Memuat Halaman

Nikel Indonesia
Bahan Baku Baterai

Baterai jenis ini menggunakan litium, nikel, kobalt, mangan, dan aluminium sebagai bahan baku material katoda (negatif). Selain itu, baterai litium ion juga menggunakan grafit sebagai material anoda (positif).

Nikel adalah salah satu unsur logam yang penting dalam pembuatan baterai listrik. Di dalam katoda baterai terkandung unsur litium, nikel, kobalt, mangan, dan aluminium.

Secara ekonomis, katoda di dalam baterai kendaraan listrik bernilai tinggi. Komponen katoda berkontribusi hingga 34 persen terhadap total harga sel baterai kendaraan listrik. Sejalan dengan nilai strategis tersebut, pemerintah menargetkan pembangunan industri penambangan dan pengolahan nikel serta pembuatan baterai listrik yang sinergis dari hulu hingga hilir.

Secara umum, bijih nikel yang ada di bumi Indonesia adalah nikel laterit, yang terdiri dari bijih limonit dan bijih saprolit. Kedua jenis bijih nikel laterit ini perlu perlakuan berbeda dalam pengolahannya.

Ada sejumlah metode yang bisa dipakai untuk mengolah bijih nikel laterit. Sejauh ini, Indonesia menggunakan teknik pengolahan nikel laterit high pressure acid leaching (HPAL), rotary kiln electric furnace (RKEF), dan blast furnace/electric arc furnace.

Secara umum, baterai litium ion terbagi dalam beberapa tipe, yakni NCA, NMC, dan LFP. NCA merupakan singkatan dari nickel cobalt aluminium oxide. NCA ini paling populer saat ini karena memiliki kapasitas voltase lebih besar dibandingkan NMC (nickel manganese cobalt oxide) dan LFP (lithium ferrophosphate).

Sumber: BCG Research

Perbedaan kapasitas voltase ini dikarenakan komposisi material baterai yang berbeda. NCA memiliki material nikel yang dominan dibandingkan material lain, sedangkan NMC dan LFP memiliki komposisi material hampir merata.

Voltase listrik baterai NCA sebesar 3,7 volt per sel, sedangkan LFP 3,2 volt per sel. Baterai NCM berada pada rentang NCA dan LFP. Hal ini menyebabkan baterai NCA memiliki spesifiksi yang tinggi dan lebih ringkas dalam hal ukuran. Dapat dideskripsikan, jika baterai NCA hanya memerlukan 100 sel baterai, baterai LFP membutuhkan hingga 200 sel baterai. Dengan demikian, dimensi baterai tipe LFP akan lebih besar daripada NCA.

Dari ketiga tipe baterai tersebut, Indonesia berencana membangun industri baterai listrik berjenis NCA dan NMC. Kedua jenis baterai tersebut memiliki kualitas tinggi dan dimensi yang kompak sehingga memberi ruang kreatif pada desain mobil listrik yang lebih menarik dan lebih lapang.

Perbedaan kapasitas voltase ini dikarenakan komposisi material baterai yang berbeda. NCA memiliki material nikel yang dominan dibandingkan material lain, sedangkan NMC dan LFP memiliki komposisi material hampir merata.

Voltase listrik baterai NCA sebesar 3,7 volt per sel, sedangkan LFP 3,2 volt per sel. Baterai NCM berada pada rentang NCA dan LFP. Hal ini menyebabkan baterai NCA memiliki spesifiksi yang tinggi dan lebih ringkas dalam hal ukuran. Dapat dideskripsikan, jika baterai NCA hanya memerlukan 100 sel baterai, baterai LFP membutuhkan hingga 200 sel baterai. Dengan demikian, dimensi baterai tipe LFP akan lebih besar daripada NCA.

Dari ketiga tipe baterai tersebut, Indonesia berencana membangun industri baterai listrik berjenis NCA dan NMC. Kedua jenis baterai tersebut memiliki kualitas tinggi dan dimensi yang kompak sehingga memberi ruang kreatif pada desain mobil listrik yang lebih menarik dan lebih lapang.

