Letusan kembang api warna-warni menerangi malam di dermaga Bandar Bakau Jaya, Lampung, Jumat (2/3/2018) malam. Ratusan orang bercelana hitam bertelanjang dada maupun memakai wetsuit menceburkan diri ke Selat Sunda. Mereka ikut berlaga untuk menaklukkan Selat Sunda, yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera.
Secara bergelombang, sekitar 300 perenang menembus kegelapan malam di perairan Selat Sunda menuju Tanjung Sekong, Merak, di ujung barat Pulau Jawa yang berjarak 39 kilometer. Perlahan menjelang tengah malam, mereka menghilang di balik cakrawala.
Para perenang itu umumnya hanya membekali diri dengan dua pelampung putih berbentuk kapsul besar dan memakai alat bantu goggle, kaki katak (fin) serta snorkel. Mereka juga berbekal peluit. Meski dari kejauhan dibayangi oleh kapal-kapal patroli dan perahu karet Marinir TNI AL yang mengawal mereka.
Mengapa renang menyeberangi selat Sunda dilakukan di malam hari? Ternyata, demi menjaga supaya perenang tidak dehidrasi meski mereka harus berenang di tengah pekatnya malam. Mengarungi selat Sunda di siang hari tentu harus berhadapan dengan teriknya matahari.
Lebar Selat Sunda di titik Bakau Jaya-Merak mencapai 39 kilometer. Dengan demikian, para perenang lebih mampu lagi untuk berenang menyeberangi Selat Madura yang hanya lima kilometer, atau jarak Batam-Singapura misalnya, yang hanya 25 kilometer.
Menjelang subuh, hari Sabtu (3/3/2018) pukul 03.00, pesta kembang api kembali terulang di dermaga Bandar Bakau Jaya. Sebanyak 72 perahu karet dan 576 pedayung mulai mengarungi Selat Sunda. Setiap perahu karet diawaki delapan pedayung yang didominasi pedayung Korps Marinir TNI AL, satuan TNI lainnya, dan para peserta umum.
Seusai melepas para peserta renang itu, Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Ade Supandi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Komandan Korps Marinir TNI AL Mayjen TNI Marinir Bambang Suswantono, para pejabat TNI AL, dan sejumlah atase pertahanan negara sahabat menaiki kapal perang TNI AL.
Mereka menyeberangi Selat Sunda untuk menunggu para peserta di garis finis di Tanjung Sekong, Merak, di ujung barat Pulau Jawa. Kali ini, lomba renang dan dayung menyeberangi Selat Sunda itu diberi tajuk ‘Laut Pemersatu Negeriku’.
Di Tanjung Sekong, Merak, sekitar pukul 06.30, matahari baru tampak meski malu-malu. Namun, keriuhan penonton sudah mulai terdengar. Ternyata, seorang perenang terlihat melaju penuh semangat ke arah pantai dengan dikawal perahu patroli Sea Raider dan beberapa panser amfibi Marinir.
Dia adalah perenang pertama yang berhasil melintasi Selat Sunda setelah berangkat dari Lampung malam sebelumnya. Semakin perenang tersebut mendekat, para penonton makin semangat bertepuk tangan.
Kopral Dua Marinir Budi Santoso (33 tahun) dari Batalyon Intai Amfibi 2 Korps Marinir TNI AL akhirnya tiba di titik finis. Sembilan jam 30 menit waktu yang dibutuhkannya untuk melintasi Selat Sunda sejauh 39 kilometer.
Menyusul di belakangnya adalah, Prajurit Kepala Marinir Putu Arsana dari Detasemen Jala Mangkara (Denjaka), dan kemudian Letnan Dua Marinir Marcel Galih dari Batalyon Infanteri 4 Marinir.
Berturut-turut para perenang lain mencapai pantai. Satu per satu perenang ataupun perenang dalam kelompok. Pada urutan 10 besar didominasi para prajurit Korps Marinir dari Batalyon Intai Amfibi (Taifib), Denjaka, dan Batalyon Howitzer.
Adapun Maulana Reyhan, perenang umum dari klub Millenium, Surabaya, menduduki peringkat ke-10 dengan catatan waktu 10 jam 3 menit dan 4 detik. Para perenang lain terus berdatangan hingga menjelang pukul 12.00 WIB.
Usai mencapai titik finis, Kopda Marinir Budi Santoso langsung bersujud syukur dan dipeluk teman-temannya. “Tidak ada rahasia khusus (untuk menaklukan Selat Sunda). Kuncinya adalah latihan,” ujar Kopda Budi.
