoretis, jika sel inang mengandung dua genom virus korona yang berbeda, enzim dapat berulang kali melompat dari satu ke yang lain dan menggabungkan elemen berbeda dari setiap genom dan menghasilkan virus hibrida.
Kemunculan berbagai varian virus korona baru bisa saja telah menjadi bahan mentah untuk rekombinasi karena orang dapat terinfeksi dua varian berbeda sekaligus. Riza Arief mengatakan, temuan ini perlu dipublikasikan dulu di jurnal atau laporan ilmiah untuk diulas oleh sejawat, seperti dilakukan para peneliti di Eropa.
“
Namun, jika memang rekombinasi ini telah terjadi, bisa berbahaya karena dapat menghasilkan virus baru. Bisa jadi akan muncul SARS-CoV-3
katanya
„
MENJADI
ENDEMIS
Kekhawatiran tentang terjadinya rekombinasi SARS-CoV-2 itu semakin nyata. Hari Rabu (24/3/2021), India telah mendeteksi "varian mutan ganda" virus korona baru pada 206 sampel di negara bagian Maharashtra, wilayah yang paling parah terdampak wabah.
Peluang munculnya beragam varian dengan berbagai karakter yang berbeda dengan varian sebelumnya semakin terbuka. Bahkan, bukan tidak mungkin beragam
varian baru sebenarnya telah ada tengah-tengah kita. Namun, karena surveilans genom membuatnya tak semua terdeteksi. Sebagai negara yang menjadi episentrum wabah, Indonesia berpeluang menghasilkan berbagai varian baru, sebagaimana terjadi di India, Amerika, Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan.
Sejauh ini, kapasitas surveilans genomik Indonesia untuk mendeteksi varian baru SARS-CoV-2 masih sangat kecil. Berdasarkan analisis yang dilakukan Riza dari data GISAD dan Wordometer, hingga akhir April 2021, Indonesia baru mendaftarkan 394 total genom SARS-CoV-2. Jumlah ini hanya 0,03 persen dari total kasus Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan jumlah total genom yang didaftarkan ke bank data GISAID, Indonesia hanya menempati peringkat ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara.
Kompas/Priyombodo
Tenaga kesehatan menanti giliran vaksin di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (4/2/2012). Untuk mencapai kekebalan kelompok, vaksin perlu menjangkau sedikitnya 55 persen populasi.
Dari sampel yang dikirimkan Balitbangkes pada bulan Januari dan Februari 2021, telah ditemukan 7 pengurutan genom lengkap atau whole genome sequencing (WGS) varian VUI202012/01 GR/501.Y.V1 B.1.1.7. Dari ketujuh sampel tersebut, 3 berasal dari Jakarta, 1 dari Kalimantan Selatan, 1 dari Kalimantan Utara, 1 dari Sumatera Utara, dan 1 dari Sumatera Selatan.
Menurut Riza, jumlah genom yang dianalisis minimal sama atau lebih dari 0,05 persen jumlah kasus di tiap negara. Idealnya 1 persen atau lebih. Di ASEAN, negara yang paling tinggi persentase analisis genomiknya adalah Kamboja, yaitu 46 genom atau sekitar 9,6 persen dari total kasus yang hanya 479. Berikutnya, Vietnam sebanyak 150 genom atau 6,61 persen.
Sementara itu, secara global GISAID telah menerima data 532.067 genom atau 0,49 persen dari total kasus Covid-19 di dunia yang mencapai 109,5 juta. Negara dengan persentase analisis genomik paling tinggi adalah Australia yang mendaftarkan 17.235 genom dari 28.900 kasus atau 59,64 persen. Berikutnya, Selandia Baru yang mendaftarkan 1.107 dari 2.336 kasus atau 47,39 persen.
Analisis genomik ini merupakan fondasi penting untuk memahami musuh. Tanpa data genom SARS-CoV-2, kita tidak akan bisa memahami asal-usul, karakter, bahkan cara untuk melawannya. Sejak awal pandemi, dengan cepat data total genom virus ini dianalisis dan diunggah ke bank data GISAID yang merupakan kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan.
Selain kemajuan genomik, selama pandemi ini umat manusia juga telah mengalami sejumlah lompatan besar ilmu pengetahuan dalam menghadapi penyakit menular. Penciptaan vaksin hanya dalam waktu setahun adalah lompatan terbesar, karena biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Namun, lawan kita ternyata tak kalah canggih. Virus ini terus bermutasi agar tetap bertahan di dunia kita. Ketiga versi mutasi virus dari Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil, yang menyedot kekhawatiran global, hanyalah sejumput dari ribuan varian SARS-CoV-2 yang bermunculan sejak pandemi berlangsung.
Dengan jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia yang mencapai 126.203.749 hingga Jumat (26/3/2021), tercipta begitu banyak peluang bagi munculnya varian seperti gangbuster. Ditambah lagi, beragam upaya penanganan virus ini menghasilkan respons berupa mutasi adaptif.
