Di kerumunan pulau yang jauh di sana. Masih tersimpan puisi-puisiku. Pohon-pohon bambu. Rumpun-rumpun perdu serta hamparan sawah. Yang menguning. Arus sungai bergolak dalam dadaku. Memompa urat darah, memacu degup jantung….
seperti penggalan puisi karya Acep Zamzam Noor, gambaran desa di Kecamatan Darmaraja dengan keindahannya pasti akan sangat terkenang di benak warganya. Ketika tanah-tanah mengering, bukan berarti semangat ikut kering.
Namun, kini, seperti berjalan pada seutas tali dengan mata tertutup, warga Desa Cipaku mengarungi hidup dengan tertatih-tatih dalam ketidakpastian. Mereka harus menempuh kegetiran yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Pagi menyapa Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Kamis (20/9/2018). Matahari merangkak naik menjala hamparan tanah yang telah kering dan retak.
Bersamaan dengan angin pagi yang berembus, warga desa mulai tampak beraktivitas. Mereka membawa alat pancing dengan senyum mengembang di wajah. Warga lain terlihat hanya sekadar berjalan-jalan di hamparan tanah kering.
Beginilah sebagian wajah Waduk Jatigede yang mengering setelah kemarau berkepanjangan.
Di tanah waduk yang kering dan pecah-pecah itu, tampak gugusan bambu yang mati, bebatuan yang berselimut lumpur kering, juga beberapa bongkahan dinding rumah, puing-puing, dan sampah yang berserakan. Kondisi seperti ini mengingatkan kembali suasana pascatsunami Aceh tahun 2004.
Namun, itulah potret pemandangan salah satu desa yang tiga tahun lalu terendam di dasar Waduk Jatigede. Desa yang harus dikorbankan dengan ditenggelamkan demi pembangunan waduk.
Waduk Jatigede yang luasnya 5.000 hektar, dengan kapasitas tampung air 980 juta meter kubik, kini sebagian dasar waduk dilanda kekeringan sejak tiga bulan lalu. Kemarau mengeringkan tanah di kawasan Waduk Jatigede dan memunculkan kembali rangkaian memori indah warga Desa Cipaku pada tanah leluhurnya.
Batang-batang pohon kelapa dan pohon bambu yang muncul dari dasar waduk membawa memori akan indahnya alam lingkungan sekitar. Dahulu, Darmaraja adalah surga bagi warganya. Sawah hijau dan berundak-undak, sungai yang jernih, bukit-bukit, serta hutan yang lebat telah menghidupi satwa liar dan warga setempat.
Anak-anak desa pun selalu bermain di sawah itu. Sementara para orangtua bekerja di ladang atau sawah sambil mengawasi anak-anak mereka.
Warga desa juga tidak perlu khawatir untuk urusan makan. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli beras. Mereka dengan mudah bisa mendapatkan beras dan buah-buahan dari lahan mereka masing-masing. Bahkan, Desa Cipaku menjadi salah satu gudang pangan di Sumedang.
Tanah saya dulu sekitar 60 tumbak atau sekitar 840 meter persegi. Dulu di sekeliling rumah saya ada banyak pohon mangga, buahnya selalu berlimpah. Bahkan, banyak buah yang sudah matang sampai tak terpetik karena saking banyak buahnya. Kalau kami mau makan nasi, tinggal nunggu panen, beras dari desa sini juga bagus, bahkan sampai dijual ke luar kota. Pagi-pagi, sekitar pukul 06.00, ibu-ibu sudah berangkat ke sawah, lalu mengurus peternakan, dan kegiatan itu hampir terlihat di setiap rumah,” tutur Away (45), warga Desa Cisarasat yang juga berada di Darmaraja.
Away merupakan salah satu OTD, orang terkena dampak, dari pembangunan Waduk Jatigede. Sejak lahir hingga dewasa, ia tinggal di Cisarasat. Jadi, jangan heran apabila kenangan indah sejak kecil terkait suasana desanya terus ia ceritakan.
