Revolusi Industri yang mengubah wajah dunia, dan membelah dunia antara negara industri dan negara non-industri, diawali di Inggris tahun 1760-an hingga 1840-an dengan pendayagunaan masif mesin-mesin uap. Kawasan Nusantara pun ikut tersentuh Revolusi Industri 1.0 ketika mesin-mesin uap canggih pada zaman itu didatangkan untuk menjadi inti teknologi pabrik-pabrik gula yang tengah menjamur.
Pabrik gula (PG) tumbuh pesat di Jawa. Pada tahun 1925, tercatat ada 205 PG beroperasi di Jawa. Gula waktu itu adalah komoditas penting dunia sehingga tak mengherankan jika pabrik-pabrik yang memproses tebu menjadi gula marak didirikan.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, penyusutan lahan tanaman tebu, teknologi yang menua, hingga kebijakan yang tak kunjung jelas terkait revitalisasi industri gula membuat banyak PG tutup. Banyak pabrik gula yang akhirnya telantar hingga menjadi puing-puing yang seakan tak berharga.
Padahal, banyak aset di pabrik tersebut seperti mesin, bangunan, dan sebagainya. Belum lagi nilai sejarah yang terkandung dari pabrik gula tua tersebut, yang menjadi saksi sebuah revolusi, terancam ikut musnah.
Dalam dua tahun terakhir, misalnya, PG Sumberharjo di Pemalang dan PG Gondang Baru di Klaten diputuskan berhenti berproduksi karena pasokan tebu terus menyusut dan hasilnya sudah tak lagi mampu menutup biaya produksi. PG Jatibarang, yang menjadi salah satu PG terbesar di kawasan pantura Jateng, juga tutup sejak tahun ini. Di masa Revolusi Industri 4.0, pabrik gula tua itu berusaha mempertahankan eksistensinya.
Di tengah persoalan itu, muncul peluang untuk menghidupkan kembali pabrik-pabrik gula ini dalam bentuk lain, yakni sebagai obyek wisata. Sejumlah pabrik yang sudah lama tak beroperasi direnovasi sehingga menjadi obyek wisata cagar budaya (heritage), sementara di pabrik-pabrik yang masih beroperasi kini dibuka dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas rekreasi agar masyarakat bisa ikut menikmati dan melihat pabrik gula dari dekat.
Beberapa lokasi PG yang dihidupkan kembali sebagai obyek wisata ini terletak tak jauh dari ruas Tol Trans-Jawa yang baru diresmikan. Dalam perjalanan menyusuri tol ini, pertengahan Desember 2018, Kompas mengunjungi sejumlah pabrik gula yang memiliki potensi wisata ini.
Bangkit Setelah 20 Tahun
Titik pertama yang kami datangi adalah kompleks eks PG Banjaratma di Kabupaten Brebes, Senin (17/12/2018). Proyek pembangunan masif masih berlangsung di kompleks ini untuk mengubah bangunan yang sudah berusia 100 tahun itu menjadi bagian dari sebuah tempat istirahat (rest area) di sisi Tol Trans-Jawa arah ke Jakarta.
Dari Jakarta, posisi PG ini sekitar 3 kilometer sebelum Gerbang Tol Brebes Barat di ruas Pejagan-Pemalang. Dari kejauhan, sosok PG yang tutup sejak 1998 itu tak mudah dikenali karena cerobong asap khas sebuah PG sudah rusak sejak lama.
PG Banjaratma mulai dibangun pada tahun 1908 oleh Pemerintah Hindia Belanda di Desa Banjaratma, sekitar 5 kilometer sebelah barat kota Brebes. Pabrik ini mulai berproduksi pada 1913. Dibandingkan pabrik-pabrik gula lain di Jawa Tengah, bisa dikatakan PG Banjaratma berusia paling muda.
”Pada masa kejayaannya, PG Banjaratma ini produktivitasnya paling tinggi dibandingkan pabrik-pabrik gula di kawasan ini,” ujar Teguh Wijanarko, Asisten Manajer Sumber Daya Manusia PG Jatibarang, yang kini mengelola sisa aset PG Banjaratma.
PG Banjaratma dihentikan operasinya pada 1998 setelah melakukan produksi terakhir pada 1997. Saat itu, Banjaratma ditutup bersamaan dengan empat PG lain di bawah PTPN IX, yakni PG Kalibagor di Banyumas, PG Colomadu di Karanganyar, PG Cepiring di Kendal, dan PG Ceper Baru di Klaten.
Selama 20 tahun, kompleks pabrik itu dibiarkan terbengkalai dan baru pada Mei 2018, Kementerian BUMN memerintahkan PT PP Properti untuk merevitalisasi kawasan pabrik gula itu menjadi salah satu rest area di ruas Tol Trans-Jawa.
