Revolusi Industri 4.0 mendorong perubahan di banyak bidang. Tak terkecuali dalam bidang yang disebut-sebut sebagai “bisnis” tertua di dunia: prostitusi. Bermodal ponsel, paket data, dan aplikasi percakapan, sejumlah wanita muda di Manado, Sulawesi Utara, memenuhi kebutuhan hingga kemewahan melalui jalan pintas bernama prostitusi dalam jaringan (daring). Tentu saja kemudahan teknologi bukan pendorong tunggal. Bagaimana bisnis ini berjalan dan upaya para pemangku kepentingan menghadapinya? Simak lewat kisah para pelaku di dalamnya serta pergulatan mereka.
Mulai
${ item.title }
${ item.desc }
${ profileData[articleIndex-1].title }
Langit malam itu gelap tak berbintang. Area bisnis Bahu Mall, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, senyap di bawah temaram bulan dan lampu jalan. Kota Manado terlelap. Tidak begitu bagi Sela (20) yang justru baru memulai harinya.
”Kesabaran”-nya berbuah setelah memajang diri di ”etalase” maya sebuah aplikasi percakapan. Ia segera mengirim pesan dari kamar hotel tempatnya menginap. ”Maso jo, Kak. Ke lantai 3. Nda usah batanya (resepsionis) di bawah (Masuk saja, Kak. Ke lantai 3. Tidak usah bertanya di bawah),” tulisnya.
Kamar twin bed Sela tampak remang. Hanya cahaya dari televisi yang menerangi. Bau asap rokok mengambang. Di atas meja di antara dua kasur, tampak sebuah gelas plastik berisi air yang keruh oleh abu rokok.
Sela duduk bersila di kasur sebelah kiri. Dagunya bertelekan bantal yang didekapnya. Wajahnya bulat dengan rambut pirang yang lurus terurai hingga ke pinggang. Tampak panjang untuk tinggi badannya yang sekira 155 sentimeter.
”Kamar sudah disewa Rp 1 juta untuk tujuh hari. Minggu depan ganti tempat stay lagi untuk cari tamu,” katanya dalam aksen Melayu Manado.
Dengan nama samaran, akun aplikasi Sela dan akun-akun serupa, tak ubahnya mata pancing yang dilemparkan ke lautan maya. Umpannya berupa foto profil menarik berpadu dengan status berbunyi ”stay” atau ”open BO”, kepanjangan dari booking order (menerima pesanan). Mereka memodali diri dengan menyewa kamar hotel dan mengantongi kondom.
”Ikan jantan” akan menangkap umpan itu lewat fitur people nearby atau pengguna di sekitar pada menu Discover. Proses transaksinya nyaris seperti memesan ojek dalam jaringan (daring), bisa seketika itu juga jadi. Bedanya, konsumen bebas menjatuhkan pilihan pada yang diminati, bahkan bisa menawar tarif patokan awal. Pembayaran dilakukan tunai.
Malam itu Sela sepakat dengan tarif Rp 600.000 untuk ngobrol selama satu jam. Katanya, ia tidak pernah mau membuka baju saat melayani konsumen karena merasa aneh dan jijik jika dijamah lelaki yang belum pernah ia temui sebelumnya.
”Saya enggak pernah menikmati” katanya lugu.
Wanita asal Kabupaten Minahasa ini mengaku sebenarnya memiliki ijazah SMK jurusan Teknik Komunikasi Jaringan, tetapi ditinggalnya di kampung. Oleh karena tidak bisa melamar pekerjaan, selama lebih dari dua tahun, kesehariannya diisi makan, tidur, menonton televisi, dan bermain ponsel di rumah tantenya di Manado.
Sela enggan pulang ke kampung yang berjarak 55 kilometer dari Manado. Alasannya, sering mual di jalan kalau harus naik angkutan umum jarak jauh. Ayahnya yang tinggal di Tondano bercerai dari ibunya yang telah menikah lagi dan hijrah ke Jakarta.
Sela bisa saja meminta uang kepada kedua orangtuanya. Namun, ia tak punya rekening tabungan. Artinya, ia tak akan menerima uang dari orangtuanya kecuali pulang ke kampung halaman karena uang dikirimkan ke sana. Di sisi lain, ia merasa tidak nyaman karena terlalu lama mendompleng di rumah tantenya.