Produsen Terbesar Nikel

Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan tingkat produksi bijih nikel beserta cadangannya yang terbesar di dunia. Indonesia akan menjadi pemasok utama dalam penyediaan komoditas bahan baku baterai ataupun baterai kendaraan pada masa mendatang.

Berdasarkan laporan Wood Mackenzie, yang disarikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terkait proyeksi komoditas nikel dunia, diperkirakan akan terjadi kenaikan penggunaan komoditas ini secara signifikan dalam beberapa tahun mendatang. Pada 2020, sebagian besar komoditas nikel,yaitu 71 persen, dipergunakan untuk memproduksi stainless steel.

Sisanya, sekitar 10 persen digunakan sebagai bahan campuran logam nonbesi dan 16 persen untuk pelapisan, pengecoran, serta campuran baja. Hanya 3 persen yang dimanfaatkan untuk memproduksi baterai. Sangat kecil.

Cadangan Nikel Dunia

Sumber: Peluang Investasi Nikel Indonesia, Kementerian ESDM

Namun, pada 2040 nanti, diperkirakan penggunaan nikel akan berubah drastis, terutama pada pemanfaatan nikel sebagai bahan baku baterai. Diperkirakan pemanfaatan nikel sebagai baterai melonjak signifikan menjadi sekitar 30 persen. Artinya, dalam kurun 20 tahun terjadi lonjakan penggunaan material nikel sebagai penyimpan energi hingga 10 kali lipat. Hal ini merupakan peluang positif bagi Indonesia yang memiliki komoditas nikel sangat berlimpah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2019, produksi bijih nikel Indonesia mencapai 800.000 ton. Angka ini menduduki peringkat pertama dunia, yang terpaut hampir 400.000 ton dari produsen kedua dunia, yang diduduki oleh Filipina. Jika dibandingkan oleh produsen ketiga dunia yang diduduki Rusia, selisihnya lebih jauh lagi karena negara ”beruang merah” itu hanya mampu memproduksi sekitar 270.000 ton.

Dari segi cadangan nikelnya, Indonesia diperkirakan memiliki deposit 72 juta ton. Menurut data USGS dan Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan ini menempati posisi pertama di dunia dengan porsi hingga 52 persen dari total cadangan dunia saat ini yang sebesar 139 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati Australia dengan besaran 15 persen dan Rusia sekitar 5 persen dari seluruh cadangan dunia.

Produksi Pertambangan Nikel Global Tahun 2019

Sumber: Peluang Investasi Nikel Indonesia, Kementerian ESDM

Cadangan 72 juta ton di Indonesia itu berada di wilayah tambang yang sudah memiliki izin usaha produksi operasi pertambangan (IUP OP) dan smelter. Padahal, masih ada potensi cadangan lain di luar wilayah IUP atau kontrak karya (KK) yang jumlahnya sangat besar.

Berdasarkan laporan Kementerain ESDM tahun 2020, potensi cadangan nikel di luar wilayah operasi pertambangan di Indonesia itu mencapai 4,5 miliar ton. Jumlah ini sangatlah besar karena lebih dari 30 kali lipat cadangan nikel dunia saat ini.

Dengan jumlah cadangan sebesar itu, produksi nikel di Indonesia baru akan habis dalam beberapa dekade mendatang. Pemilihan proses ekstraksi bijih nikel akan berpengaruh pada output produk dan jangka waktu ketahanan produksinya.

Sumber: Peluang Investasi Nikel Indonesia, Kementerian ESDM; Dikutip Litbang Kompas/IWN

Jika bijih nikel dipisahkan dengan proses pirometalurgi atau pemisahan logam dari bijihnya dengan cara pemanasan pada temperatur tinggi, diperkirakan cadangan nikel mampu berproduksi hingga 27 tahun ke depan. Namun, jika ekstraksi bijih nikel menggunakan proses hidrometalurgi atau menggunakan reagen pelarut yang dilakukan pada temperatur relatif rendah, diperkirakan cadangan nikel Indonesia mampu berproduksi hingga 73 tahun ke depan atau tahun 2093.