Budi dan para perenang lain segera dibawa ke tempat bilas dan disiram air tawar. Kemudian, mereka dibawa ke tenda Batalyon Kesehatan Marinir untuk mendapat pasokan oksigen dan pemeriksaan kesehatan.
Setelah perenang mencapai finis, giliran para pedayung mulai tiba. Tim dayung pertama dari Batalyon Infanteri 8 Korps Marinir memasuki garis akhir dengan catatan waktu 5 jam 31 menit 7 detik.
Selanjutnya secara berturut-turut adalah, tim dayung Batalyon Infanteri 3 Marinir, Batalyon Infanteri 10 Marinir, Batalyon Infanteri 5 Marinir, dan Batalyon Infanteri 6 Marinir. Peserta sipil yang menempati peringkat tertinggi adalah Tim Luckysport Bekasi dengan catatan waktu 6 jam 17 menit dan 30 detik yang finis di urutan ke-18.
Pemenang pertama lomba renang diganjar sebuah mobil Mitsubishi Xpander baru dan pemenang kedua mendapat sebuah mobil Toyota Agya, sementara pemenang ketiga mendapat sepeda motor. Bagi tim dayung, pemenang pertama mendapat hadiah uang Rp 125 juta, lalu pemenang kedua dan ketiga mendapat hadiah masing-masing Rp 100 juta dan Rp 75 juta.
Catatan lain yang menarik adalah ada perenang berusia di atas 50 tahun yang berhasil menyelesaikan lomba, yakni Mayor Marinir Kardiman dan Serma Marinir Abdul Haris. Mereka mendapat hadiah masing-masing Rp 10 juta.
Peserta remaja Ryan Syahputra Nasution dan Mahesa Maulana serta dua peserta perempuan, yakni Sersan Dua (K) Archia Febra Novera dan Sersan Dua (Apm) Ni Luh Putu Maesa Ningsih, mendapat penghargaan dari Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal TNI Dodi Widjanarko dan istri KSAL Endah Ade Supandi.
Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Korps Marinir Letkol Marinir Ali Sumbogo mengisahkan, tradisi renang jarak jauh diawali dengan renang Selat Inggris oleh Kapten AL Inggris (Royal Navy/RN) Matthew Webb. Webb berenang dari Dover, Inggris ke Calais di Perancis (33,7 km) pada 25 Agustus 1875.
Di Australia Barat juga digelar secara periodik lomba renang Terusan Rottnest sejauh 20 km dari pantai Pulau Cottesloe ke Pulau Rottnest. Pulau Rottnest adalah tempat terdamparnya kapal VOC Batavia yang berlayar dari Amsterdam ke Batavia pada tahun 1628. Itu merupakan salah satu kecelakaan maritim legendaris di awal abad ke-17.
‘Rottnest Channel Swim’ akhirnya dikenal sebagai salah satu lomba renang terbesar di dunia. Tiap tahun, lomba itu digelar di bulan Februari dan dapat diikuti hingga lebih dari 2.500 perenang.
Adapun tradisi renang menyeberangi Selat Sunda diawali tahun 1991 oleh Korps Marinir TNI AL. Lomba itu terinspirasi oleh salah satu peristiwa dalam Operasi Seroja di Timor-Timur ketika lima prajurit Marinir bertahan hidup tiga hari hanyut di laut dari Pantai Dili hingga ke Pulau Alor.
Lomba renang pertama di Selat Sunda itu berlangsung hari Selasa (5/11/1991). Jaraknya 17,8 mil laut atau sekitar 34 km. Tadinya, tercatat 105 orang anggota TNI yang akan mengarungi Selat Sunda.
"Namun, mendekati waktu pelaksanaan ternyata hanya 94 orang yang dinyatakan siap melakukan penyeberangan tersebut," kata Ketua Panitia Pelaksana Penyeberangan Selat Sunda Mayor TNI (Mar) Nono Sampono.
Tantangan dari lomba renang itu adalah, arus laut yang kuat selain tantangan mental. Tahun 1991 itu, dengan jarak lomba yang lebih singkat lima kilometer ternyata waktu tempuhnya sekitar 12 jam.
Lomba Renang Selat Sunda menjadi agenda tahunan hingga tahun 1996, dengan tambahan lomba dayung. Karena situasi politik nasional, lomba dihentikan tahun 1997 dan baru digelar kembali tahun 2001 dan 2007.
Dalam catatan Kompas, tidak tiap lomba berjalan mulus. Terkadang, cuaca buruk menghambat peserta lomba. Peserta kejuaraan lomba renang dan dayung Lintas Selat Sunda, pada Selasa (18/10/1994) misalnya, terhambat cuaca buruk.