Kini, bagaimana ujung dari ”adu kuat” manusia dengan SARS-CoV-2?
MUSTAHIL
LENYAP
Survei yang dilakukan Nature pada Januari 2021 kepada lebih dari 100 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virologi yang menangani virus korona menyimpulkan, eradikasi SARS-CoV-2 dari dunia manusia adalah mustahil.
Hampir 90 persen responden berpendapat, virus korona akan menjadi endemik. Artinya, akan terus beredar di kantong-kantong populasi global selama tahun-tahun mendatang.
”Memberantas virus ini dari dunia kita sekarang sama seperti mencoba membangun jalur batu loncatan ke Bulan. Tidak realistis,” kata Michael Osterholm, ahli epidemiologi dari University of Minnesota, Minneapolis, AS, dalam jurnal Nature (16 Februari 2021).
Akan tetapi, para ilmuwan membesarkan hati. Kegagalan pemberantasan virus, menurut mereka, bukan berarti kematian, penyakit, atau isolasi sosial akan terus terjadi dalam skala seperti yang terlihat saat ini. Masa depan akan sangat bergantung pada jenis kekebalan yang diperoleh manusia melalui infeksi atau vaksinasi serta pada bagaimana virus ini berkembang.
Influenza dan empat virus korona manusia yang menyebabkan flu biasa juga merupakan endemik. Namun, kombinasi vaksin tahunan dan kekebalan yang diperoleh dapat berarti masyarakat menoleransi kematian dan penyakit musiman yang muncul tanpa pembatasan, masker, dan jarak sosial.
Kisah pandemi Covid-19 agaknya bakal seperti pandemi influenza 1918, yang menewaskan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Di Pulau Jawa dan Madura, jatuh korban 4,3 juta jiwa dan di seluruh Nusantara, rata-rata 10 persen populasi. Pandemi yang dikenal sebagai flu Spanyol ini baru mereda setelah dua tahun. Meski begitu, virus ini tidak sepenuhnya hilang dari dunia kita.
Virus influenza A atau penyebab influenza 1918, yang awalnya berinang dari burung itu, masih terus bergentayangan dalam berbagai variannya. Bahkan, hampir semua wabah flu berikutnya, disebabkan oleh keturunan virus 1918 yang beredar di seluruh dunia. Virus ini menginfeksi jutaan orang dan hingga kini merenggut rata-rata 650.000 nyawa per tahun secara global.
Dicky Budiman, epidemiolog dan ahli kesehatan global dari Indonesia di Griffith University, termasuk yang percaya bahwa SARS-CoV-2 mungkin mengikuti jalur yang sama dengan virus influenza ini.
“
Skenario bahwa SARS-CoV-2 akan menjadi salah satu daftar virus yang terus ada atau endemik dalam populasi manusia memang lebih realistis
katanya
„
Menurut Dicky, virus itu juga bisa menetap menjadi pola wabah musiman. Kalau virus ini mau menjadi endemis, ada kemungkinan SARS-CoV-2 bakal menjadi lebih tidak mematikan karena dia butuh inang untuk bertahan. Namun, sebelum keseimbangan itu tercapai, kita harus melakukan beragam cara untuk menekan jumlah korban.
Sebelum kemunculan SARS-CoV-2, sejumlah virus korona lain sebenarnya telah endemis di dunia kita. SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19 merupakan bagian dari keluarga Corona dan subkeluarga Orthocoronavirinae, yang jumlahnya di alam sangat banyak. Virus ini selanjutnya dibagi menjadi generasi alfa, beta, gama, dan delta.
Virus korona alfa dan beta menginfeksi mamalia, seperti kelelawar, babi, unta, dan tikus, serta manusia. Sementara sebagian besar virus korona gama dan delta menginfeksi unggas, meskipun juga telah ditemukan pada paus, babi, dan mamalia lain.
KISAH
BERULANG
Keberadaan virus korona pada manusia, pertama kali diisolasi dari kultur sel pada 1966 oleh ilmuwan Amerika, Dorothy Hamre dan John Procknow. Virus ini dinamakan HCoV-229E dan diklasifikasikan sebagai virus korona alfa.
Virus ini dikaitkan dengan yang dikaitkan dengan berbagai gejala sakit pernapasan, mulai dari flu biasa hingga pneumonia dan bronkiolitis yang banyak menginfeksi anak-anak dalam tahun pertama kehidupan.
Setahun kemudian ditemukan lagi virus korona alfa yang menginfeksi manusia dan dinamakan HCoV-OC43. Sebagian besar virus ini dikaitkan dengan infeksi ringan saluran pernapasan bagian atas meskipun juga diduga berperan dalam bentuk penyakit neurologis yang lebih parah, termasuk ensefalitis. Analisis filogenetik menunjukkan, OC43 awalnya ada di tikus, lalu berpindah ke sapi, dan menginfeksi manusia menjelang pergantian abad ke-20.