Perbedaan proses ekstaksi bijih nikel pada endapan laterit tersebut menghasilkan output produksi yang berbeda. Pada rencana industri hilir nikel di Indonesia, proses pirometalurgi akan menghasilkan aneka produk stainless steel.

Untuk proses hidrometalurgi, akan dihasilkan sejumlah produk, seperti campuran logam berbasis nikel, pelapisan logam, dan baterai. Dari rencana industri hilir ini, dapat diindikasi bahwa proses ekstraksi hidrometalurgi memiliki daya saing yang tinggi di kancah internasional.

Dengan proses hidrometalurgi, Indonesia berpeluang besar untuk menghasilkan bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan. Selain itu, dengan proses yang menghasilkan output di antaranya berupa senyawa MHP (mixed hydroxide precipitate) dan NiOH (nikel hidroksida) ini, umur cadangan nikel Indonesia menjadi sangat panjang, yakni hingga 73 tahun.

Peluang Investasi

Hampir dapat dipastikan semua investor terkait energi baterai skala gobal akan mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Alokasi modalnya dapat beraneka rupa.

Investasi bisa ditanamkan untuk usaha ekstraktif pertambangan nikel yang masih sangat terbuka luas di sejumlah tempat, seperti di Sulawesi, Maluku, dan Papua. Di sisi lain, masih ada 4,5 miliar ton nikel laterit yang tersebar di luar wilayah izin usaha pertambangan. Artinya, perlu ada pemodal yang mau membuka wilayah operasi baru pertambangan di area yang memiliki potensi cadangan nikel besar tersebut.

Investor dapat pula menanamkan modalnya untuk memproduksi baterai kendaraan. Dengan tersedianya meterial yang dibutuhkan dalam memproduksi baterai, investor berkesempatan untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan ketersediaan sejumlah kawasan industri, infrastruktur yang mendukung, ketersediaan bahan baku, kemudahan menyerap tenaga kerja, dan didukung kebijakan pemerintah, peluang membangun pabrik baterai sangat terbuka lebar di Indonesia.

Salah satu investor yang sudah resmi menandatangai nota kesepahaman (MOU) dengan Pemerintah Indonesia terkait pembangunan proyek baterai kendaraan listrik adalah LG Energy Solution. Pada akhir tahun lalu, perusahaan ini berkomitmen menanamkan investasinya pada industri baterai dari hulu hingga hilir senilai 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 142 triliun.

Pabrik tersebut berencana mengintegrasikan seluruh rantai pasok baterai, mulai dari pertambangan, smelter, prekursor, katoda, mobil, hingga fasilitas daur ulang, yang semuanya dibangun di Indonesia. Dalam MOU antara pemerintah dan LG disebutkan, setidaknya 70 persen nikel yang akan digunakan untuk memproduksi baterai mobil listrik harus diproses di Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang mengintegrasikan industri baterai listrik mulai dari pertambangan hingga memproduksi baterai litium kendaraan listrik. Bahkan, integrasi itu hingga ke proses daur ulang baterai sehingga tidak membebani lingkungan.

Selain LG Energy Solution, investor lain yang tampaknya juga tertarik berinvestasi di bidang baterai kendaraan adalah produsen baterai asal China, Contemporary Amperex Technology (CATL). Perusahaan ini berencana menanamkan modalnya sebesar 5 miliar dollar AS atau senilai Rp 70 triliun untuk membangun pabrik baterai litium di Indonesia.

Apabila CATL jadi berinvestasi, pemerintah memastikan perusahaan itu diwajibkan untuk mengolah 60 persen nikel yang akan digunakan untuk memproduksi baterai listrik di Indonesia. Pemerintah tidak ingin para investor tersebut membawa nikel Indonesia ke luar dan mengolahnya di luar negeri.

