KompasLabuan Bajo

Labuan Bajo
Permata di Kepulauan Sunda Kecil

Apa yang dapat dilakukan di Labuan Bajo jika punya waktu tiga kali dua puluh empat jam? Pertanyaan itu terus berputar di kepala dalam perjalanan dari Jakarta ke ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.

Banyak cerita tentang Labuan Bajo yang memprovokasi rasa ingin tahu. Perjalanan menemui kadal purba komodo, berlayar di lautnya yang setenang permukaan kaca, atau menyelam dan selam permukaan (snorkeling) di sela terumbu karangnya adalah tawaran tentang Labuan Bajo. Satu lagi, tinggal tiga malam di atas kapal pinisi seraya mengelilingi pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo adalah iming-iming yang sulit ditolak.

KOMPAS/Raditya Helabumi
Labuan Bajo
Suasana di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/6/2016). Kawasan tersebut merupakan salah satu pusat keramaian bagi wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo.

Menyisir informasi Labuan Bajo melalui internet tidak cukup memberi informasi keadaan kota sebenarnya meskipun sudah ditetapkan sebagai satu dari sepuluh tujuan wisata nasional prioritas. Kotanya masih sederhana, tetapi fasilitas untuk turis asing ataupun domestik mulai bermunculan. Rumah makan dan kafe sederhana, toko perlengkapan menyelam dan renang, serta hotel melati hingga yang berbintang terlihat sejak dari meninggalkan bandara hingga ke tengah kota.

Turis asing dari berbagai kebangsaan dan turis domestik hilir mudik di jalan-jalan kota. Sebagian yang lain memilih menyewa pinisi dua-tiga malam dan berlayar di antara puluhan pulau di barat laut Labuan Bajo, sambil turun di Pulau Rinca atau Pulau Komodo untuk melihat binatang purba komodo di habitat aslinya dan pulau-pulau lain, atau menyelam dan selam permukaan di banyak lokasi terumbu karang di sana.

Panorama Labuan Bajo
Suasana pagi hari di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (25/9/2012). Labuan Bajo merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan yang hendak berkunjung melihat binatang purba komodo di Pulau Komodo. Pemerintah daerah menargetkan hingga akhir tahun ini akan ada sekitar 50 ribu wisatawan yang akan singgah ke Labuan Bajo sebelum melihat komodo.
KOMPAS/Totok Wijayanto

Banyak hal menjadi daya tarik turis di sekitar Labuan Bajo selain menjumpai komodo di habitat aslinya. Ada Pantai Pink di Pulau Komodo yang pasirnya berwarna merah jambu karena campuran pasir dan cangkang kerang berwarna merah, Goa Batu Cermin, hingga Manta Point atau juga dikenal dengan Karang Makassar di perairan antara Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang mempertemukan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat daya. Perairan yang kaya plankton itu menjadi tempat ikan pari manta berkumpul dan diakui dunia sebagai tempat berkumpul pari manta paling kaya dibandingkan dengan tempat berkumpul manta di berbagai lokasi di dunia.

Kotanya masih sederhana, tetapi fasilitas untuk turis asing ataupun domestik mulai bermunculan.

Tak diragukan, daya tarik terbesar Labuan Bajo adalah Taman Nasional Komodo. Pada tahun 1991, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Taman Nasional Komodo yang terdiri dari Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar serta puluhan pulau kecil dan perairan di sekitarnya sebagai Situs Warisan Dunia. Pilihan UNESCO tersebut untuk melindungi komodo (Varanus komodoensis), kadal terbesar di dunia yang menjadi sisa-sisa evolusi, sebagai hewan endemik di Komodo dan Rinca.

