Ketika duduk di bangku sekolah, sebagian dari kita belajar bahwa pusat-pusat peradaban dunia berada di lembah sungai. Warga dari kota-kota dunia itu hidup dan dihidupi oleh sungai-sungai besar yang berkelok-kelok hingga ratusan bahkan ribuan kilometer.
Pelajari saja tumbuh dan berkembangnya peradaban Mesir Kuno di tepian Sungai Nil, peradaban Mesopotamia di antara Sungai Tigris dan Efrat, peradaban Tiongkok di lembah Sungai Kuning, hingga peradaban Harrapa di Lembah Sungai Indus.
Para arkeolog kemudian berhasil mengungkap lanskap kota-kota Harrapa yang didesain dengan sangat teratur, bahkan telah dilengkapi saluran air bawah tanah. Padahal, peradaban Harrapa tumbuh kira-kira 3.000 tahun sebelum Masehi alias lebih dari 5.000 tahun lalu!
Nah, selama Kompas menyusuri Kali Pesanggrahan pada bulan Juli 2016, tidak pelak lagi timbul sebuah pertanyaan besar. Peradaban apa yang dulu, kini, dan akan kita bangun di tepi Kali Pesanggrahan?
Apakah kemudian tata kota yang didesain di tepian Kali Pesanggrahan sanggup membuat kita dan anak-cucu kita kelak bangga? Apakah bangunan yang dibangun di daerah aliran Kali Pesanggrahan telah memperlihatkan tingginya peradaban kita?
Ternyata tidak. Setidaknya belum terlihat peradaban yang unggul yang harusnya dapat dibangun oleh manusia di abad ini. Belum tampak redesain tata kota yang memuliakan sungai. Contoh sederhananya, rumah-rumah di tepi Kali Pesanggrahan kini masih membelakangi sungai tersebut.
Kali Pesanggrahan, dan warga masyarakat yang berdiam di tepi kali tersebut, ternyata justru saling ”melukai”. Warga di tepi Pesanggrahan cenderung ”melukai” daerah aliran Kali Pesanggrahan, dan di sisi lain Kali Pesanggrahan membalasnya dengan ”membanjiri” warga.
”Mengamati” Kali Pesanggrahan dari arsip Kompas, ternyata tidak banyak artikel yang dapat dibaca pada tahun 1960-1970-an, pada periode-periode awal harian ini melayani pembaca.
Kali Pesanggrahan jelas tidak seutama sungai-sungai utama di negeri ini, seperti Sungai Bengawan Solo, Sungai Brantas, Sungai Citarum, Sungai Musi, Sungai Kapuas, dan Sungai Memberamo. Kali Pesanggrahan juga ”hanya” mengular sepanjang 66,7 kilometer.
Wartawan Kompas di masa silam jelas lebih banyak memberitakan sungai-sungai utama, khususnya yang menyuplai bahan baku air untuk irigasi. Republik kita pada awal pemerintahan Orde Baru memang masih mengandalkan sektor pertanian.
Mengeringnya sungai utama selalu diwaspadai karena dapat berdampak penurunan produksi pertanian sehingga wartawan dari waktu ke waktu seolah selalu memperhatikan ketinggian muka air sungai utama itu.
Ketika debit air sungai utama atau bendungan berkurang, Kompas pasti langsung memberitakannya. Ketika debit air Bengawan Solo berkurang misalnya, Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri pasti kewalahan melayani kebutuhan air irigasi. Demikian pula ketika volume air Sungai Citarum berkurang, produksi PLTA Waduk Jatiluhur takkan optimal.
Dulu, Kali Pesanggrahan jarang ”disentuh” oleh pemberitaan karena penduduk Jakarta belum mengekspansi wilayah-wilayah pinggiran. Kalau Kali Pesanggrahan mengamuk pun tidak berdampak terlalu buruk bagi warga.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Pesanggrahan jelas belum sepadat sekarang. Kawasan Cinere, misalnya, dulu didominasi oleh kawasan hijau berupa ladang atau kebun milik warga. Permukiman ketika itu juga belum tumbuh di sana-sini.
Tentu saja, Kali Pesanggrahan sudah meluap sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya meluap ketika hujan lebat, tetapi juga saat mendapatkan ”kiriman” air dari hulu sungai. Bahkan, di beberapa titik, Kali Pesanggrahan juga meluap hingga puluhan meter ke kiri dan kanan alur utama kali hingga menyerupai danau besar.
Namun, beberapa puluh tahun silam, belum banyak permukiman yang dibangun di tepian Kali Pesanggrahan. Jadi, ketika Kali Pesanggrahan meluap, tidak banyak permukiman yang tergenang. Tidak ada penduduk yang ”menjerit”.
Atas dasar itu, Kementerian Pekerjaan Umum justru ”membuang” air dari Kali Grogol ke Kali Pesanggrahan. Kementerian PU pada tahun 1970-an membangun saluran sodetan sepanjang 1,5 kilometer dengan kapasitas 65 meter kubik per detik menuju Kali Pesanggrahan.
Kali Pesanggrahan menjadi tempat ”buangan” demi menyelamatkan daerah Senayan, Slipi, Palmerah, Tomang, Grogol, dan Teluk Gong dari genangan air. Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin mengatakan, biaya pembangunan saluran sodetan itu mencapai Rp 162 juta, setara pembangunan 16 unit gedung sekolah.
”Jika baru ada satu tiang rumah yang mulai ditegakkan di aliran sungai ini, cepat-cepat dibongkar. Sikat, jangan tunggu sampai banyak. Ini demi kemanusiaan juga,” kata Ali Sadikin (Kompas, 17 April 1973).