Di tengah kegundahan itu, salah seorang teman nongkrong memberi tahunya tentang sebuah aplikasi percakapan. Dari situ, ia mengenal praktik prostitusi daring yang kemudian digunakannya untuk menghidupi diri. ”Waktu itu, aplikasi ini sudah mulai terkenal di Manado, jadi saya ikutan,” katanya.
Kini, Sela berpenghasilan minimal Rp 3,6 juta seminggu dari maksimal empat klien. Praktik ini terpaksa dia lakoni demi membebaskan diri dari kejenuhan menganggur.
Disalahgunakan
Aplikasi obrolan yang digunakan Sela dirilis di Appstore dan Playstore pada April 2018. Aplikasi dengan warna latar hijau ini dikembangkan perusahaan yang berbasis di Singapura. Meski tak secanggih Whatsapp atau LINE yang memiliki fitur telepon suara dan video gratis serta stiker, aplikasi ini bisa mempertemukan dua orang dalam radius tertentu yang tak saling kenal melalui fitur ”pengguna di sekitar”.
Para pengguna aplikasi ini dengan cepat bisa mencari pengguna lain dengan ketertarikan sama. Fitur ini yang kemudian disalahgunakan untuk bertransaksi seks.
Bagi Echi (22), transaksi seks secara daring menjadi peluang untuk ”berdikari” tanpa mucikari. Echi mengaku mahasiswi semester tujuh sebuah perguruan tinggi di Manado. Pertengahan 2018, seorang teman lelaki menawarinya untuk melayani seorang pria muda. Sejak itu, wanita Mongondow asal Amurang, Minahasa Selatan, yang tak kuasa menolak godaan materi ini, menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial. Setelah aplikasi ini muncul, ia tak lagi mengandalkan teman sekaligus mucikarinya itu.
”Lebih mudah (bertransaksi seks lewat) online, fleksibel (mengatur waktu). Saya juga bisa lebih fokus untuk lanjut kuliah,” katanya saat ditemui beberapa waktu lalu, di sebuah kamar hotel di kawasan Sario, Manado.
Meski mengaku menjalani profesi ini secara ”profesional”, Echi mengatakan tidak pernah menikmatinya. Echi berfokus pada lembaran uang merah atau biru yang bakal ia dapatkan selepas tamu pergi. Dengan empat hingga tujuh tamu setiap minggu, penghasilannya bisa mencapai Rp 4 juta setiap pekan atau Rp 16 juta per bulan. Ia bisa membiayai kuliah sekaligus tinggal di kamar hotel bertarif Rp 250.000 per malam.
Hendak ulam, pucuk menjulai. Kemewahan semu pun terpenuhi, seperti kalung perak di lehernya. Segala jenis busana memenuhi lemari. Di rak bawahnya, lebih dari lima pasang sepatu berjajar. Ini masih ditambah satu koper merah muda penuh berisi baju
Wali Kota Manado Vicky Lumentut menyadari isu prostitusi daring telah lama ada. Ia pun meminta bantuan masyarakat untuk melapor jika mengetahui adanya praktik transaksi seks.
”Kalau ada masyarakat yang mengetahui, tolong sampaikan kepada kami. Petugas (polisi pamong praja) akan bekerja sama dengan kepolisian. Jangan sampai itu makin marak di kota kita ini,” kata Vicky.
Ketidakadilan struktur sosial
Pengajar Studi Gender dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ayu Diasti Rahmawati, mengatakan, terjerumusnya perempuan ke dalam prostitusi diakibatkan oleh posisinya yang terimpit dalam tatanan masyarakat. Penyebabnya pun tidak tunggal, tetapi berlapis.
Di satu sisi, ada keterbatasan peluang bagi perempuan untuk berkontribusi di sektor formal. ”Akibatnya, perempuan malah mengisi ’sektor’ di mana tubuh mereka sekadar menjadi komoditas,” katanya.
Menurut Ayu, keadaan ini juga disebabkan oleh kultur di masyarakat yang cenderung mengomodifikasi tubuh perempuan. Akibatnya, opsi bagi perempuan untuk menjual diri dianggap lumrah, termasuk oleh kaum perempuan sendiri.
