KECELAKAAN di jalan raya di Puncak, Kabupaten Bogor? Ah, ini sebenarnya berita basi. Tanpa bermaksud mengecilkan arti ratusan korban yang meninggal, yang luka berat, juga kerugian fisik dan imaterial yang tak tergantikan, patut disadari bahwa kecelakaan lalu lintas di jalur itu terus berulang. Sayangnya, tidak ada solusi antisipasi ampuh yang diterapkan. Hanya kehebohan sesaat yang lalu cepat dilupakan.
Nyawa manusia sepertinya memang kurang dihargai di negeri ini. Pelayanan publik, jaminan keamanan dan kenyamanan, masih nomor sekian dalam agenda pembangunan pemerintah. Buktinya, ya, kecelakaan yang terus berulang di jalur menanjak sepanjang lebih kurang 25 kilometer dari Gadog di Kabupaten Bogor hingga Ciloto di Kabupaten Cianjur.
Dari pemberitaan Kompas mulai 1980-an hingga Mei 2017 ini, rata-rata penyebab kecelakaan adalah kondisi bus, truk, atau kendaraan lain yang tak layak jalan, pelanggaran rambu lalu lintas, atau pengemudi yang ugal-ugalan, dan lemahnya pengawasan institusi pemerintah terkait karena membiarkan berbagai pelanggaran itu terus terjadi. Pemerintah tidak berdaya mewujudkan koordinasi antara institusi di tingkat pusat dan di daerah untuk mengawasi pengoperasian angkutan umum dan angkutan barang serta mendisiplinkan warga.
Kegaduhan menanggapi tragedi pada angkutan umum yang menewaskan 18 penumpang dan 2 warga lokal itu seolah kasus besar yang baru pertama kali terjadi di negeri ini. Padahal tidak!
Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali. Mungkin peribahasa yang artinya merujuk pada hanya orang bodoh yang melakukan kesalahan dua kali ini masih terbilang terlalu halus untuk menggambarkan kesalahan yang terus terjadi dalam pengelolaan kawasan Puncak, khususnya menyangkut penanganan dan antisipasi potensi kecelakaan lalu lintas.
Lihat saja, pada 27 Februari 2013, seperti dilaporkan Kompas, 28 Februari 2013, sebanyak 17 warga Kampung Cikemang, Desa Sukajaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tewas. Bus yang mereka tumpangi menabrak tebing di Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Bus PO Mustika Mega Utama berpelat F 7263 K, yang ditumpangi warga Cikemang, itu mengalami kecelakaan, diduga karena terlalu banyak penumpang. Rombongan itu akan berziarah ke makam leluhur mereka di Cikundul, Cianjur, Jawa Barat.
Cuplikan dari analisis di Kompas edisi 26 Agustus 2013 ini sangat menohok dan sangat relevan hingga saat ini. Berikut kutipannya:
“Kegaduhan menanggapi tragedi pada angkutan umum yang menewaskan 18 penumpang dan 2 warga lokal itu seolah kasus besar yang baru pertama kali terjadi di negeri ini. Padahal tidak! Kasus itu bukan yang pertama kali terjadi di kawasan Puncak. Bukan pula tragedi memilukan pertama kali yang dilupakan oleh berbagai pihak setelah sempat gaduh mewacanakan sanksi tegas kepada operator bus dan sopir.
...
Pada saat itu juga terjadi kegaduhan semua pihak, dari pengamat, aparat kepolisian, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pejabat Kementerian Perhubungan, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bersuara lantang. Sejumlah pendapat dilontarkan ke ruang publik, dari pembenahan soal angkutan umum nasional yang bobrok, pencabutan izin trayek dan izin usaha operator bus, hingga memenjarakan sopir ataupun pemilik perusahaan bus. Namun, sejumlah wacana itu akhirnya menguap begitu saja seiring dengan berjalannya waktu.”
Sebelumnya, kekesalan dan lontaran kritik pedas sudah ditulis Kompas edisi 13 Februari 2012.