Peta Lokasi Taman Nasional Komodo

Situs daring UNESCO memaparkan keunikan Taman Nasional Komodo, yaitu memiliki aneka makhluk hidup yang merupakan peralihan antara Australia dan Asia karena kawasan ini berada di dua benua itu. Semua pulau di taman nasional ini berasal dari gunung berapi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Gua Batu Cermin
Gua Batu Cermin - Pengunjung menyusuri lorong Gua Batu Cermin di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/6/2016). Untuk menikmati seluruh lorong gua batu dapat ditempuh selama sekitar 30 menit. Gua yang berada tidak jauh dari pusat kota Labuan Bajo tersebut termasuk salah satu alternatif kawasan wisata Manggarai Barat.

Naturalis, antropolog, biolog, dan penjelajah asal Welsh, Inggris, Alfred Russel Wallace, menyebut Taman Nasional Komodo sebagai ”sabuk yang pecah” di dalam kawasan biogeografis Wallacea antara ekosistem Australia dan Sunda. Di taman nasional ini, sebagian hewan darat adalah asli Asia, seperti rusa, kera, babi hutan, dan musang. Sebagian yang lain berasal dari Australia, antara lain beberapa jenis reptil, burung gosong kaki merah (Megapodius reinwardt), kakatua-kecil jambul kuning, dan sejenis burung bernyanyi friarbird. Ada yang menyebut komodo awalnya menyebar hingga Australia sebelum punah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia di sana.

Laut yang merupakan 70 persen taman nasional sangat kaya, memiliki lebih dari 260 jenis koral yang membentuk dinding koral, 70 jenis spons laut, cacing laut, reptilia laut seperti penyu hijau dan penyu paruh elang, dolfin, paus, dan dugong. Perairan Taman Nasional Komodo juga memiliki teripang, ikan napoleon, dan ikan kakap yang bernilai ekonomi tinggi.

Daya Tarik Selain Komodo
Pemandangan bawah air di Taman Nasional Komodo kian menjadi obyek wisata yang diburu wisatawan selain melihat fauna komodo itu sendiri. Kondisi terumbu karang di beberapa titik selam masih relatif terjaga. Seperti tampak, Kamis (12/9/2013) di titik selam Batu Bolong, sebelah barat Labuan Bajo di NTT.
KOMPAS/Ichwan Susanto

Cara terbaik menggunakan waktu yang terbatas di Labuan Bajo adalah mengunjungi Pulau Rinca untuk menemui komodo. Bila berangkat pagi, permukaan laut masih setenang permukaan cermin, menyembunyikan arus kencang di bawahnya.

Pulau Rinca berjarak paling dekat dengan Labuan Bajo, tak lebih dari setengah jam jika menggunakan kapal cepat (speedboat), berlabuh di Loh Buaya, pintu masuk ke Rinca sekaligus salah satu pos jagawana di sana. Jika memakai kapal kayu, waktu tempuh bisa dua kalinya.

Pulau-pulau berhias sabana hijau pada awal Mei, periode pancaroba dari musim hujan ke musim kering, menemani sepanjang perjalanan. Perjumpaan dengan Rinca terjadi dengan segera. Satu perkampungan penduduk menghiasi salah satu teluk di Rinca. Kubah masjid yang bulat tampak jelas dari kejauhan. Di pulau-pulau lebih kecil beberapa di antaranya berhias resor menemani sepanjang perjalanan. Menurut Andreanus Garu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Nusa Tenggara Timur (NTT), resor-resor tersebut hampir semuanya dimiliki investor dari luar NTT, termasuk investor asing.

Kelas dunia

Sementara komodo menarik perhatian turis mancanegara dan turis domestik untuk mengunjungi Labuan Bajo, menemui kadal purba itu hanya perlu setengah hari. Setelah itu, wisatawan membutuhkan atraksi lain agar dapat tinggal lebih lama di sana. Dengan begitu, banyak tempat menarik untuk dikunjungi di sekitar Labuan Bajo, terutama menyelam dan selam permukaan, sebenarnya tujuan wisata tersebut tidak kekurangan atraksi.