NOVAN NUGRAHADITak banyak yang tersisa dari bangunan utama PG Banjaratma kecuali tembok-tembok utama dengan gaya bata ekspos dan struktur fondasi ketel uap serta penyangga mesin-mesin giling di dalamnya. Seluruh mesin dan peralatan pendukung produksi pabrik itu sudah lama hilang atau dialihkan ke PG lain.
Kini bangunan utama pabrik itu diperbaiki dan dipercantik tanpa mengubah struktur dan bentuk aslinya. ”Bu Rini (Menteri BUMN Rini Soemarno) bahkan berpesan khusus akar-akar pohon yang merambat di dinding-dinding bangunan jangan dibersihkan karena itu menjadi salah satu daya tariknya,” ucap Wianda Pusponegoro, Staf Khusus Menteri BUMN, di Jakarta, awal Desember 2018.
Dari sisi struktur, Janu, insinyur sipil dari PT PP Properti yang terlibat dalam revitalisasi eks PG Tjolomadoe di Surakarta dan PG Banjaratma di Brebes, Jawa Tengah, mengatakan, struktur baja buatan tahun 1800-an yang menjadi kerangka utama bangunan-bangunan tersebut masih kuat dan dipertahankan.
”Kami ekspos rangka baja tersebut, hanya di-sandblast dan diberi clear coating agar masih terlihat bentuk dan warna aslinya. Masih terlihat nama pabrik pembuatnya. Demikian juga batu batanya banyak yang diekspos dan terlihat antik bangunan khas arsitektur Eropa dan kombinasi Jawa,” kata Janu, alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, yang mengantarkan Kompas melihat proses revitalisasi eks PG Banjaratma.
Menurut Wianda, nantinya selain berisi berbagai fasilitas istirahat, ruangan seluas lebih dari 5.000 meter persegi itu akan diperuntukkan bagi para pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Brebes dan sekitarnya untuk menampilkan produk-produknya.
Selain itu juga akan ada uraian tentang sejarah industri gula di Tanah Air, sekaligus sejarah PG Banjaratma. Bahkan, sebuah loko uap penarik lori pengangkut tebu didatangkan dari PG Jatibarang untuk dipajang di rest area Banjaratma ini. Demikian juga dengan sejumlah peralatan mesin giling yang akan dirakit di tempatnya semula untuk menambah otentisitas PG Banjaratma.
Ke depan, sejumlah rumah dinas pejabat dan pegawai PG Banjaratma yang memiliki nilai arsitektur tinggi juga akan direnovasi dan difungsikan menjadi penginapan atau resor wisata.
Museum Hidup
PG kedua yang kami datangi adalah PG Gondang Baru di Klaten, Jawa Tengah. PG ini mudah ditemukan karena terletak persis di pinggir jalan utama Yogyakarta-Solo, tepatnya di Desa Gondang Winangun, Kecamatan Jogonalan, sekitar 4 kilometer sebelah barat pusat kota Klaten.
PG ini didirikan tahun 1860 dengan nama Suikerfabriek Gondang Winangoen. Namanya diubah menjadi PG Gondang Baru pada 1957.
Menurut pakar sejarah arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Krisprantono, keistimewaan Gondang Baru adalah kekayaan arsitektur, terutama rumah-rumah dinasnya, yang masih terpelihara utuh di satu kompleks yang tak terlalu luas. Eks rumah dinas administraturnya, misalnya, sangat cantik dan unik dengan pintu geser berbentuk busur terbuat dari kayu jati. Teras belakangnya langsung menghadap taman yang indah.
Eks rumah dinas terbesar ini sekarang disewakan sebagai penginapan rumahan (homestay) walau dengan pengelolaan yang terkesan masih seadanya.
Pada 1982, Museum Gula dibuka di bagian tengah kompleks PG Gondang Baru dan hingga kini menjadi satu-satunya museum industri gula di Indonesia.
Jejak sejarah awal penggilingan tebu sebelum era mesin uap ditampilkan di Museum Gula Gondang Baru ini. Sepasang penggiling batu dan penggiling kayu ditampilkan di halaman depan museum.
Selain itu juga dipajang mesin giling utama lengkap dengan roda gila dan piston penggerak yang digerakkan uap air. Lalu, ada mesin penyaring nira tebu dan sejumlah lokomotif uap penarik lori. Salah satu loko tertua dibuat pada tahun 1901.
Di dalam gedung museum ditampilkan berbagai aspek industri gula, mulai dari tata cara tanam tebu, hama yang mengancam tebu, hingga berbagai alat yang dipakai di pabrik gula zaman dulu, sampai miniatur PG Tasikmadu dan PG Jatibarang.