“Tajuk Rencana: 85 Orang Tewas Tiap Hari! Kecelakaan maut bus Karunia Bakti di Cisarua, Bogor, kian mengentakkan kesadaran kita akan buruknya situasi dan kondisi lalu lintas kita!
Empat belas orang tewas akibat rem bus Karunia Bakti tidak berfungsi. Sang sopir lebih dahulu menyelamatkan diri sebelum bus terjun ke jurang. Ia kabur sampai akhirnya menyerahkan diri ke kantor polisi. Penyelidikan resmi harus menunggu Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi, tetapi keterangan saksi menegaskan bahwa rem bus Karunia Bakti memang tidak berfungsi!
Laporan dramatis di sejumlah media sepertinya tidak menggerakkan otoritas perhubungan dan perusahaan otobus berbuat sesuatu untuk membenahi kondisi lalu lintas kita. Selama Februari 2012 saja tercatat lima kasus kecelakaan yang melibatkan angkutan umum yang menyebabkan 33 orang tewas!
Respons pejabat Kementerian Perhubungan terasa normatif. Akan memperketat audit, akan mencabut izin operasi, dan akan-akan lainnya! Sementara di antara akan dan akan, kecelakaan lalu lintas terus terjadi. Respons normatif tidaklah cukup. Kondisi saat ini adalah kondisi darurat lalu lintas, khususnya transportasi umum!”
Maut di Selarong dan Ciloto
PUNCAK adalah kawasan pegunungan yang terletak paling dekat dengan Jakarta. Jika perjalanan normal tanpa macet, berbagai obyek wisata di Puncak bisa dicapai dari Jakarta dalam 1-1,5 jam saja. Dikelilingi Gunung Halimun, Salak, dan Gede juga Pangrango, Puncak menawarkan hawa sejuk, perkebunan teh, hingga berbagai atraksi wisata alam ataupun yang memacu adrenalin, seperti paralayang. Sederet tempat makan kaki lima sampai bintang lima ada. Berbagai tempat penginapan sederhana hingga yang mewah pun ada. Puncak adalah “surga” kecil yang jadi impian sebagian warga Jakarta untuk melewatkan waktu santainya, menghindar dari kebisingan dan panasnya Ibu Kota.
Namun, dengan pengunjung yang terus meningkat jumlahnya, pertumbuhan obyek wisata yang juga terus bertambah, kawasan Puncak seperti tak pernah siap, selain juga tidak pernah ditata untuk menjadi kawasan wisata yang baik. Tengoklah ke kanan dan kiri di sepanjang jalur Puncak. Bangunan padat mengepung jalan yang hanya dua jalur menuju Puncak dan Tol Jagorawi. Di beberapa titik, jalan hanya muat untuk masing-masing satu mobil di setiap jalur. Kalau dipaksakan untuk dua mobil, sempitnya bukan kepalang. Kondisi jalur utama yang sesak itu sama persis dengan kondisi 1980-an. Tanjakan dan turunan yang jamak ditemukan di jalur ini menambah potensi terjadi kecelakaan.
Ibarat kaset lama yang diputar ulang, penyebab kecelakaan, menurut penyelidikan polisi, masih seputar kendaraan tak laik jalan.
Usulan dan upaya penataan Puncak pun sudah didengungkan sejak 1980-an, antara lain penertiban bangunan illegal di sisi kanan kiri jalan utama ataupun vila-vila liar yang mengokupasi kawasan hijau. Bahkan, pada 1980-an itu juga sudah ada rancangan tata ruang Puncak yang telah disetujui dan siap diterapkan. Apa daya sampai saat ini tidak ada perubahan berarti di Puncak. Pelebaran jalan, pembuatan jalur alternatif, hingga penertiban sisi kanan dan kiri jalan utama lagi-lagi masih dalam tataran rencana, rapat-rapat di tingkat pemimpin. Padahal, musibah terjadi dan terjadi lagi.