Namun, untuk mencapai target kunjungan wisatawan mancanegara 500.000 orang pada tahun 2019, Labuan Bajo memerlukan percepatan pembangunan fasilitas pendukung selain pengembangan atraksi. Dalam rencana Kementerian Pariwisata, kawasan wisata Labuan Bajo diperluas menjadi kawasan wisata Labuan Bajo-Flores.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kementerian Pariwisata Dadang Rizki Ratman, pengembangan kawasan wisata Labuan Bajo-Flores akan dikelola oleh badan pelaksana otorita (BPO). Badan itu yang akan menentukan bentuk pengelolaan kawasan wisata tersebut, apakah akan berbentuk badan layanan umum atau kawasan ekonomi khusus. ”Meskipun BPO tersebut harus bekerja dengan kaidah bisnis, tujuannya tetap menyejahterakan masyarakat setempat,” ujar Dadang.

Wajah Kota Tetap Bopeng
Dibanding kota kabupaten lain di NTT, Labuan Bajo di Manggarai Barat, hingga akhir Mei lalu paling pesat kemajuannya, antara lain telah didukung dua hotel berbintang. Ironisnya, wajah kota tetap bopeng, sampah berserakan di mana mana, jaringan jalan terkelupas, berdebu dan berlubang lubang.
Kompas/Frans Sarong

Kawasan wisata Labuan Bajo-Flores akan dikembangkan sebagai tujuan wisata lingkungan kelas dunia dan Labuan Bajo menjadi pintu masuk wisatawan ke NTT. Dari 500.000 turis asing tersebut, pemerintah menargetkan devisa Rp 8 triliun pada tahun 2019. Sementara target wisatawan lokal yang berkunjung ke sana pada akhir 2019 adalah 5 juta orang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, saat ini rencana induk pengembangan kawasan BPO Labuan Bajo-Flores terus disiapkan. Di dalamnya termasuk perpanjangan landasan Bandar Komodo dari 2.250 meter menjadi 2.450 meter serta penambahan navigasi dan penerbangan malam yang diharapkan selesai tahun ini.

Target Labuan bajo Tahun 2013 Tahun 2019
Kontribusi terhadap PDRB Rp 5 Triliun Rp 96 Triliun
Devisa Rp 648 Miliar Rp 8 Triliun
Kontribusi terhadap Kesempatan Kerja 300 Juta 1 Juta
Indeks Daya Saing Kepariwisataan #70 #30
Kedatangan Wisatawan Mancanegara 54 Ribu 500 Ribu
Perjalanan Wisatawan Nusantara 9,6 Juta 5 Juta

Yang juga dalam peningkatan kapasitas adalah infrastruktur kota dan wisata bahari, mulai dari interkoneksi listrik dari Ruteng ke Labuan Bajo, pemasangan sarana berlabuh kapal tanpa merusak terumbu karang, hingga pengadaan vaksin untuk mengatasi gigitan komodo.

Kawasan wisata Labuan Bajo-Flores akan dikembangkan sebagai tujuan wisata lingkungan kelas dunia dan Labuan Bajo menjadi pintu masuk wisatawan ke NTT.

Meskipun BPO Labuan Bajo-Flores belum resmi ada, pembangunan infrastruktur pariwisata sudah berjalan. PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) bersama PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk dan PT Patra Jasa membangun kawasan komersial yang terdiri dari pelabuhan marina, peningkatan fasilitas dermaga penyeberangan, hotel, dan area komersial. Total investasi Rp 400 miliar dilaksanakan sejak April 2017 dan selesai akhir 2018.