Ayu mengatakan, ada ketidakadilan dalam struktur sosial yang memarjinalkan perempuan. Di saat yang sama, pemerintah melihat prostitusi sebagai patologi sosial yang menjangkiti moral masyarakat.
Problematika sosial ini hanya bisa diatasi jika akar persoalannya juga diketahui dan diselesaikan. Mata rantai prostitusi pun hanya bisa diputus lewat solusi yang tepat dari hulu ke hilir.
${ profileData[articleIndex-1].title }
Ribka (17) tak dapat menyembunyikan kegirangannya saat melihat sekotak piza ukuran besar di meja kamar hotel. ”Yeeee, ada piza! Kita suka sekali!” serunya sambil melompat-lompat kecil.
Sekelebat, seorang teman perempuannya merangsek ke kamar. Terjadilah perebutan kotak piza di antara keduanya, sementara seorang lelaki muda tambun menonton mereka dari ambang pintu. Ribka akhirnya mengalah sambil mengeluh,”Kita masih suka makan piza!”
Ia berlari keluar demi sepotong piza lagi, lalu kembali ke kamar. Rampung dengan pizanya, tiba-tiba Ribka sudah berdiri sangat dekat. Kedua tangannya siap merobek bungkus kondom untuk dipakaikan kepada yang ia sangka calon konsumen. Namun, ia membatalkannya setelah disodori rokok beraroma blueberry.
Malam itu, Ribka—sesuai nama akunnya di sebuah aplikasi percakapan—mengenakan kaus lengan pendek merah muda dan celana piyama bergambar Doraemon. Lengan kirinya berhias hewan lucu. Keriangannya saat bersua piza, pilihan pakaian, hingga rajah itu, membangun imaji akan seorang gadis muda yang polos.
Siapa sangka di usia belia, ia menjadi pekerja seks komersial secara daring. Remaja itu siap dipanggil ke hotel mana pun untuk melayani. Pacarnya, bersama seorang teman wanita dan dua teman lelaki, siap menjaga. Mereka mengantarnya ke konsumen, lalu menanti di luar kamar, sementara Ribka bertugas.
”Setiap hari ada satu atau dua tamu, biasanya dari aplikasi percakapan ini. Tapi, ada juga tamu yang dicarikan teman. Biasanya pebisnis yang singgah di Manado dan sedang cari cewek,” kata Ribka menjelaskan pangsa pasarnya.
Dengan mata berbinar, gadis kelahiran 2001 itu mengaku, dalam sehari meraup paling tidak Rp 1,1 juta dari dua konsumen. ”Asal indekos Rp 1,5 juta per bulan sudah lunas, setiap hari aku bisa pakai buat jalan-jalan, beli makan, rokok, baju, dan barang-barang yang aku suka,” tuturnya dalam logat Melayu Manado.
Uang memang membanjirinya. Namun, seandainya bisa memilih, Ribka ingin melanjutkan pendidikan SMA-nya yang terputus sejak ia kabur dari rumah pamannya di Palu, Sulawesi Tengah, sebelum tsunami menerjang pada akhir September 2018. Sebenarnya, ada peluang karena sekolah negeri di Manado gratis.
”Tapi, kalau sekolah, aku dapat duit dari mana? Aku enggak mau bikin sulit mamaku. (Lagi pula), aku takut pulang karena mamaku marah sejak aku kabur dari Palu,” katanya.
Ribka tak ingat jelas kapan orangtuanya bercerai. Hingga SMP, ia tinggal bersama ibunya di Malalayang. Menginjak SMA, ia diminta pindah ke Palu untuk tinggal dengan ayahnya.
Namun, akhirnya Ribka dititipkan di rumah pamannya. Ia tidak mau tinggal dengan ayahnya yang sudah menikah lagi.
Korban keadaan
”Rasanya aneh, sejak kecil enggak pernah ketemu papa, tiba-tiba disuruh tinggal bareng. Tapi, tinggal sama om dan tante juga enggak enak. Cuma boleh pergi sekolah, setelah itu enggak boleh (main) keluar lagi,” tuturnya.
