Disandera Manggarai
Ternyata, salah satu tantangan terberat bagi penumpang kereta, terutama di Jabodetabek, adalah padatnya lalu lintas kereta di Stasiun Manggarai yang membuat perjalanan sulit diprediksi. Antrean di Stasiun Manggarai tersebut telah mendera penumpang kereta komuter yang membutuhkan kepastian dalam bepergian.
Ketika waktu tempuh perjalanan kereta komuter tidak jauh lebih unggul daripada sepeda motor, masyarakat tentu memilih sepeda motor. Eko Wardhan, seorang pembaca Kompas beberapa bulan lalu, mengirimkan surat pembaca yang intinya mengeluhkan perjalanan KRL dari Palmerah ke Bekasi dengan waktu tempuh 2,5 jam.
Menurut Eko, waktu tempuh yang lama disebabkan antrean kereta memasuki Stasiun Manggarai. Manggarai kini memang menjadi momok bagi para pelanggan kereta komuter yang harus dikalahkan dengan perjalanan kereta jarak jauh.
Padahal, di Stasiun Manggarai pula, pada Rabu, 27 Oktober 1971, Menteri Perhubungan Frans Seda meresmikan perjalanan Kereta Api Jakarta-Bogor dengan waktu tempuh 42 menit. Sebelumnya, perjalanan dari Jakarta menuju Bogor membutuhkan waktu lebih dari satu jam.
Bayangkan, 45 tahun lalu, PJKA sanggup memangkas perjalanan Jakarta-Bogor menjadi kurang dari satu jam. Tentu ketika itu, setiap hari lintas KA Jakarta-Bogor baru mengangkut tidak kurang dari 2.500 penumpang dengan 11 kereta. Frekuensi perjalanan kereta tidak terlalu banyak.
Kompas/JB Soeratno
Presiden Soeharto hari Senin (5/6/1995) mendengarkan penjelasan dari Ketua Konsorsium Manggarai Ny Siti Hardiyanti Rukmana (kiri) mengenai rencana pembangunan Terminal Transportasi Pusat Terpadu Manggarai di Bina Graha. Kepala Negara didampingi (dari kiri) Menhub Haryanto Dhanutirto, Fadel Muhammad, dan Gubernur DKI Surjadi Soedirdja.
Namun, tidakkah 45 tahun itu waktu yang lama? Mengapa lalu lintas di Manggarai tidak juga lancar? Mengapa penambahan sarana KRL oleh PT Kereta Api Commuter Jabodetabek tidak diantisipasi dengan pembangunan infrastruktur di Manggarai?
Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejauh ini telah menjanjikan pembangunan Manggarai. KAI juga berupaya memindahkan area parkir kereta. ”Kalau sudah beres pemindahan parkir kereta, kereta bisa masuk sekali dua rangkaian. Tidak perlu bergantian,” kata Kepala PT KAI Daop I Jakarta John Robertho (Kompas, Rabu, 27 Juli 2016).
Namun, jujur saja, di Manggarai, kita butuh bukti tidak lagi sekadar janji. Mengapa? Karena sudah sekian puluh tahun, tidak ada realisasi nyata dari rencana apa pun di Stasiun Manggarai.
Jauh sejak April 1974, PJKA Eksploitasi Barat telah berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pendayagunaan sejumlah stasiun. Ketika itu, Stasiun Manggarai dan Jatinegara telah direncanakan menjadi stasiun penampung kereta jarak jauh.
Sementara itu, Stasiun Gambir, Jakarta Kota, dan Tanjung Priok akan diberdayakan untuk penumpang kereta lokal. Langkah-langkah yang waktu itu telah dikerjakan adalah membenahi pasar-pasar di sekitar stasiun.
