Mempersiapkan Pertunjukan
Penulis: Iwan Santosa, Prasetyo Eko Prihananto | Animator: Maria Karina Putri, Winston Wijaya | Ilustrator: Maria Karina Putri | Penyelaras Bahasa: Hibar Himawan, Luci Dwi Puspita Sari | Audio: Vincentzo Joski | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Elga Yuda Pranata, Ria Chandra | Produser: Prasetyo Eko Prihananto | Sumber referensi: Potehi of Java – Ardian Purwoseputro (2014) dan Toni Harsono Maecenas Potehi dari Gudo karya Hirwan Kuardhani (2011).
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.
Potehi lahir di Zhangzhou dari para tahanan yang menanti hukuman di penjara pada zaman Dinasti Jin (265-420 Masehi). Mereka menghibur diri dengan membuat pertunjukan wayang kantong.
Alat peraga untuk teater boneka di China terbuat dari boneka dua dimensi berbahan kulit (seperti wayang kulit) dan boneka tiga dimensi berbahan kayu atau bambu, yang salah satunya adalah boneka potehi (Mandarin: bu dai xi) atau dalam dialek Hokkian disebut pouw tee hie.
Dalam catatan Jawa, wayang Tionghoa sudah tercatat dalam naskah Malat dan Nawaruci yang menyebut allangkarn mwang awayang China. Wayang China sudah ada di Pulau Jawa sekitar abad XVI Masehi atau zaman Dinasti Ming.
Almarhum dalang Thio Tian Gie mengatakan, kata "potehi" berasal dari dialek Hokkian: poo yang berarti kain, tay yang berarti kantong. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai cloth bag theatre–theatre within the palm atau glove theatre. Seni ini di selatan China diwariskan dari ayah ke anak sebagai shehu (dalang) wayang potehi.
Meski semasa Orde Baru (1966-1988) sempat dimainkan secara sembunyi-sembunyi, kini wayang potehi berkembang di Gudo, Jombang, Jawa Timur, dan Depok, Jawa Barat, oleh para pelaku seni dari berbagai latar belakang.
Karena akulturasi, potehi yang semula dimainkan dengan dialek Hokkian, menurut dosen teater ISI Yogyakarta, Hirwan Kuardani, kini dipertunjukkan dengan bahasa Melayu, Jawa bercampur dengan istilah-istilah dialek Hokkian. Dalang dan pemain musik pun banyak dari etnis Jawa dan lainnya.
Penulis: Iwan Santosa, Prasetyo Eko Prihananto | Animator: Maria Karina Putri, Winston Wijaya | Ilustrator: Maria Karina Putri | Penyelaras Bahasa: Hibar Himawan, Luci Dwi Puspita Sari | Audio: Vincentzo Joski | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Elga Yuda Pranata, Ria Chandra | Produser: Prasetyo Eko Prihananto | Sumber referensi: Potehi of Java – Ardian Purwoseputro (2014) dan Toni Harsono Maecenas Potehi dari Gudo karya Hirwan Kuardhani (2011).
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.
Dalang memainkan wayang dari belakang panggung berukuran lebar sekitar 2 meter. Untuk memainkan potehi, sang dalang menggunakan jari tangannya. Jari telunjuk mengendalikan kepala wayang, sedangkan ibu jari dan tiga jari lainnya menggerakkan tangan wayang.
Ada ratusan karakter anak wayang, bergantung pada kisah yang dimainkan. Cerita wayang potehi diambil dari kisah-kisah klasik legenda dinasti-dinasti China, dan berkembang ke cerita populer, seperti Kera Sakti (Sun Go Kong) dan Si Jin Kui.
Akulturasi budaya membuat cerita wayang potehi pun berkembang, menyesuaikan dengan budaya lokal. Di Sanggar Budaya Cinta Wayang (Rumah Cinwa) Depok yang diawaki para mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, mereka memasukkan kisah lokal seperti Damarwulan.
Ada beragam alat musik untuk mengiringi wayang potehi, seperti siauw lo, siauw bak, toa lo, terompet China, seruling China, dong ko, dan piak-ko. Namun, menurut pimpinan Rumah Cinwa, Dwi Woro Retno Mastuti, potehi juga bisa diiringi hanya dengan tiga jenis alat musik.
Dong Ko
Toa Lo
Siauw Bak