Bentuk investasi lain yang berpotensi di Indonesia adalah produksi kendaraan berbasis listrik (electric vehicle/EV). Dengan tersedianya pabrik perakitan baterai kendaraan, produsen EV dapat berkolaborasi untuk langsung merakitnya menjadi unit kendaraan listrik yang siap dipasarkan.

Dengan investasi ini, pabrikan kendaraan akan mampu menerapkan efisiensi biaya dan waktu sehingga ongkos produksi menjadi lebih murah. Hal ini dapat mendorong harga jual kendaraan listrik menjadi sangat kompetitif dengan kendaraan konvensional berbasis energi fosil.

Salah satu produsen yang diundang untuk memproduksi kendaaan listrik di Indonesia adalah Tesla dari Amerika. Presiden Joko Widodo mengundang langsung CEO Tesla Elon Musk untuk membahas industri otomotif berbasis listrik tersebut. Gayung bersambut, kabarnya undangan Presiden itu mendapat respons positif dari pemilik Tesla dengan berencana segera mengirim timnya ke Indonesia.

Jika semuanya berjalan lancar dan terealisasi, Indonesia akan mengalami lompatan yang luar biasa di ranah teknologi kendaraan. Indonesia berpeluang menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik beserta unit kendaraannya sekaligus, bahkan menjadi produsen terbesar di dunia untuk kedua komoditas tersebut. Baterai listrik dan kendaraan listrik.

Bernilai Tinggi

Pilihan pemerintah untuk membuka ruang investasi industri baterai kendaraan listrik terbilang menguntungkan secara ekonomi. Manfaat ekonomi itu adalah peningkatan nilai tambah produksi perakitan baterai yang memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.

Dalam menciptakan mobil bertenaga listrik, baterai merupakan salah satu komponen sangat penting yang memiliki nilai tinggi dari segi pembiayaan. Diperkirakan 30-40 persen biaya pembuatan mobil listrik diperuntukkan hanya bagi penyediaan baterainya. Jadi, dapat dibayangkan betapa mahalnya harga baterai untuk mobil listrik itu.

Jika diasumsikan harga keseluruhan mobil listrik hasil produksi dalam negeri Indonesia senilai Rp 300 juta, harga baterainya saja sekitar Rp 100 juta. Nilai perkiraan ini tentu saja akan berdampak sangat signifikan bagi perekonomian nasional.

Apalagi, jika harapan Indonesia untuk menjadi produsen terbesar di dunia untuk baterai listrik berikut kendaraannya dapat terwujud sekaligus. Tentu saja, nilai tambah produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan semakin meroket.

Jika Indonesia diasumsikan mampu menyuplai sekitar 10 persen kebutuhan baterai secara global untuk kendaraan listrik pada tahun 2030 nanti, nilai ekonomi yang dihasilkan akan sangat fantastis. Mengacu pada analisis Irena, jumlah kendaraan listrik pada tahun 2030 akan mencapai 260 juta unit.

Apabila Indonesia mampu menyuplai baterai untuk sekitar 10 persen atau 26 juta kendaraan, nilai tambah produksi baterai yang disumbangkan pada perekonomian nasional mencapai Rp 2.600 triliun. Nilai ini diperoleh dengan asumsi kondisi perekonomian tahun 2030 tidak berbeda jauh dengan saat ini dan biaya produksi satu baterai untuk satu kendaraan sekitar Rp 100 juta.

Itu adalah potensi kontribusi sangat besar yang disumbangkan pada perekonomian nasional apabila Indonesia mampu membangun industri baterai kendaraan listrik. Selain berdampak positif bagi perekonomian, hal ini akan memperkuat posisi Indonesia di dunia. (LITBANG KOMPAS)

© PT Kompas Media Nusantara