"Semula diperkirakan kekuatan arus tidak ada atau nol knot, ternyata kecepatannya bisa mencapai 7 knot, sehinga menghambat laju peserta lomba lintas tersebut. Beruntung tim SAR, walau harus sedikit kerja ekstra keras berhasil mengangkut peserta yang sudah kesulitan, sehingga terhindar dari jatuhnya korban," kata Ketua Panitia Pelaksana Kolonel (Mar) Frans Kansil. (Kompas, Rabu, 19 Oktober 1994).
Akibat cuaca buruk, kata Frans, hanya 75 persen peserta yang finis. Bahkan, dua peserta dari Amerika dan Australia, terpaksa diangkut tim SAR (tim penyelamat) ke Pantai Suralaya, Jawa Barat.
Prajurit Dua Marinir (Prada Mar) Dedi (21), peserta termuda intern TNI AL dalam Lomba Renang dan Dayung Lintas Selat Sunda VII- 2001 juga nyaris hilang akibat terbawa pusaran arus di Selat Sunda, sekitar tiga mil menjelang garis finis di Pantai Suralaya, Banten.
"Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya saya dapat mendarat di pantai PLTU Suralaya pada hari Selasa (30/10/2001) sekitar pukul delapan malam," ujar Dedi, yang baru tujuh bulan bergabung dalam Batalyon 6 Marinir di Cilandak.
Dedi dengan demikian harus berenang satu hari dua malam tanpa makan. Dia juga sempat menangis oleh karena tinggi ombak mencapai dua meter sehingga posisinya tidak terlihat oleh kapal SAR. Dia juga sempat melihat helikopter SAR yang justru terbang menyisir pesisir.
"Waktu itu saya sudah pasrah. Tetapi bukan berarti menyerah, sebab saya masih terus berusaha menahan isapan arus putar tersebut,” ujar Dedi. (Kompas, Sabtu, 3 November 2001).
Selat Sunda sebagai perairan terbuka sesungguhnya juga tidak dikecualikan dari keberadaan ikan hiu. "Walau belum pernah ada kasus hiu mengamuk untuk kemudian menyerang orang di Selat Sunda, tetapi tetap saja di selat ini ada ikan hiu-nya", kata Ketua Panitia Lomba Renang dan Dayung Lintas Selat Sunda VII-2001 Kolonel (Mar) Alfan Baharuddin M, yang sehari- hari sebagai Komandan Brigade Infanteri 1 Pasukan Marinir 1 Surabaya.
Namun, keberadaan fauna tetap saja menjadi tantangan. Kopral Dua (Kopda) Marinir (Mar) Riyanto Pane (29 tahun), juara pertama Lomba (Renang) Lintas Selat Sunda 2001 merasakan tantangan itu. Riyanto mengaku kerap terkena ubur-ubur. "Sekali kita merasakan (rasa gatal), maka mental kita akan ciut. Di situlah bakal muncul rasa takut. Dan sekali hadir rasa takut, berarti saat itu pula merupakan awal kekalahan," tutur Riyanto, yang pertama berdinas di Brigade Marinir 1 Surabaya.
Walau ketika diwawancarai Kompas, Riyanto mengaku telah lima kali mengikuti lomba lintas selat, dia tetap gentar setiap kali berdiri di garis start. “Rasa takut itulah yang harus dibunuh. Keberanian dan mental kita akan selalu mendapat teror baik dari binatang lautnya, seperti ubur-ubur atau ikan hiu, sampai angin, gelombang, dan arus,” ujarnya.
Yang menarik, ketika melamar menjadi marinir tahun 1990/1991, Riyanto mengaku sama sekali tidak bisa berenang. Tapi, dia nekat saja dengan mengaku setengah bisa berenang. Dan, waktu yang membuktikan kalau akhirnya dia bisa. (Kompas, Selasa, 6 November 2001).
Melihat dampak positif dari lomba renang Selat Sunda untuk memupuk daya juang, KSAL Laksamana Ade Supandi mengatakan, lomba sejenis akan kembali digelar. Boleh jadi, lomba serupa digelar di wilayah timur Indonesia.
Diakui Ade, keberhasilan 286 perenang untuk menyeberangi Selat Sunda jelas membuktikan kemampuan dan daya juang prajurit TNI. Kegigihan para prajurit itu juga sesuai semboyan Korps Marinir TNI AL yakni Jalesu Bhumyamca Jayamahe, Jaya Selalu di Laut dan Daratan.
Penulis: Iwan Santosa | Fotografer: Imam Agi Pratama, M Sjafei Hassanbasari | Videografer: Imam Agi Pratama | Infografik: Septa Inigopatria | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yulius Giann | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.