Rumahnya dulu, yang bertembok dan bercampur bilik bambu, kini masih dapat terlihat walaupun bilik bambu dengan jendela pada bagian depan rumahnya telah roboh. Atap rumah juga masih terlihat meski menyisakan kerangka kayu tanpa genteng.
Rumahnya kini menjadi semacam ikon di Kecamatan Darmaraja. Belum lama ini, Away memasang tiang dengan bendera Merah Putih di atap rumah itu. Dia melakukannya sendiri dengan memanjat rumah dan mengikatkannya pada rangka atap bagian atas tepat di tengah rumah.
Rumah Away jadi ikon karena hanya rumahnya yang masih berbentuk rumah dengan rangka atap. Sementara rumah-rumah lain nyaris tidak terlihat bentuknya. Ada yang tinggal temboknya atau sumurnya, ada juga yang hanya terlihat tembok pagarnya. Bahkan, beberapa rumah sudah rata dengan tanah dan hanya menyisakan puing-puing.
”Saya mempertahankan rumah ini sebagai bentuk kekecewaan atas penggenangan dan bantuan yang diberikan. Pengorbanan kami tidak sebanding dengan dana kerohiman sebesar Rp 29 juta yang diberikan kepada kami,” ujar Away.
Menurut Gubernur Jawa Barat, yang kala itu dijabat oleh Ahmad Heryawan, santunan Rp 29 juta diberikan kepada anak cucu per rumah tangga. Sementara ganti rugi untuk pembebasan lahan sebesar Rp 122 juta telah diberikan pada tahun 1980-an hingga 2000-an.
”Sebenarnya, sejumlah warga sudah tak punya hak sama sekali untuk meminta ganti rugi sebab tanah yang ditinggalinya sudah dibeli negara,” kata Heryawan.
Penerima santunan mencapai 6.410 keluarga. Setiap keluarga mendapatkan Rp 29,36 juta, naik dari usulan awal sebesar Rp 13 juta. Setelah lahan dibebaskan, warga tetap tinggal di kawasan Waduk Jatigede karena pembangunan belum juga dimulai. Ketika pembangunan dimulai, pemerintah memutuskan mereka turut mendapat santunan.
Menurut Heryawan (Kompas, Minggu, 22 Maret 2015), ganti rugi proyek Jatigede tergolong paling tinggi sejak Indonesia merdeka. Ketentuan mengenai uang ganti rugi dan santunan itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2015. Diperkirakan anggaran yang diperlukan untuk penanganan dampak sosial ini sekitar Rp 700 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggaran ganti rugi dan santunan memang terlihat besar jika dijumlah total. Namun, ketika dibagi per keluarga, jumlah tersebut terhitung kecil. Kira-kira hanya setara dengan harga jual satu sepeda motor Yamaha NMAX.
”Dulu, kami memiliki lahan sawah beserta hewan peliharaan dan kandangnya. Kini, semua tinggal cerita buat anak cucu kami,” ujar Rukimah (50), yang juga berasal dari Desa Cipaku.
Rumah Away dan Rukimah terpisah 500 meter. Meski rumah Away lebih rendah posisinya dibandingkan rumah Rukimah, rumah Rukimah kini sudah rata dengan tanah dan tersisa puingnya saja.
Penggenangan Waduk Jatigede sampai elevasi maksimal 262 meter di atas permukaan laut ternyata berdampak bagi sekitar 11.000 keluarga. Mereka tidak hanya mengorbankan materi, tetapi juga merasakan luka batin dan mental. Luka yang kini terbuka kembali saat waduk mengering.
Apalagi, kini mereka hanya menempati rumah dengan luas lahan 90-100 meter persegi. Dengan lahan sekecil itu, tiada lagi lahan sawah, kandang kerbau, atau lahan perkebunan. Jarak antar-rumah pun hampir menempel dengan rumah lain. Mungkin hanya berjarak 1-2 meter dan bahkan beberapa rumah temboknya berimpitan dengan tetangga sebelah.
”Kami lebih senang tinggal di tempat yang dulu. Sekarang, kami tidak bisa menanam padi dan buah-buahan, beternak kerbau. Lahan yang bisa kami beli hanya cukup untuk membangun rumah. Itu pun kami harus menjual kerbau,” ujar Dedy, suami Rukimah.