Dengan semangat mendatangkan turis begitu besar, tantangannya adalah apakah pengembangan pariwisata itu akan memberikan manfaat bagi masyarakat daerah secara ekonomi, sosial, dan budaya. Bali selalu menjadi contoh karena budaya masyarakatnya justru menjadi bagian dari daya tarik mengunjungi pulau tersebut. Karena itu, nilai-nilai budaya setempat secara sadar dijaga sebagai bagian dari identitas.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bandara Komodo
Penumpang menunggu jam keberangkatan pesawat di Bandara Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (20/1/2015). Pihak pengelola bandara sedang menyelesaikan pembangunan dan pengembangan Bandara Komodo untuk meningkatkan layanan transportasi udara di wilayah Indonesia Timur dan mendukung pertumbuhan sektor pariwisata.

Di Labuan Bajo, masyarakat berkembang dinamis. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi kawasan, pendatang dari berbagai suku dan bangsa berdatangan. Dinamika tersebut paling jelas tampak dari rumah makan di sekitar kota. Ada warung bakso, rumah makan makassar, hingga restoran yang menawarkan masakan Italia.

Anggota DPD asal NTT, Andreanus Garu, menjelaskan, masyarakat Labuan Bajo sudah biasa berbaur dengan pendatang. Kawin-mawin di antara mereka juga sudah biasa dan perbedaan agama tidak menjadi penghalang. Pada hari-hari besar atau acara keagamaan, warga sudah biasa saling membantu. Sementara banyak warga asli memilih tinggal di pedalaman dan pegunungan, pendatang memilih tinggal di daerah pantai dengan menjadi nelayan atau pedagang.

Wisata inklusif

Kehadiran investor yang menyebar di sejumlah pulau di sekitar Labuan Bajo ataupun di kota itu pada satu sisi membangkitkan kegiatan ekonomi dan membukakan mata bagi warga setempat tentang peluang usaha, pada sisi lain ternyata dapat menimbulkan masalah. ”Tenaga kerja lokal bisa tergeser pendatang,” kata Andreanus.

NTT akan menghadapi perubahan besar dengan dibukanya Labuan Bajo sebagai tujuan wisata kelas dunia. Provinsi ini termasuk yang termiskin di Indonesia. Banyak warga NTT bekerja ke luar wilayah karena tidak melihat peluang bekerja di daerahnya, sebagian menjadi korban perdagangan orang.

Kompas/Susi Ivvaty
Penduduk Lokal
Aktivitas warga di Pulau Messah Labuan Bajo Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Matapencaharian utama penduduk adalah nelayan.

Diana WP Wisang SSpS, Provinsial Biara Abdi Roh Kudus atau Servarum Spiritus Sancti (SSpS) Flores Barat, dalam percakapan awal Mei lalu di Labuan Bajo, menggambarkan ironi di sana. Warga asli kerap merasa tidak ada pekerjaan tersedia di sana sehingga banyak yang meninggalkan kampungnya. Pada saat yang sama, banyak pendatang melihat peluang usaha di Labuan Bajo dengan mendirikan, antara lain, salon kecantikan, warung bakso, atau rumah makan khas daerah asal.

Kemiskinan, kurangnya pendidikan keterampilan hidup, dan keinginan cepat mendapat hasil sebagian masyarakat akan segera berhadapan dengan gemerlap industri pariwisata. Kekhawatiran bahwa masyarakat setempat akan tertinggal dan hanya menjadi penonton disuarakan Andreanus dan Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong.

Warga asli kerap merasa tidak ada pekerjaan tersedia di sana sehingga banyak yang meninggalkan kampungnya.

Andreanus mendorong pemerintah daerah memasukkan syarat mempekerjakan penduduk setempat dan transfer pengetahuan bagi investor. Di dalam tata kelola Badan Pengembangan Otorita Labuan Bajo-Flores harus melibatkan orang daerah dan skema manfaat pariwisata harus dipastikan akan sampai ke masyarakat. Dia menyesalkan, pembangunan yang digerakkan dari pusat kerap tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. NTT sebagai pulau dengan banyak pulau tentu membutuhkan pembangunan dermaga, tetapi harus juga dapat dipastikan ada kapal yang menyinggahi dermaga-dermaga tersebut.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berinisiatif menyediakan ruang pamer bagi produk khas masyarakat Manggarai Barat, antara lain kain tenun yang dikerjakan para perempuan di desa-desa dan kopi. Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong tengah giat mengembangkan ternak ayam lokal. Ayam yang diambil telur dan dagingnya itu dipelihara para ibu rumah tangga sebagai sumber gizi dan pendapatan keluarga, tetapi sekaligus mengurangi ketergantungan Labuan Bajo pada daging ayam luar Flores.