Niatnya untuk minggat menguat. Suatu pagi, Agustus 2018, dengan balutan seragam sekolah dan menenteng ransel, Ribka meninggalkan rumah pamannya. Alih-alih ke sekolah, ia malah naik bus jurusan Manado. Baju-baju dibawanya, tetapi surat penting, seperti akta kelahiran dan ijazah SMP, tertinggal di Palu.
Di Manado, bukan pelukan ibu yang menyambutnya, melainkan amarah. Ibunya tak sanggup mengurusnya lagi karena keterbatasan ekonomi, hingga ia pun terusir dari tempat tujuannya.
Tak ada uang di kantong, Ribka pun memutar otak. Berita tentang sebuah aplikasi percakapan yang viral di Facebook kala itu memberinya ide menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sekolah pun dikorbankannya.
Ribka mengaku, sebenarnya ia ingin mengurus pindah sekolah. Namun, semua dokumennya—jika masih ada pascatsunami—masih di Palu. ”Aku masih saling berkabar dengan papaku, tapi dia enggak pernah bisa kirim (dokumen) karena sibuk ke luar kota,” katanya.
Ribka tak sendiri. Tasya (17), remaja kelahiran Manado, juga putus sekolah dari jurusan perhotelan salah satu SMK di Manado setelah orangtuanya bercerai. Ia lantas kabur dari rumah.
Kini, Tasya tinggal di salah satu hotel di kawasan bisnis Megamas Manado sekaligus menjual layanan seks secara daring. Ia wajib menyisihkan setidaknya Rp 50.000 dari tarif layanannya untuk seorang teman yang mengoperasikan akun aplikasi percakapan sebagai alat pemasaran jasanya.
Tasya menyadari, dirinya semestinya belajar di sekolah seperti anak-anak lain. ”Tapi, mau dapat duit dari mana?” katanya.
Nasib tragis juga dialami Putri (16). Ia tinggal di sebuah kamar hotel di kawasan Bahu Mall Manado, sekaligus menawarkan jasa seksnya di sana. Saat ditemui beberapa waktu lalu, sebuah luka masih membekas di pipi kanannya. Ia mengaku habis bertengkar dengan pacarnya.
“Kabur dari rumah di Kotamobagu karena orangtua suka pukul, di sini malah kena pukul lagi. Sedih sekali,” tuturnya.
Sang pacar tidak hanya menyuruh Putri berhubungan seks dengannya, tetapi juga menjualnya lewat aplikasi daring. Putri hanya diminta melayani tamu tanpa tahu berapa tarif yang ditetapkan oleh pacarnya.
Putri, Ribka, dan Tasya sebenarnya masih anak-anak karena menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, warga negara di bawah 18 tahun digolongkan sebagai anak-anak. Artinya, mereka dianggap tidak cukup dewasa untuk memberikan persetujuan berhubungan seksual.
Perceraian
Kepala Seksi Penanganan dan Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sulut Mega Sondakh mengatakan, keterlibatan anak dalam prostitusi daring sebenarnya bukan hal baru. Beberapa waktu lalu, ia baru saja mendampingi seorang anak perempuan di Tomohon yang menjual diri lewat aplikasi percakapan. Orangtuanya juga bercerai.
”Memang, sekitar 90 persen kasus prostitusi online anak yang kami temui berasal dari keluarga broken home,” kata Mega.
Menurut dia, anak perempuan yang terjerumus ke prostitusi daring bisa berasal dari beragam latar belakang ekonomi. Namun, kecenderungannya lebih besar dari anak yang berasal dari keluarga ekonomi lemah.
”Sekalipun dari keluarga berada, secara psikologis setelah perceraian orangtua, anak punya dorongan besar untuk memberontak dan hidup sendiri. Akhirnya mereka salah pergaulan. Ada yang bahkan dijual oleh teman atau pacarnya,” katanya.
Hingga kini, tidak diketahui pasti jumlah kasus prostitusi anak secara daring yang terungkap di Manado ataupun Sulut. Di saat yang sama, perceraian di Manado dan Sulut terus terjadi yang berarti meningkatkan potensi terjerumusnya anak ke prostitusi daring.
