Silahkan ganti orientasi perangkat anda menjadi mode potrait
Website ini menggunakan fitur audio silahkan nyalakan speaker atau gunakan headset
KOMPAS/JOHNNY TG
Gulung
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Tanggal 26 Desember 2004, gempa di dasar laut bermagnitudo lebih dari 9 terjadi di lepas pantai barat Sumatera, memicu tsunami yang menghantam pesisir barat Aceh, Sumatera Utara, dan sejumlah pesisir negara lain, menghancurkan apa pun yang diterjangnya.
KOMPAS/EDDY HASBY
KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO
Aceh luluh lantak. Sekitar 1,3 juta rumah dan gedung, 120 kilometer jalan, 18 jembatan, dan 57.000 hektar sawah hancur. Namun, di balik bencana, ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Sebelum tsunami, terjadi pergolakan bersenjata di Aceh yang berlangsung lebih tiga dekade. Perdamaian tercipta selepas bencana, menjadi salah satu faktor mulusnya rekonstruksi Aceh.
Hanya beberapa saat setelah bencana, Aceh mulai berusaha memulihkan diri dari kehancuran total yang menyebabkan kerugian hingga sekitar Rp 42,7 triliun itu. Dengan dana bantuan pemerintah dan bantuan internasional senilai lebih 10,3 miliar dollar AS, rekonstruksi dilakukan.
Kini 13 tahun kemudian, Aceh telah bangkit. Nyaris tidak terlihat lagi jejak kehancuran akibat gempa dan gelombang raksasa itu, kecuali berdirinya museum tsunami dan kuburan massal ratusan ribu korban yang menjadi saksi bisu kedahsyatan bencana itu. Jalan yang rusak kembali mulus. Jembatan yang hanyut telah membentang lagi. Bangunan yang hancur berdiri kembali.
Kawasan yang dulu lumpuh terkena bencana, kini ramai kembali. Pasar yang dulunya hancur berantakan, kini disibukkan lagi dengan aktivitas perdagangan.
Di situlah masalahnya. Apakah pembangunan kembali Aceh melupakan bahwa mereka berada di kawasan rawan bencana? Bagaimana seandainya tsunami kembali menerjang, bagaimana kesiapan menghadapinya?
Bencana tsunami terbesar dalam sejarah modern itu harus menjadi pelajaran. Museum Tsunami Aceh dan kuburan massal korban seharusnya menjadi pengingat bahwa Aceh dan juga negara ini berdiri di kawasan rawan bencana. Semua harus bersiaga menghadapinya.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Penulis: Zulkarnaini, Prasetyo Eko Prihananto | Fotografer: Zulkarnaini, Agus Sutanto, Johnny TG, Adrian Fajriansyah, Lasti Kurnia, Eddy Hasby, Yuniadhi Agung, Prasetyo Eko Prihananto | Videografik: Septa Inigopatria, Pietter Buyung | Penyelaras Bahasa: Priskilia Sitompul | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Vandi Vicario, Reza Fikri Aulia | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.