Berdasarkan data Kepolisian Resor Bogor, sepanjang 2015 ada 30 kecelakaan di Puncak dengan 17 orang meninggal, 11 luka berat, dan 27 luka ringan. Pada 2016 kembali terjadi 30 kecelakaan di kawasan tersebut dengan 12 orang meninggal, 12 luka berat, dan 19 luka ringan. Tahun ini, Polres Bogor mencatat hingga Mei ini saja sudah terjadi 14 kali kecelakaan dengan 10 orang tewas, 6 luka berat, dan 17 luka ringan. Ibarat kaset lama yang diputar ulang, penyebab kecelakaan, menurut penyelidikan polisi, masih seputar kendaraan tak laik jalan.
Data itu belum termasuk kasus kecelakaan di Puncak yang masuk kawasan Kabupaten Cianjur.
Dua kecelakaan terakhir, seperti diberitakan Kompas, terjadi sepanjang liburan akhir pekan pada April lalu. Kecelakaan pertama di tanjakan Selarong, tak jauh dari pertigaan Gadog, Kabupaten Bogor, menewaskan empat orang ketika sebuah bus dengan rem yang tak berfungsi menabrak delapan kendaraan lain, Sabtu (22/4). Menyusul sepekan kemudian, Minggu (30/4), di Ciloto, Kabupaten Cianjur, bus dengan rem dan pengunci roda tak berfungsi menabrak 3 mobil, 1 angkot, 5 sepeda motor, dan 1 warung. Akibatnya, 12 orang tewas.
Selarong dan Ciloto menjadi tempat langganan beberapa kecelakaan maut di Puncak.
Tanjakan Selarong yang namanya diambil dari nama hotel melati di daerah itu terentang sepanjang sekitar 500 meter. Pada Kompas edisi 23 April 2017 disebutkan, di tanjakan Selarong yang jelas banyak kecelakaan, nyaris tanpa pembenahan. Padahal, kondisi fisik tanjakan itu membahayakan jika terjadi antrean kendaraan, baik dari bawah (timur/Gadog) maupun atas (barat/Puncak). Di badan jalan tepat di depan jalan masuk hotel, di utara jalur, ada cekungan yang menghambat dan membahayakan kendaraan menuju atas. Dari atas, karena jalan kecil, dari dua lajur menjadi satu lajur, lalu lintas tersendat ketika dari tanjakan Selarong menuju Gadog melewati persimpangan Pasir Angin yang ramai keluar masuk kendaraan.
Kawasan Ciloto tepatnya di Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, seperti dijelaskan di Kompas edisi 2 Mei 2017 terletak sekitar 50 kilometer dari pusat kota Bogor. Jalan di kawasan Ciloto memang rawan kecelakaan. Jalan naik-turun curam dan penuh kelokan tajam. Kondisi itu jauh lebih berbahaya saat hujan atau terjadi kemacetan pada akhir pekan. Jaka (59), warga Ciloto, mengatakan, sering terjadi kecelakaan lalu lintas di sekitar lokasi kejadian. Hampir semua penyebabnya rem blong dan beban kendaraan terlalu berat.
Masih saja saling lempar
SOAL bagaimana bus bobrok bisa beroperasi lintas kota bahkan lintas provinsi, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan JA Barata, Selasa (2/5), mengatakan, tanggung jawab pemeriksaan bus sebenarnya bukan terletak di Kementerian Perhubungan. Tanggung jawab tersebut berada di dinas perhubungan setempat dan kepolisian. Kementerian Perhubungan bertugas membuat regulasi dan pengawasan penerapan aturan di lapangan. "Kemenhub tidak bisa turun ke lapangan memeriksa armada, kecuali pemeriksaan itu dilakukan oleh tim gabungan," kata Barata.
Walaupun tidak turun, bukan berarti pengawasan keselamatan tidak dilakukan. "Saat ini pengawasan kelaikan kendaraan dilakukan melalui uji kendaraan yang dilakukan dua kali dalam setahun. Selain itu, beberapa kali dilakukan pemeriksaan di terminal tempat bus antarkota berkumpul," ujar Barata.