Menjual Kain Tenun
Seorang pedagang menjajakan kain tenun khas Manggarai di lapaknya di Pasar Way Kesambi, Desa Batu Cermin, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (23/11/2016). Harga kain tenun hasil karya para penenun tradisional itu berkisar Rp 350.000 hingga Rp 1 juta per lembar tergantung motifnya.
Kompas/Yovita Arika

Dalam pengelolaan Taman Nasional Komodo, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kementerian Pariwisata David Makes mengharapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membawahkan pengelolaan taman nasional dapat segera mengeluarkan izin pemanfaatan taman nasional sebagai tujuan wisata alam.

Menurut David, ada banyak contoh baik pengelolaan taman nasional sebagai tujuan wisata sehingga semua pihak mendapat manfaat tanpa merusak taman nasional bersangkutan. Taman Nasional Yellowstone yang merupakan kebanggaan Amerika Serikat, misalnya, tiap tahun didatangi sekitar 5 juta pengunjung. Pengaturan pemanfaatan taman nasional dapat melibatkan masyarakat setempat, mulai dari jasa pemandu, penyedia transportasi menuju lokasi, jagawana, hingga penyedia rumah singgah (homestay).

Pariwisata yang inklusif, menyertakan masyarakat lokal, dan tetap menjaga kelestarian taman nasional dan budaya setempat sangat mungkin diwujudkan sepanjang ada penegakan tata kelola yang akuntabel dan transparan.

Di Rinca Dia Lebih Agresif

Loh Buaya sebagai pintu masuk ke Pulau Rinca, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, berupa dermaga kayu sederhana. Sejumlah kapal kayu tampak sudah bersandar. Belasan jagawana menunggu di pintu masuk. Haikun (20), lulusan SMK kepariwisataan, memandu kami memasuki Rinca, awal Mei lalu. Tidak ada kata pengantar apa pun saat kami berlima mulai memasuki jalan yang dikeraskan dengan batu.

Tidak ada petunjuk apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Baru kemudian kami tahu, satu hal sangat penting harus dipatuhi wisatawan, yaitu selalu berjalan bersama jagawana dan berada di jalan setapak yang telah ditentukan.

Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy
Gerbang Taman Nasional Komodo Loh Buaya

Berjalan sekitar 100 meter, dua patung komodo berdiri pada ekor menghiasi gerbang. Konon, ini adalah posisi saat komodo berkelahi. Kiri dan kanan adalah tanah lapang dan sejarak 400 meter ada pohon-pohon sabana yang melindungi serombongan kera. Perasaan nyaman masih melingkupi sampai 50 meter berikutnya, di kubangan lumpur berair di sebelah kiri jalan setapak, Haikun menunjuk seekor komodo sedang berjemur membelakangi jalan setapak berbatu.

Perasaan panik langsung menyerang, teringat berbagai cerita seputar gigitan komodo (Varanus komodoensis) yang mematikan. Tetapi, komodo sepanjang kira-kira 3 meter itu tampak tidak terusik oleh orang yang melalui jalan berbatu berjarak sekitar 20 meter dari kubangan. Matahari pagi yang mulai terasa menyengat kulit menyamarkan komodo tersebut yang berwarna coklat keabuan dengan tanah coklat di kiri-kanan jalan setapak.