Selama 2018, Pengadilan Agama (PA) Manado memutus 733 gugatan perceraian, naik dari 501 kasus pada 2017. Adapun di Kotamobagu, 869 pasangan resmi bercerai pada 2018, naik dari 851 kasus pada tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, di Sulut terjadi 2.215 perceraian pada 2018, naik dari 2.098 kasus pada 2017. Pada Januari-Juni 2019, 1.541 berkas pengajuan cerai telah diterima.
Setiap insan dewasa memang berhak bahagia, salah satunya barangkali dengan memilih bercerai dari pasangan yang tak membuatnya bahagia. Akan tetapi, bagaimanapun, anak tetap menjadi korban dari kondisi keluarga.
${ profileData[articleIndex-1].title }
Menjelang tengah malam, sebuah mobil merah mungil memasuki parkiran salah satu hotel di Manado. Seorang wanita dengan rambut bercat pirang turun dari kursi kemudi, lalu menghampiri.
”Ke sini naik sepeda motor? Duh kasihan, nanti masuk angin,” candanya sambil mengajak menuju kamarnya.
Sebelumnya, lewat negosiasi via sebuah aplikasi percakapan, Jelita (28), begitu nama akunnya, menyepakati tarif Rp 600.000 setelah ditawar dari Rp 1 juta. ”Seminggu paling banyak 4-5 tamu. Biasanya masing-masing Rp 1 juta. Tapi, saya enggak kejar target seperti teman-teman lain. Jadi tarifnya fleksibel saja,” katanya.
Jelita mengaku, penghasilannya cukup untuk makan sehari-hari, menyewa kamar hotel bertarif Rp 220.000 per malam untuk tempat tinggalnya, dan mengisi bensin mobil. Namun, ia mengaku, menjajakan seks lewat daring bukan pekerjaan ideal yang ia dambakan.
Pada Januari 2019, dunia Jelita luluh lantak. Suaminya ketahuan berselingkuh. Keduanya memutuskan berpisah. Anak semata wayangnya yang berusia 7 tahun dipasrahkan kepada ibu mertuanya di Minahasa. ”Kalau paitua (suami) enggak mau lagi sama saya, saya juga enggak mau urus anak,” katanya.
Perpisahan itu adalah awal lorong menuju kehidupan kelamnya. Pekerjaannya sebagai sales promotion girl (SPG) produk perawatan rambut selama 10 tahun terbengkalai. Ia berhenti bekerja. Padahal, dari hasil kerjanya, ia mampu membeli mobil merah yang dipakainya hingga sekarang.
Lambat laun uangnya habis. Padahal, mencari pekerjaan baru baginya bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Saat itulah, pikiran pendeknya membetikkan ide untuk ”open BO”. Uang mulai mengalir deras meski harga diri terkuras.
”Yang paling nikmat dari open BO itu duitnya. Tapi, saya sering meratapi nasib, bahkan saat sedang bersama tamu. Sekali waktu ada tamu yang bilang, ‘Kamu itu, cantik-cantik kok open BO’. Rasanya malu sekali, ingin cepat-cepat kabur dari kamar itu,” ujar Jelita.
Setelah hampir tiga bulan menjajakan seks secara daring, Jelita bertekad berhenti saat ditawari menjadi SPG rokok di Jambi. Namun, hingga beberapa hari berselang, akunnya yang lain dengan nama Ayumi yang berstatus ”stay”, terpantau masih muncul di fitur ”pengguna di sekitar”.
Kesempatan kerja terbatas
Tak satu pun dari para PSK daring yang ditemui mengaku senang dengan pekerjaannya. Mereka mengaku malu dan selalu khawatir identitas aslinya terkuak ke publik. Mereka juga menyatakan ingin berhenti meskipun entah kapan. Sementara ini, seks komersial daring menjadi pilihan paling mudah bagi mereka saat pintu pekerjaan lain di sektor formal sulit ditembus.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, dari total 414.060 angkatan kerja perempuan, sebanyak 8,66 persen atau 35.867 orang menganggur. Mayoritas berasal dari kelompok usia 15-29 tahun, sebanyak 26.793 orang (data untuk periode Agustus 2017-Agustus 2018 di wilayah Sulut). Dari kelompok usia ini juga, kebanyakan PSK daring berasal.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja laki-laki di Sulut 761.749 orang, dengan tingkat pengangguran lebih kecil, yakni 5,88 persen atau 44.797 orang. Artinya, serapan laki-laki di dunia kerja lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Pengajar Studi Gender dan Politik Universitas Gadjah Mada, Ayu Diasti Rahmawati, mengatakan, data tersebut menggambarkan terbatasnya kesempatan ekonomi bagi para perempuan di Sulut dibandingkan laki-laki. Akses perempuan menuju pemenuhan kebutuhan terhambat.