Sering kali juga petugas mendatangi bengkel-bengkel milik perusahaan bus untuk melihat bagaimana kondisi kelaikan armada. "Namun, pemeriksaan di bengkel itu hanya bisa dilakukan di perusahaan-perusahaan besar. Padahal, banyak perusahaan bus yang kecil-kecil dan tersebar," ujar Barata.
Pemeriksaan terhadap bus milik perusahaan-perusahaan kecil itu lebih banyak dilakukan di terminal, terutama saat angkutan Lebaran.
Kecelakaan terjadi karena tidak patuh peraturan lalu lintas dan tidak tertib di jalan.
Direktur Angkutan dan Multimoda Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Cucu Mulyana mengatakan, saat ini terdapat 1.607 perusahaan pariwisata dengan jumlah armada mencapai 13.175 bus aktif dan 10.099 bus tidak aktif. "Banyaknya perusahaan tersebut membuat pemeriksaan agak sulit dilakukan," ujar Cucu.
Terkait dengan beberapa kali terjadi kecelakaan yang menyangkut bus pariwisata, Cucu mengatakan akan melaksanakan pemeriksaan di jalan dan di tempat wisata. "Selama ini, pemeriksaan di tempat wisata belum pernah dilakukan," katanya.
Razia itu akan dilakukan Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan kepolisian, Jasa Raharja, dan dinas perhubungan setempat.
Cucu mengatakan pemeriksaan dalam operasi terpadu itu bisa jadi mengganggu kenyamanan penumpang. "Kalau memang bus itu hanya melanggar administrasi, bus tetap boleh beroperasi. Kalau ternyata tidak laik jalan, bus tidak boleh jalan lagi. Dan perusahaan bus harus bertanggung jawab terhadap nasib para penumpang," kata Cucu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo mengatakan, pemeriksaan terhadap bus pariwisata akan digelar dari sekarang hingga 10 Juni. "Pemeriksaan akan dilakukan di setiap armada, bukan random. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk persiapan arus mudik yang tinggal sebentar lagi. Nanti pas pemeriksaan dalam rangka arus mudik, pemeriksaan baru dilakukan secara random," ujar Sugihardjo.
Mengenai kecelakaan, Sugihardjo mengatakan, Kementerian Perhubungan akan melayangkan pengaduan terhadap perusahaan bus. "Karena mereka tidak terdaftar, kami tidak bisa menjatuhkan sanksi adminstrasi. Namun, kami akan menuntut mereka secara pidana karena sudah ada korban jiwa dan tidak memiliki izin," ujar Sugihardjo.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Bogor Ajun Komisaris Hasby Ristama mengatakan, pada dasarnya jalur Puncak dan jalan raya lain bukan tidak rawan kecelakaan. Kecelakaan terjadi karena tidak patuh peraturan lalu lintas dan tidak tertib di jalan. “Selama kita taat peraturan dan tertib di jalan, tidak akan terjadi kecelakaan,” katanya.
Lagi-lagi wacana
NAMUN, faktanya kecelakaan lalu lintas tetap terjadi di jalur Puncak. Dari hasil analisis tim Polres Bogor, kata Ristama, terjadi kecelakaan di jalur Puncak setiap tahun, selain akibat faktor manusia dan kendaraan, juga karena faktor jalan dan cuaca. Karena itu, pihaknya terus mencari black spot di jalur ini untuk menghilangkan atau mengurangi kecelakaan.
Di tanjakan Selarong, misalnya, sudah beberapa kali dilakukan pembenahan, tetapi masih terjadi kecelakaan di sana, yang ternyata penyebabnya dominan karena faktor manusia. Meski demikian, kepolisian mengusulkan di sisi kiri kanan jalur itu dibuat gundukan-gundukan pasir untuk buangan dan menahan laju kendaraan yang bermasalah. Pusat dalam pembenahan jalur Puncak, menyetujui usulan Polres Bogor ini.