Museum Gula ini menarik perhatian Dirjen UNESCO yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka Kongres Gula Internasional pada tahun 1984.
Namun, yang menarik dari PG Gondang Baru ini adalah keutuhan dan kelengkapan bangunan utama pabriknya yang sudah tidak beroperasi sejak 2016. Seluruh kelengkapan mesin-mesin hingga papan petunjuk keselamatan dan catatan produksi masih berada di tempat aslinya, membawa kenangan tersendiri akan sebuah kejayaan pabrik gula.
Mesin uap buatan Lahaye & Brisonneauf dari Perancis yang dipasang tahun 1884 juga masih terlihat. Demikian juga dengan piston-piston mesin giling buatan Gebr Stork & Co buatan tahun 1893, yang masih digunakan sampai dua tahun lalu. Ketel-ketelnya juga masih terpasang utuh di tempatnya.
Jika keutuhan ini bisa dijaga dan diperbaiki serta dibersihkan, PG Gondang Baru berpeluang menjadi situs museum gula yang berguna bagi siapa pun yang ingin mengetahui atau meriset proses Industri 1.0 bekerja. Posisi kompleks PG yang terletak persis di pinggir jalan protokol juga menjadi kelebihan tersendiri untuk menarik wisatawan atau peneliti mampir ke situs ini.
Bukti Revitalisasi
Jika Gondang Baru sudah berhenti berproduksi sejak dua tahun lalu, PG Tasikmadu di Kabupaten Karanganyar masih berproduksi hingga saat ini di bawah kendali PTPN IX. Di sini kita masih bisa melihat proses produksi gula ini secara nyata.
KOMPAS/EDDY HASBYSelain masih aktif berproduksi, di PG Tasikmadu juga dibuka area agrowisata Sondokoro di lokasi pabrik di Kabupaten Karanganyar sejak beberapa tahun lalu. Manajer PG Tasikmadu Triyono yang ditemui pertengahan Desember 2018 menjelaskan, kekhasan obyek wisata Sondokoro adalah tur keliling dengan lokomotif uap dan lokomotif diesel serta keberadaan beberapa artefak sejarah di kompleks pabrik yang berada di lereng Gunung Lawu.
Salah satu artefak itu adalah gerbong khusus yang dulu digunakan para adipati Mangkunegaran untuk meninjau lahan tebu di sekitar PG Tasikmadu. Gerbong mewah itu dibuat pabrikan kereta asal Perancis.
PG Tasikmadu adalah satu dari dua PG yang dibangun oleh Mangkunegara IV. Satu lagi adalah PG Colomadu juga di Kabupaten Karanganyar, dekat Kartasura.
Penulis sejarah Mangkunegaran, Daradjadi, yang juga keturunan Mangkunegara IV, menjelaskan, pendirian pabrik Colomadu dan Tasikmadu merupakan salah satu langkah strategis Mangkunegara IV dalam rangka membangun kemandirian. ”Mangkunegara IV memiliki cita-cita membangun kekuatan militer, ekonomi, dan kualitas SDM masyarakat Mangkunegara agar bisa setara dengan Eropa,” kata Daradjadi.
Pendirian dua pabrik gula tersebut tidak lepas dari hubungan baik Mangkunegara IV dengan Majoor Cina di Semarang, Bee Biaw Tjwan, yang meminjami modal awal. Salah satu putri Bee Biaw Tjwan menjadi istri muda Mangkunegara IV yang kemudian dimakamkan dekat PG Tjolomadoe dan dikenal sebagai Nyai Pulungsih. Makam Nyai Pulungsih dihormati warga sekitar pabrik gula hingga kini.
Cembengan, asal kata Qing Ming (Mandarin) atau Ceng Beng (dialek Hokkian) merupakan salah satu jejak sejarah budaya Tionghoa dalam industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian melebur dalam tradisi budaya Jawa.
Uraian cerita sejarah industri gula di Jawa yang diawali tahun 1500-an dengan kehadiran industriawan hingga kuli pekerja dari China sebelah selatan, sampai tradisi Cembengan, itu, kini bisa disaksikan di Museum Pabrik Gula De Tjolomadoe. Ini adalah hasil revitalisasi PG Colomadu yang didirikan tahun 1861 dan sudah berhenti beroperasi sejak 1998.
Bagi pengunjung yang menggunakan penerbangan atau pun Jalur Tol Trans-Jawa ke Surakarta, kompleks De Tjolomadoe berada tidak jauh dari Bandara Adi Soemarmo dan Gerbang Tol Kartasura. Kompleks tersebut mencakup museum, kafe, dan concert hall untuk penyelenggaraan pertunjukan musik. Musisi David Foster pernah menggelar pertunjukan di sana.