”Prostitusi sebenarnya berakar pada pemenuhan hak akan kehidupan yang layak. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat terus meningkat, termasuk yang disebabkan budaya konsumerisme,” katanya.
Menurut data BPS, pengeluaran per kapita penduduk Sulut pada 2018 rata-rata Rp 1,16 juta, meningkat dari tahun 2017 dan 2016, yakni Rp 1,1 juta dan Rp 957.458. Konsumsi per kapita terbesar ditemukan di Manado, yakni Rp 1,68 juta, naik dari tahun 2017 senilai Rp 1,51 juta. Lebih dari 50 persen konsumsi itu untuk membeli barang non-makanan, seperti pakaian.
Ayu mengatakan, untuk mempersempit ruang terjun perempuan ke prostitusi daring, mereka harus lebih banyak ditarik ke sektor publik. Namun, usaha ini mesti dibarengi upaya lain, seperti meningkatkan kesesuaian pendidikan perempuan dengan lapangan kerja.
Saat ini, Sulut sedang menggenjot pertumbuhan ekonominya lewat sektor pariwisata. Selama 2014-2018, produk domestik regional bruto (PDRB) Sulut di bidang terkait pariwisata, seperti transportasi, akomodasi, makanan, dan minuman, tumbuh 66,4 persen menjadi Rp 16 triliun. Ini melampaui kecepatan pertumbuhan sektor pertanian, 40,7 persen.
Sayangnya, hanya 1 persen atau 41.717 jiwa dari angkatan kerja perempuan yang berpartisipasi dalam sektor terkait pariwisata. Adapun angkatan kerja laki-laki yang bekerja di bidang ini mencapai 12 persen atau 95.152 orang.
Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw mengaku, sumber daya manusia Sulut belum mendukung pengembangan pariwisata sehingga pihaknya memaklumi jika para pengusaha hotel membawa tenaga kerja dari luar Sulut (Kompas, 29 Juli 2019). Menurut Steven, salah satu upaya pemerintah kemudian, memberikan pendidikan bahasa Mandarin sebagai upaya pengembangan tenaga kerja.
Kini, sebanyak 75.327 perempuan usia 15-29 tahun di Sulut sedang menikmati pendidikan menengah hingga tinggi di Sulut. ”Akses pendidikan harus sesuai dengan lapangan kerja. Jangan sampai para perempuan, terutama yang muda, tidak tahu apa yang akan mereka kerjakan setelah selesai pendidikan,” kata Ayu.
Intervensi budaya
Di tengah kondisi ini, para wanita di Manado kerap menerima stigma dan julukan yang sangat negatif, seperti ”bibir manado” atau ”ubi kupas”.
Jantje (30, nama samaran), pegawai swasta asal Manado, menilai para wanita di Manado mengejar gaya hidup kelas atas seiring dengan perkembangan kota yang pesat. ”Cewek-cewek Manado itu cuek sekali. Kalau kamu pintar merayu dan punya uang, pasti bisa tidur dengan mereka,” katanya.
Menurut Ayu, anggapan ini mencerminkan budaya patriarkal di Manado yang menjadikan perempuan warga kelas dua. ”Artinya, sudah terbentuk pemahaman sosial yang salah bahwa perempuan akan menjual dirinya demi memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.
Ayu mengatakan, pemerintah bisa mengintervensi kultur ini melalui jalur hukum dengan mengkriminalkan para pengguna jasa prostitusi. Di saat yang sama, pemerintah harus menyediakan sistem jaminan sosial yang kuat, misalnya asuransi dan layanan kesehatan yang memadai.
”Meski sukarela, tidak ada perempuan yang senang menjual dirinya. Perlu jaring pengaman sosial yang kuat agar perempuan yang terpuruk sekalipun tidak harus sampai menjual diri,” katanya.