Setelah perjumpaan awal itu, barulah Haikun mulai bertutur saat kami tiba di bawah pohon akasia rindang di dekat bangunan penjualan karcis dan kantor informasi. Dia menceritakan bagaimana komodo dengan giginya yang seperti gergaji dan rahangnya yang kuat menelan korbannya dan memuntahkan tulang yang tak tecerna. Haikun menunjukkan tulang tengkorak rusa, kerbau, dan beberapa hewan lain, mungkin babi hutan, yang sengaja dipajang untuk konsumsi turis.

Kompas/NINUK MARDIANA PAMBUDY
Pajangan Tengkorak Hewan

Untuk menambah unsur dramatis, Haikun menuturkan tentang seorang turis asing yang meninggalkan rombongan dan kemungkinan disantap komodo karena tidak berhasil ditemukan. Juga tentang seorang anak dari kampung di Rinca yang hilang dan menyisakan hanya bekas darah. Setelah kembali ke kota Labuan Bajo, kami mendapat kabar, ada turis asal Singapura yang digigit komodo di Desa Komodo, Pulau Komodo. Turis tersebut berjalan sendiri untuk memotret komodo tanpa ditemani jagawana atau penduduk desa. Pertolongan pertama oleh penduduk dan kemudian pengobatan di rumah sakit di Labuan Bajo menyelamatkan turis itu dari kematian.

Setelah penjelasan singkat Haikun, kami melanjutkan perjalanan. Sekitar 30 meter, perkenalan berlanjut. Setidaknya tujuh komodo berbagai ukuran berjajar di bawah rumah panggung bertuliskan ”dapur”. Terpisah dari kumpulan komodo tersebut, seekor komodo berperut buncit tengah menindih komodo lain yang juga tak kalah buncit. Dugaan semula, kedua komodo itu sedang melakukan ritual reproduksi. Namun, dari Haikun kami tahu, kedua komodo itu jantan dan sedang siap berkelahi. Komodo jantan ternyata bertubuh lebih besar dengan perut lebih buncit dibandingkan dengan komodo betina yang bertubuh langsing.

Komodo Berjajar di Bawah Rumah Panggung
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy

Ada rombongan turis lain yang juga sedang mengamati kadal-kadal raksasa itu. Komodo-komodo itu tak tampak terusik oleh orang-orang yang berada hanya sejarak sekitar 20 meter. Mereka juga tidak berusaha naik ke rumah panggung.

Tiba-tiba, dua komodo jantan tadi berbalik arah ke tempat kami berdiri. Haikun memerintahkan kami menjauh. Dengan sigap, dia memainkan tongkat bercabangnya ke arah leher kadal itu, mengarahkan kedua komodo itu untuk menjauh menuju gerumbul pohon semak. Jagawana yang mengantar rombongan turis lain ikut membantu. ”Jangan lari! Jangan lari!” perintah Haikun kepada kami. Baru kami tahu, menghadapi komodo adalah menyingkir diam-diam dan jangan berlari.

Ukuran tubuh komodo di Rinca lebih kecil daripada komodo di Pulau Komodo, tetapi menurut Haikun lebih agresif.

Dari ”dapur” kami bergerak mengikuti jalan setapak yang sudah disediakan. Ini cara terbaik saat berada di kawasan lindung komodo. Jalan setapak membawa kami ke tempat komodo bertelur, yang ternyata bekas sarang burung maleo yang meletakkan telurnya di lubang di tanah. Rupanya komodo termasuk oportunis, memanfaatkan sarang yang sudah tersedia. Tiap kali bertelur rata-rata 15 butir dan sembilan bulan kemudian hanya 2-3 telur yang menetas.

Saat itu sedang tidak ada telur di sarang. Seekor komodo muda, menurut Haikun berusia sekitar tiga tahun, perlahan mengendap dari balik gerumbul pohon. Mungkin mencoba mencari telur yang tidak dijaga induknya. Sambil menunjuk pohon di sekitar sarang, Haikun mengatakan bahwa setelah menetas, bayi komodo langsung memanjat pohon.