Baik virus korona 229E maupun OC43 sampai sekarang masih ada alias endemik dalam kehidupan manusia. Namun, karena dampaknya tidak terlalu fatal, keberadaannya jarang menjadi perhatian.
Hingga pada 2002, muncul virus korona baru di Guangdong, China, yang menyebabkan infeksi akut pada saluran pernapasan atau yang dikenal sebagai SARS-CoV. Kurang dari setahun, virus ini menginfeksi 8.450 orang di 33 negara di lima benua, dengan 810 orang di antaranya meninggal. Cepatnya penyebaran dan tingginya tingkat kefatalan membuat virus korona untuk pertama kalinya menjadi momok menakutkan.
Untuk mengatasi SARS, sejumlah vaksin telah dikembangkan dan diuji pada model hewan, terutama pada musang dan tikus. Semua vaksin menghasilkan kekebalan pelindung, tetapi juga menimbulkan komplikasi berupa gangguan imunitas pada hewan.
National Photo Company/Library of Congress Amerika Serikat
Petugas Palang Merah di Washington DC, AS, membawa pasien flu spanyol di tengah pandemi yang merebak tahun 1918.
Tidak ada penelitian yang dilakukan pada manusia, termasuk penelitian vaksin lebih lanjut karena virus SARS secara misterius menghilang pada pertengahan 2003. Karantina ketat terhadap orang-orang yang melakukan kontak dengan individu terinfeksi dinilai sebagai penyebab hilangnya wabah.
Pada tahun 2012, varian baru virus korona memicu infeksi pernapasan akut di Timur Tengah (MERS) dengan tingkat kematian 30-40 persen. Hingga saat ini, 1.370 orang telah terinfeksi dan 470 orang di antaranya meninggal.
Selain virus korona 229E dan OC43, dua virus korona lain yang juga endemik pada manusia adalah HCoV-NL63 yang ditemukan oleh peneliti Belanda pada 2004 serta virus HCoV-HKU1 yang ditemukan peneliti Hong Kong pada 2005. Kemampuan sejumlah virus korona endemik ini dalam memicu flu biasa secara berulang kali, telah didokumentasikan dalam penelitian selama beberapa dekade dan juga baru-baru ini. Jadi, sekalipun Covid-19 merupakan wabah baru, kisah ini sebenarnya merupakan perulangan dalam sejarah peradaban manusia yang akan selalu berevolusi. Hubungan manusia dengan patogen virus telah sangat purba.
Virus telah memicu infeksi yang menjadi penyebab utama kematian dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, virus juga memainkan peran kunci dalam proses evolusi hingga membentuk kita menjadi sosok Homo sapiens seperti saat ini.
Kompas/Agus Susanto
Untuk mencegah penularan SARS (infeksi akut pada saluran pernapasan) yang merebak tahun 2002-2003, dianjurkan pemakaian masker, seperti terlihat saat jam belajar di SMU Yayasan Pendidikan Katolik TK-SMU Ricci, Jakarta, Selasa (8/4/2003).
Ketika pandemi melanda, populasi yang menjadi sasaran virus akan beradaptasi atau punah. Mereka yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi atau setidaknya mengubah gaya hidup.
Adaptasi ini pula yang sekarang mesti kita lakukan agar selamat dari ancaman Covid-19. Sebelum tubuh kita mampu menemukan cara menghadapinya, baik secara alamiah maupun melalui bantuan vaksin, yang bisa dilakukan saat ini adalah mengubah perilaku agar virus ini tidak menginfeksi. Rajin cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak fisik adalah gaya hidup baru.
Tindakan ini mungkin terdengar sepele. Namun, untuk saat ini, hal itulah yang dapat membantu kita selamat dalam menghadapi SARS-CoV-2 yang tampaknya akan terus ada dalam kehidupan manusia.
${ items[1].title }
${ items[1].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[2].title }
${ items[2].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[3].title }
${ items[3].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[4].title }
${ items[4].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[5].title }
${ items[5].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[6].title }
${ items[6].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[7].title }
${ items[7].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[8].title }
${ items[8].excerpt }
Telusuri lebih jauh
${ items[0].title }
${ items[0].excerpt }
Telusuri lebih jauh
Kembali ke judul
Kerabat Kerja
Penulis: Ahmad Arif | Fotografer: Priyombodo, Agus Susanto, Ichwan Susanto, Lasti Kurnia | Infografik: Ismawadi | Sumber infografik: Genomic Surveillance of SARS-CoV-2 in Indonesia: WGS to Downstream Bioinformatics, Riza Arief Putranto | Olah foto: Novan Nugrahadi | Ilustrator: Cahyo Heryunanto | Penyelaras bahasa: Rosdiana Sitompul | Produser: Sri Rejeki | Designer & Pengembang : Ria Candra, Tri Prastio Nugroho, Rino Dwi Cahyo, Naomi Aryati Putri
Suka dengan tulisan yang Anda baca?
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.