${ profileData[articleIndex-1].title }
Nia (21) bolos kuliah siang itu. Malam sebelumnya, ia membatalkan janji yang telah disepakati begitu saja via aplikasi percakapan meski telah dinantikan di depan kamar indekosnya.
”Semalam teman saya datang. Jadi enggak buka aplikasi lagi,” katanya dalam logat Melayu Manado saat membuka pintu kamar indekosnya di pusat Kota Manado.
Kamar indekos itu disewanya Rp 2,2 juta per bulan. Tatanannya menyerupai kamar anak perempuan di toko perabotan. Boneka Stitch besar bersandar di tepi dipan. Karpet bulu digelar di lantai.
Kasur pegasnya dibungkus seprai dan selimut merah jambu bergambar Hello Kitty. Di kasur itu pula, malam atau siang, Nia biasa bertransaksi seks dengan pria yang tergoda lewat swafotonya di aplikasi. Tarif layanannya selama satu jam dipatok Rp 1 juta-Rp 1,2 juta. ”Tapi saya open BO cuma kalau ada tagihan yang harus dibayar, seperti kuliah,” katanya.
Nia punya cerita yang mirip dengan beberapa wanita lain yang menjajakan seks secara daring. Perempuan asal Kabupaten Minahasa ini mengaku sebagai mahasiswi di salah satu politeknik di Manado. Kedua orangtuanya bercerai. Ia tak mau mengatakan apa pekerjaan keduanya. Bagi Nia, prostitusilah yang kini menghidupinya.
Uang mengalir, memenuhi satu demi satu kebutuhan dan keinginannya. Salah satunya sewa kos yang letaknya persis di belakang sebuah kantor polsek. Nia mengatakan, semua aktivitasnya, mulai dari pemasaran, negosiasi harga, hingga pelayanan, selalu lancar. Tempat indekosnya tak pernah digerebek polisi.
Polres Manado tidak punya catatan khusus untuk kasus-kasus prostitusi daring berdasarkan aplikasi percakapan. Hanya ada satu kasus yang diungkap sejak kepemimpinan Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Thommy Aruan, Juni lalu. Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak karena melibatkan anak-anak.
Prostitusi daring menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hanya mucikari atau germo yang bisa dipidana dengan hukuman kurung 1 tahun 4 bulan, sesuai dengan Pasal 296. Padahal, dengan teknologi aplikasi, penjaja seks komersial cenderung bekerja mandiri tanpa mucikari.
Namun, bukan berarti pekerja seks komersial (PSK) daring bisa lolos dari jeratan hukum. Pasal 4 Ayat 2 Huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melarang orang menawarkan dan mengiklankan layanan seksual. Sementara itu, Pasal 27 Ayat 1 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) melarang distribusi konten yang melanggar kesusilaan.
Media-media lokal di Manado pernah memberitakan, Polda Sulut menggunakan UU Pornografi dan UU ITE untuk menuntut tujuh pelaku prostitusi daring pada Februari 2018. Saat itu, pelaku menggunakan aplikasi percakapan berbeda dari yang kebanyakan digunakan saat ini.
Namun, celahnya, tanpa memasang foto sensual atau mempromosikan layanan seks pun, bisnis prostitusi daring dapat tetap berlangsung dengan bantuan kode-kode penawaran, seperti stay, open BO, panggilan, No Hoax, dan No PHP.
Kode-kode tersebut tak bisa serta-merta diterjemahkan sebagai pelanggaran pidana, seperti dikatakan oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Toar Palilingan. Menurut dia, mempromosikan seks komersial memang dilarang, tetapi tak bisa dipidanakan jika hubungan seks transaksional belum berlangsung.
”Akan tetapi, penegak hukum bisa menjadikannya sebagai barang bukti. Sebab, kode-kode ini sudah muncul di kasus-kasus sebelumnya hingga membentuk pola,” lanjutnya.
Celah hukum
Namun, layaknya pasar, penawaran akan tetap ada jika permintaan masih tinggi. Setyo (25), bukan nama sebenarnya, tak butuh waktu lama untuk turut menikmati dunia prostitusi daring sejak pindah dari Ibu Kota awal 2019. Pada bulan pertamanya di Manado, sebuah aplikasi percakapan telah mempertemukan karyawan swasta ini dengan dua PSK.