Perjuangan hidup bayi komodo sangat berat. Dia dapat dimangsa komodo dewasa atau hewan lain. Karena itu, bayi komodo mengamankan hidupnya dengan tinggal di pohon-pohon, mencari mangsa hewan apa saja yang bisa ditemui. Ketika ukurannya membesar dan cabang pohon tidak lagi mampu menampungnya, kira-kira pada usia 3-4 tahun, anak komodo akan turun ke tanah dan mulai berburu hewan lebih besar.

Kompas/NINUK MARDIANA PAMBUDY
Seekor Komodo Muda Mengendap Dari Balik Gerumbul Pohon

Berjalan sekitar 50 meter berikut, kami bertemu seekor komodo dewasa melintas, nyaris tanpa suara, di antara pepohonan di samping jalan setapak. Warna kulitnya yang bersisik menyamarkan dia di antara ranting-ranting pohon semak. Mendekati pintu keluar, di padang terbuka kami berpapasan lagi dengan seekor komodo yang berjalan cepat menuju rumah panggung dapur. Dia tak tertarik pada rombongan kami dan berjalan menjauh.

Di Pulau Rinca seluas sekitar 1.800 hektar, terdapat sekitar 1.500 komodo, dan yang betina hanya sepertiganya. Ini membuat perebutan mendapatkan komodo betina lebih keras di Rinca. Uniknya, komodo betina dapat melakukan reproduksi secara aseksual alias tanpa kawin.

Ukuran tubuh komodo di Rinca lebih kecil daripada komodo di Pulau Komodo, tetapi menurut Haikun lebih agresif. Ini disebabkan Pulau Rinca memiliki lebih banyak sabana dibandingkan dengan Pulau Komodo yang memiliki lebih banyak hutan pohon, membuat mangsa yang tersedia di Rinca juga lebih sedikit daripada di Komodo.

Rute Pulau Rinca
Rute berjalan kaki melintasi hutan dan perbukitan di Pulau Rinca, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (10/6/2016).
Kompas/Raditya Helabumi

Bersamaan dengan rencana pengembangan Labuan Bajo dan Flores sebagai tujuan wisata kelas dunia, pengelolaan dan pengusahaan Taman Nasional Komodo memerlukan terobosan pada zona pemanfaatan dan kepariwisataan.

Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kementerian Pariwisata David Makes yang juga pengusaha kepariwisataan menyebutkan, tidak mudah mengelola dan mengusahakan Taman Nasional Komodo. Meski sejak tahun lalu sudah mendapat izin usaha penyediaan sarana wisata alam dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk taman nasional di Pulau Rinca, David mengatakan, sampai sekarang masih dicari konsep kepariwisataan yang tepat. ”Apakah ekowisata, eko-eduwisata, atau wisata bahari dengan rumah kapal sebagai sarana akomodasi,” kata David.

Bagi pengunjung, melihat komodo umumnya hanya perlu satu kali dan tidak memerlukan waktu satu hari penuh. Wisatawan umumnya menggunakan sisa waktu di Labuan Bajo untuk menyelam atau selam permukaan. Pembangunan dan pengembangan akses dan infrastruktur ke Labuan Bajo-Flores serta promosi dan penyediaan amenitas oleh swasta dan pemerintah selama dua tahun terakhir diharapkan menjadi pengungkit pertumbuhan pariwisata Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo.

Kerabat Kerja

Penulis: Ninuk Mardiana Pambudy | Fotografer: Frans Sarong, Ichwan Susanto, Ninuk Mardiana Pambudy, Raditya Helabumi, Totok Wijayanto, Susi Ivvaty, Yovita Arika | Foto Adjuster: Toto Sihono | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Desainer & Pengembang: Yosep Wihelmus Nabu

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.