“Kecelakan di sini lebih banyak karena human error. Kecelakaan juga kerap terjadi saat hujan sehingga jalan licin. Masyarakat harus mengantisipasi itu, menjaga diri, dan agar menggunakan kendaraan yang prima saat melintas di jalur Puncak,” katanya.
untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas, setidaknya ada empat hal yang harus dikaji, yaitu manajemen lalu lintas yang bagus, pemeliharaan kendaraan agar laik jalan, pemeliharaan jalan dan rambu-rambu, serta laik atau tidaknya pengendara kendaraan membawa motor atau mobil di jalan raya.
Pada hari yang sama dengan Barata mengeluarkan pendapatnya, terbitlah lagi rencana untuk mengkaji ulang kondisi jalan dan sarana lalu lintas di daerah-daerah wisata yang dinilai rawan kecelakaan. Sebuah rencana diutarakan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Komisaris Jenderal Royke Lumowa seusai pertemuan dengan Komisi Ombudsman RI di Korlantas Polri di Jakarta.
“Wilayah Puncak itu elevasinya luar biasanya. Rawan kecelakaan, tapi sebenarnya tidak hanya puncak. Banyak kawasan wisata di Indonesia yang kondisi kemiringan jalannya membuat wilayah itu rawan kecelakaan,” kata Royke.
Menurut Royke, kondisi jalan di sebuah kawasan wisata yang melintasi perbukitan atau pegunungan memang harus memiliki marka jalan dan tanda-tanda lalu lintas yang lebih baik. Dengan jalanan yang berliku, black spot di kawasan itu akan lebih banyak dibandingkan dengan jalan yang lurus dan datar, seperti di kawasan pantai atau daratan lain.
Dia mengatakan, menjadi tugas para pemangku kepentingan lalu lintas, dari Kementerian Perhubungan, Korlantas Polri, hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mengidentifikasi kawasan rawan kecelakaan lalu lintas. Daerah atau kawasan dengan tingkat elevasi atau kemiringan yang tinggi ditambah dengan black spot yang banyak, kata Royke, harus mendapat perhatian lebih.
“Diidentifikasi dan harus dijaga,” katanya.
Penyebab beberapa kali kecelakaan yang menewaskan puluhan korban jiwa, menurut Royke, harus terus ditelusuri. Kedua kecelakaan disebabkan tidak berfungsinya rem bus.
“Pilar keselamatan publik terabaikan. Sopir pasti akan mendapat sanksi. Pemilik juga bisa dikenai sanksi karena hal itu,” kata Royke.
Mantan Direktur Lalu Lintas Kepolisian Metro Jaya dan Sumatera Utara ini mengatakan, untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas, setidaknya ada empat hal yang harus dikaji, yaitu manajemen lalu lintas yang bagus, pemeliharaan kendaraan agar laik jalan, pemeliharaan jalan dan rambu-rambu, serta laik atau tidaknya pengendara kendaraan membawa motor atau mobil di jalan raya.
Terus menggerogoti
SEDERET pertanyaan mendesak yang muncul sekarang, kapankah semua rencana itu terealisasi? Kapan penataan Puncak yang mendesak itu—yang tidak hanya menguntungkan para wisatawan, tetapi sebenarnya manfaat terbesar adalah warga setempat yang menjalani hari demi hari di kawasan tersebut—benar-benar dilakukan? Adakah tahap-tahap rencana pelaksanaan diikuti target yang harus dicapai?
Siapakah yang berhak dan bertanggung jawab menjadi pengevaluasi serta menjatuhkan sanksi kepada semua pihak berwenang di atas jika semua rencana itu sekadar buih mulut manis yang segera kering dan hilang tak berbekas? Mau berapa nyawa lagi mesti melayang akibat ketidakbecusan para pemangku kebijakan dan penegak aturan?
Ah, sudahlah. Di negeri yang katanya kini makin bergerak maju lebih baik, ternyata kenyataannya tetap saja penyakit-penyakit lama dibiarkan menggerogoti rakyatnya sendiri.