Aplikasi ini ternyata bukan satu-satunya tempat menjual jasa seks. Sekali waktu, melalui fitur People Nearby di aplikasi chatting lainnya, Setyo menemukan akun bernama ”Jeje (BO)”. Jeje membuatnya tak ragu mengeluarkan Rp 1,5 juta untuk menemaninya selama sejam.
Kini rasa sesalnya tumbuh. Uangnya Rp 5,4 juta terkuras untuk membeli kenikmatan sesaat dari lima wanita pekerja seks berbeda.
Beberapa PSK daring mengklaim, klien mereka berasal dari beragam kalangan. Ada mahasiswa, orang dalam perjalanan dinas, penegak hukum, serta pembuat kebijakan kota dan provinsi.
Setyo dan para pengguna jasa PSK mungkin tidak paham bahwa mereka dapat diancam dengan 15 tahun penjara dengan Pasal 12 UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun Revolusi Industri 4.0 telah mengubah lanskap prostitusi. PSK online menjadi ”pekerjaan sukarela”, bukan lagi komoditas dagangan germo atau hasil perdagangan orang. Lelaki penikmat jasa berpeluang berkelit dari jerat hukum.
”Yang konvensional saja tidak bisa dikontrol, bagaimana dengan yang online. Hukum material kita harus beradaptasi dengan revolusi industri,” kata Toar Palilingan.
Ia menambahkan, seharusnya Pemerintah Kota Manado menyediakan lokalisasi serta menyempurnakan peraturan daerah (perda) tentang ketertiban umum.
DPRD Kota Manado sebenarnya tidak tinggal diam. Awal Agustus lalu, Perda tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum disahkan. Ketua panitia khusus rancangan perda tersebut, Syarifuddin Saafa, mengatakan, perda itu melarang prostitusi dan tindakan asusila lain, seperti berciuman bibir di depan umum.
”Prostitusi daring memang terselubung. Tapi, kalau ketahuan, pasti akan ditindak oleh satpol PP (satuan polisi pamong praja). Ini demi menjaga norma kesusilaan publik,” ujarnya.
Syarifuddin menegaskan, laki-laki pembeli jasa seks bisa dikenai hukum pidana. Adapun perempuan yang menjajakannya bisa terkena pidana dan sanksi pembinaan oleh dinas sosial.
Dalam Pasal 25, perda itu melarang setiap orang untuk melakukan, memfasilitasi, membujuk, memaksa, menawarkan, dan menyediakan tempat untuk tindakan asusila dan prostitusi. Sanksi yang dikenakan berupa kurungan maksimal 3 bulan atau denda Rp 50 juta, sama dengan sanksi untuk pembuang sampah sembarangan di jalan.
Salah satu anggota staf Biro Hukum Setda Sulut mengatakan, peraturan ini bisa menjerat baik perempuan penyedia jasa maupun laki-laki sebagai konsumen. ”Sekarang sudah kami beri nomor registrasi. Tinggal diberlakukan oleh pemkot,” katanya. Namun, pasal ini tak menyebut secara khusus ”pengguna jasa prostitusi”.
Pengajar Studi Gender dan Politik Universitas Gadjah Mada, Ayu Diasti Rahmawati, mengatakan, pemerintah selama ini cenderung mengkriminalkan perempuan penyedia jasa untuk menyelesaikan persoalan prostitusi dengan basis asusila. Padahal, prostitusi akan terus ada selama masih ada permintaan.
”Kita bisa mencontoh Swedia yang mengkriminalkan pembeli jasa sehingga hukum tidak bias gender,” katanya.
Ia menambahkan, prostitusi juga tak akan teratasi dengan kebijakan superfisial, misalnya menghukum germo. Hukum memang instrumen ampuh pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Namun, apakah prostitusi cuma masalah moral?
Kerabat Kerja
Penulis: Kristian Oka Prasetyadi |
Fotografer: Kristian Oka Prasetyadi |
Penyelaras Bahasa: Retmawati, Galih Rudanto, Priskilia Bintang Sitompul |
Video Editor: Albertus Prahasta Wibowo |
Web Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata |
Produser: C Wahyu Haryo Priyo, Sri Rejeki |
Suka dengan tulisan yang Anda baca?
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.