Tiga tahun setelah penggenangan Waduk Jatigede, warga Desa Cipaku seperti kehilangan asa. Bahkan, hingga kini ada banyak warga yang belum mendapatkan pekerjaan.
Hidup mapan dengan berlimpahnya hasil sumber daya alam menjadi sekadar kenangan. Sebaliknya, waduk yang mengering justru menjadi momen sentimental yang tak mereka sia-siakan.
Siang itu, ketika terik matahari cukup membuat baju basah oleh keringat, Dedy bersama istri terus melangkah di atas tanah kering yang berdebu.
Mereka mencari bekas dinding untuk dibongkar. Mereka mengincar sisa-sisa batu bata yang masih terlihat bagus. Dentuman palu kemudian terdengar mengisi keheningan. Mereka membongkar satu per satu bata merah, sedangkan istrinya membawa bata-bata merah itu dengan gerobak, lalu disusun rapi di jalanan.
”Kami ini, Pak, sekarang sudah menjadi pemulung. Kami melakukan ini karena sudah tidak ada pekerjaan lagi. Di samping itu, kami juga harus menyekolahkan dan menghidupi keluarga kami. Bahkan ada yang makan singkong aja. Nah, beruntung kami tidak. Makanya, sekarang masyarakat yang dipindahkan lebih sengsara,” lanjut Dedy.
Ketika masih menjadi petani, sesulit-sulitnya kehidupan, mereka masih bisa menjual 2-3 kuintal padi sekali panen. ”Sekarang, masyarakat sudah tidak bisa lagi makan beras, kebanyakan makan singkong karena hidup sudah susah,” ujar Atok (60), yang duduk menemani Dedy saat beristirahat.
Bata-bata yang tadi dikumpulkan dari sisa-sisa bangunan yang semula terendam itu menjadi penyelamat sementara untuk menyambung hidup mereka. ”Kami di sini mencari bata-bata bekas, untuk makan sehari-hari,” kata Dedy.
Bata-bata itu mereka jual seharga Rp 200 per bata. Dalam sehari, mereka rata-rata mendapatkan Rp 200.000 meski belum tentu ada pembeli dalam sehari. Mereka juga tidak selalu mendapatkan bata karena sebagian bangunan dan bata sudah mengeras sehingga susah untuk dibongkar.
”Kalau ada yang mengajak untuk menjadi tukang bangunan, ya, jalan. Kalau enggak ada, ya, mencari bata lagi atau diam saja di rumah,” lanjut Dedy. Uang santunan memang makin menipis, bahkan habis sama sekali dalam hitungan tahun.
Saat waduk mengering, Away juga mengisi hidup dengan terus menengok rumah lamanya, untuk sekadar membersihkan dan membenahi meski rumah itu sudah porak poranda. ”Saya bolak-balik ke sini karena tidak ada kegiatan,” ujarnya.
Walau hidup makin susah, Away menyikapinya dengan positif dan selalu mencoba untuk tersenyum. ”Saya bersyukur, rumah saya terlihat kembali. Situs leluhur kami juga bisa saya kunjungi. Kalau soal rezeki, Tuhan sudah menentukan,” katanya.
Masyarakat dari Desa Cipaku kini berjuang di titik keputusasaan. Mereka harus menghadapi kenyataan pahit demi bertahan hidup. Dengan senjata hidup seadanya, mereka bertempur sendiri tanpa pendamping atau bimbingan pihak mana pun. Mereka tetap berharap ada uluran tangan pemerintah meski tidak terlalu banyak berharap.
Mereka juga sadar diri untuk tidak mengharapkan diberi ikan, tetapi diberi kail. Mereka sekadar berharap adanya ruang untuk usaha atau diberikan arahan untuk menggagas solusi kreatif setelah kehidupan mereka seperti dicerabut atas nama pembangunan.
Kerabat Kerja
Baca Juga Tutur Visual Lainnya Yang Mungkin Anda Sukai