Benarkah Iklim Panas Mampu Menekan Penyebaran Covid-19?

Iklim berperan menurunkan penyebaran virus SARS-CoV-2, seperti ditunjukkan oleh beberapa penelitian. Ini karena Covid-19 yang disebabkan virus itu, menular melalui droplet (butiran ludah) sehingga akan terpapar kondisi eksternal di luar inangnya, termasuk iklim.

Salah satu harapan yang muncul dalam usaha mengatasi pandemi Covid-19 adalah campur tangan alam. Pengaruh iklim diharapkan ikut berperan menurunkan penyebaran virus SARS-CoV-2. Harapan tersebut tidaklah muncul dari ruang kosong karena didukung oleh beberapa penelitian ilmiah.

Beberapa virus yang menyerang pernapasan, misalnya human coronavirus (hCoV) galur OC43, KHU1, 229E dan NL63, merupakan virus yang terpengaruh oleh alam. Virus tersebut biasanya akan mewabah pada musim dingin, yakni mulai Desember dan memuncak pada Februari, lalu berakhir pada April. Pola naik dan turun virus dipengaruhi alam.

Spencer Platt/Getty Images/AFP
Warga New York menikmati suasana musim semi di taman Brooklyn Bridge Park sambil tetap menjaga jarak, 2 Mei 2020. New York City, salah satu kota dengan kasus Covid-19 paling tinggi di Amerika, termasuk angka kematiannya. Namun kini, kasusnya menurun.

Sebuah studi tentang empat jenis virus korona oleh Centre for Infectious Disease dari University of Edinburgh, yaitu HCoV-229E, HCoV-HKU1, HCoV-NL63, dan HCoV-OC43, mengungkap pola musiman yang cenderung sama dengan virus influenza.

Tiga jenis virus korona, yakni HCoV-HKU1, HCoV-NL63, dan HCoV-OC43, menyebabkan infeksi pada periode Desember hingga April saat musim dingin dan melemah saat musim panas. Sementara HCoV-229E lebih sporadis.

Pola penyebaran virus SARS juga mirip. Lingkungan yang mendukung infeksi berada di suhu dan kelembaban rendah. Suhu ideal yang mendukung kembang biak virus adalah 22-25 derajat celsius dengan kelembaban relatif 40-50 persen.

kompas/korano nicolash lms
Singapura pernah terkena dampak saat merebaknya penyakit sindrom pernapasan akut parah (SARS), 2003.

Demikian pula virus MERS Coronavirus yang menginfeksi area Timur Tengah pada 2012, memiliki kestabilan masa hidup di suhu sekitar 20 derajat celsius, dengan kelembaban 40 persen. Tiga negara yang menjadi pusat endemik saat itu adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Jordania.