Bagaimana Kerajaan Thailand mengembangkan basis industri agro dan menjadi eksportir beras dan produk pangan dengan belajar dari Surakarta pun ditampilkan di Museum Tjolomadoe.
De Tjolomadoe adalah proyek percontohan Kementerian BUMN yang digarap bersama oleh empat entitas BUMN, yakni PT PP (Persero); PT PP Properti Tbk; PT Jasa Marga Properti; dan PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero). Mereka bergabung membentuk konsorsium bernama PT Sinergi Colomadu.
Peletakan batu pertama revitalisasi eks PG Colomadu ini dilakukan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 8 April 2017. Selanjutnya, PT Sinergi Colomadu bekerja sama dengan PT Airmas Asri melakukan konstruksi revitalisasi dengan mengikuti kaidah cagar budaya.
Bangunan eks pabrik gula seluas 1,3 hektar di atas lahan 6,4 hektar yang selama 20 tahun terbengkalai dan terlihat menyeramkan kini menjadi bangunan mentereng megah yang dimanfaatkan sebagai salah satu pusat kegiatan kultural masyarakat bernilai komersial dengan tetap mempertahankan warisan sejarahnya.
Di dalam bangunan ini, sebagian suku cadang mesin utama pabrik masih dipertahankan, seperti mesin giling dan mesin-mesin pemasak serta pengkristal gula. Di bagian yang dulunya gudang, mesin-mesin kerja itu masih dipertahankan di tengah meja-meja kafe bagi pengunjung.
De Tjolomadoe pun kini menjadi salah satu tujuan wisata "wajib" bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Solo dan sekitarnya.
Walaupun ada kritik dari sejumlah pakar, termasuk Krisprantono, bahwa revitalisasi PG Colomadu ini telah menghilangkan sebagian jejak bangunan bersejarah di kompleks tersebut, upaya revitalisasi ini tetap perlu diapresiasi sebagai sebuah langkah awal pelestarian bangunan cagar budaya yang bisa dikomersialisasi kembali.
PG Colomadu adalah satu dari dua PG yang dibangun oleh Mangkunegara IV. Satu lagi adalah PG Tasikmadu di Kabupaten Karanganyar yang masih berproduksi hingga saat ini di bawah kendali PTPN IX.
Masih di wilayah Solo, terdapat pula eks PG Gembongan yang didirikan tahun 1892 di Desa Pabelan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Lokasi tersebut kini diubah menjadi obyek wisata The Heritage Palace yang mempertahankan arsitektur asli PG Gembongan.
KOMPAS/EDDY HASBYArsitektur fasad pabrik yang bergaya art deco terlihat berbeda dibandingkan pabrik-pabrik gula lain dan menjadi daya tarik utama tempat ini untuk melakukan swafoto yang instagrammable.
Pabrik ini sudah lama tutup dan pernah dikonversi menjadi pabrik rokok Djitoe sebelum akhirnya dibiarkan terbengkalai menjadi kompleks pergudangan yang mangkrak.
Baru awal 2018, seorang investor tertarik dengan keunikan arsitektur PG Gembongan kemudian menyulapnya menjadi obyek wisata. Pengelola The Heritage Palace, Franky Hardy, menjelaskan, bangunan asli tetap dipertahankan dan di sana dipajang berbagai jenis mobil antik hingga wahana 3D dan Eye Trick Museum serta kafe. Sekilas, konsep museum swasta ini mirip Museum Angkut di Kota Batu, Jawa Timur.
Menurut Franky, ada beberapa bangunan yang masih dalam tahap renovasi untuk nanti dimanfaatkan sebagai gedung pertemuan dan pusat suvenir serta cendera mata buatan UMKM setempat. Ia juga bertekad mempertahankan keutuhan dan keaslian bangunan eks PG Gembongan itu, termasuk dengan merenovasi kembali cerobong asap besarnya.
Saat ini, pengembangan pabrik gula baru yang modern masih berlangsung di Lampung di Sumatera dan Sumba di Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, jejak langkah Revolusi Industri dengan keberadaan pabrik gula di Jawa adalah penanda zaman (milestone) penting yang mengingatkan pada satu masa, Pulau Jawa pernah menjadi kekuatan agroindustri yang tidak mustahil dapat bangkit kembali dengan kebijakan yang tepat, termasuk dalam industri gula.
Sebagai contoh, kebutuhan migas di Brasil pun dipasok dari industri tebu yang menghasilkan etanol, mengalahkan pasokan dan harga bahan bakar fosil. Keberadaan pabrik gula di Jawa menjadi perawat ingatan kolektif akan kejayaan ekonomi agro dan berbagai varian diversifikasi produk yang sebetulnya bisa dibangkitkan kembali!