"Konsep untuk menyulap Manggarai menjadi proyek Terminal Terpadu Manggarai (TTM) disusun perusahaan konsultan AS, Allerbe Becket Inc, pada 1994"
Namun, faktanya, rencana itu tidak terlaksana. Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada Juni 1992, Perumka berinisiatif mengundang investor swasta untuk mengembangkan bisnis properti di tanah milik Perumka di sekitar stasiun, khususnya di Stasiun Manggarai.
Sejalan dengan pengembangan Manggarai, akhir 1992 bahkan direncanakan tidak ada lagi kereta antarkota yang melintasi Stasiun Gambir. Kereta-kereta jarak jauh hanya akan berhenti sampai Stasiun Manggarai, atau Jatinegara, atau Pasar Senen dan Jakarta Kota.
”Karena frekuensi KA Jabotabek nantinya tinggi, jalur itu tak bisa digunakan bersama-sama kereta lainnya. Mereka (kereta jarak jauh) harus menyingkir atau berhenti hanya sampai Manggarai,” kata pimpinan proyek KA Jabotabek saat itu, Zulfiar Sani.
Terkait penggunaan jalur KA layang, Zulfiar mengatakan, ”Jika frekuensi KA Jabotabek sudah enam menit sekali, jalur itu tak bisa melayani KA selain KRL.”
Kompas/Lucky Pransisca
Pekerja menyambung baja untuk proyek rel kereta api jalur ganda di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2014). Jalur ganda Manggarai-Cikarang sepanjang 32 kilometer direncanakan selesai 2016. Jalur ganda nantinya akan memisahkan kereta rel listrik dan kereta jarak jauh.
Konsep untuk menyulap Manggarai menjadi proyek Terminal Terpadu Manggarai (TTM) disusun perusahaan konsultan AS, Allerbe Becket Inc, pada 1994. Konsep itu langsung dipinang oleh Grup Citra pimpinan Siti Hardiyanti Rukmana (Kompas, 20 Agustus 1999).
Grup Citra, ketika itu telah menggandeng beberapa grup usaha yang hebat, seperti Grup Ciputra, Grup Bukaka, Grup Bakrie, serta PT Bandar Mandiri Perkasa milik Tammy Habibie.
Konsep TTM sungguh luar biasa. Stasiun Manggarai direncanakan terdiri dari 22 jalur rel (track). Bandingkan dengan Stasiun Gambir di Jakarta Pusat yang hanya menampung 4 jalur rel.
Dari sisi wilayah saja, TTM sungguh luas. Berbatasan langsung dengan kali (Kali Ciliwung) di sisi utara, Lapangan Roos Raya di sisi selatan, di bagian baratnya dibatasi oleh Jalan Dr Sahardjo, sementara di bagian timur dibatasi oleh Jalan Matraman. Coba Anda buka peta, pasti Anda akan terkagum-kagum dengan luasnya cakupan wilayah TTM.
Tidak kurang dari empat kelurahan akan terkena cakupannya, termasuk Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Manggarai, dan sebagian Kelurahan Manggarai Selatan yang masuk Kecamatan Tebet, serta sebagian Kelurahan Kampung Melayu yang masuk Kecamatan Jatinegara.
Konsep TTM tak sekadar untuk stasiun, tetapi juga untuk terminal. Direncanakan, stasiun di lantai tiga, jalur bus kota di lantai dasar, dan terminal bus di lantai dua. Terminal bus kotanya memiliki 50 pangkalan keberangkatan dan 10 pangkalan kedatangan di lantai dua, yang mampu menampung 3.600 bus sekaligus per hari.
Di TTM juga akan disediakan terminal taksi, hotel berbintang tiga (10 lantai), dan hotel melati (3 lantai) untuk masyarakat menengah yang akan bepergian dengan menggunakan KA dan bus. Betapa dahsyatnya ketika TTM terbangun.
Namun, krisis kemudian menghantam Indonesia menjelang akhir 1990-an sehingga hampir semua proyek infrastruktur kemudian terhenti. Akhirnya, kita kini merana di Manggarai.