Selama 71 tahun, Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei. Seiring perjalanan waktu tersebut, pendidikan di Indonesia mengalami berbagai transformasi mulai dari hal ketersediaan infrastuktur, kurikulum, hingga kecukupan dan kualitas tenaga para guru, garda depan pendidikan.
Namun, di berbagai daerah, perubahan itu belum tentu dinikmati oleh para murid. Bahkan, di tingkat sekolah dasar sekalipun. Di pedalaman Pandeglang dan Sukabumi, misalnya, di tengah segala kesederhanaan dan kekurangan, mereka menuntut ilmu.
Untunglah, ada guru-guru yang masih setia mengajar meskipun tempat mereka mengabdi jauh dari kenyamanan hidup. Hidup di desa kecil sederhana yang listrik pun tak ada, akses menuju sekolah yang sulit dilalui, tempat mengajar sederhana, hingga berbagai kesempatan meningkatkan kualitas diri terlewatkan lantaran jauh dari pusat kota menjadi.
Begitu pula di sejumlah kawasan di Papua. Para guru tidak hanya mengajar terkait materi pelajaran, tetapi juga mengajarkan tentang cara hidup yang lebih sehat. Berkat jasa para guru, pendidikan di daerah-daerah tersebut dapat berjalan dan anak-anak mendapatkan hak atas pendidikan.
Hanya saja, jasa dan pengabdian para guru tersebut belum sepenuhnya dihargai. Banyak diantara mereka yang berstatus guru honorer dan hanya diganjar dengan honor jauh di bawah upah minimum regional para buruh sekalipun. Padahal, beban mereka begitu berat lantaran tak banyak yang mau mengabdi di pelosok-pelosok nusantara itu.
Di Kampung Caringin yang terpencil dan sepi, kehadiran negara dirasakan anak bangsa lewat para guru yang mengajar di SD Negeri Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di dusun yang tak dialiri listrik, tanpa aspal mulus, dan tiada irigasi itu, guru berbakti menjaga negeri. Salah satu sudut dusun, tempat sekolah berdiri, seketika meriah saat anak-anak menyambut kehadiran guru mereka, Sarino (32) dan Riki Sonjaya (30), pada pekan ketiga November 2015.
Para murid kemudian melepaskan sandal jepit penuh lumpur, masuk ke kelas, dan duduk manis di ruang kelas sederhana. Riki mengajar anak kelas I dan II membaca dengan beralas matras, sedangkan Sarino mengajar Matematika kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. Buku-buku yang sudah tidak bersampul, dengan tepian keriting, dan kumal terbuka di meja.
Di tengah segala keterbatasan, kehadiran Riki dan Sarino merupakan pusat dari sekolah itu. Tak penting lagi bahwa di ruangan tempat Riki mengajar masih tergantung foto Presiden dan Wakil Presiden RI berisi wajah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Di kelas sebelah, tempat Sarino mengajar, sudah tergantung foto wajah Presiden Joko Widodo.
Sejak 2003, Sarino yang berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS) mengajar di sekolah itu dan bertahun-tahun seorang diri. Dua tahun terakhir, dia dibantu Riki, tenaga honorer operator sekolah merangkap guru. ”Melihat anak-anak semangat belajar saat berada di sekolah membuat saya bahagia. Sekolah ini harus tetap ada meskipun hanya saya guru yang bersedia mengajar di sini. Saya yakin kemajuan kampung ini bisa terjadi lewat generasi muda terdidik,” ujar Sarino.
Dia akhirnya memutuskan tinggal di kampung yang dihuni penyadap nira, pembuat gula merah, dan penanam padi ladang yang mengandalkan air hujan itu. Tak mudah mencari tenaga untuk mengajar di tempat seperti itu. Medan yang dilalui sangat berat. Kamis sore pekan lalu, di tengah guyuran hujan, Riki menitipkan sepeda motor tuanya yang telah dimodifikasi di rumah warga Desa Nangela.
Hujan menjadi masalah sekaligus berkah. Tanah lempung membuat jalan licin, berlumpur, dan sulit dilewati kendaraan. Jarak pun hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki 2-4 jam. Selain jalan terjal, licin, dan berkelok, sungai yang mesti diseberangi pun terkadang meluap. Untungnya, sore itu sungai tidak meluap sehingga dia tidak harus jalan memutar.
Menempuh perjalanan menantang juga dialami Herman, guru kelas di SD Negeri Curug II, Kecamatan Cibaliung, Pandeglang, Banten. Sebelum berangkat ke sekolah, dia selalu memastikan mengenakan sepatu bot karet dan membawa golok di ranselnya. Apalagi musim hujan seperti sekarang membuat akses jalan ke sekolah kian sulit. Dengan sepeda motor bebek yang dimodifikasi menyerupai motor trail pun dia kerap terpeleset.
”Karena jalan jelek, saya ganti knalpot empat kali selama dua tahun. Kalau ganti ban motor sering karena batu-batu runcing,” kata Herman. Dia butuh waktu dua jam untuk sampai ke sekolah karena jarak dari rumahnya di Cikeusik lumayan jauh, sekitar 25 kilometer.
”Berat dorong motor di tanah liat. Ini saya tidak perlu ke (tempat) fitness sudah begini,” ujar Herman sambil menunjuk lengan kirinya yang berotot sambil tertawa. Saat musim hujan dan ”air naik”, istilah para guru, baik guru maupun murid terpaksa naik perahu di bendungan menuju ke sekolah.
Motor pun dititipkan di warung. Herman kerap menginap di sekolah saat musim hujan. Jika nekat pulang ke rumah saat hujan, dia kerap harus berlindung di saung di tengah hutan, kebun, atau bukit.
”Kemarin saya baru saja ketemu babi hutan di hutan. Saya diam saja, tidak bergerak, menunggu babi hutan itu lewat dan pergi. Golok tidak bisa jauh-jauh,” kata Herman yang berstatus PNS itu. Kondisi itu membuat guru lain minta dipindahkan. Dia bertahan agar anak didiknya mendapat pendidikan.
Di pedalaman Papua, Kuncahyo adalah salah satu dari 715 guru muda dari Jawa Timur yang khusus didatangkan Gubernur Irian Jaya (saat itu) Izaac Hindom tahun 1985. Mereka disebar ke sejumlah sekolah di pedalaman Papua untuk mendidik anak-anak.
”Saya takut melihat murid-murid. Mereka pun takut melihat saya,” kata Kuncahyo (51), seorang guru, sambil tergelak saat mengisahkan pengalaman pertama kali menginjakkan kaki di Papua untuk menjadi guru sekolah dasar.
Kuncahyo duduk di ruang tamu rumahnya di Nabire, Papua, ditemani Sugeng, sesama guru dari Jatim. Mereka mengenang, tahun 1985 itu, rata-rata baru satu tahun lulus dari sekolah pendidikan guru. Mereka berusia 20-21 tahun.
Kuncahyo masih ingat, suatu hari, di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Jatim, terpampang poster ajakan kepada guru muda untuk pergi ke Irian Jaya. Tawaran itu tidak menarik karena dia punya kesibukan dan penghasilan yang lumayan.
”Gaji guru honorer Rp 4.000 per bulan, ditambah gaji sebagai tukang sablon Rp 15.000 per bulan. Saya juga punya band yang lumayan menambah pemasukan,” ujarnya ketika ditemui Kompas, Senin pertengahan November 2015 silam.
Keadaan berbeda bagi Sugeng yang saat itu menjadi guru honorer di Kabupaten Probolinggo, Jatim, yang belum dimasuki jaringan listrik. Keluarganya juga tidak mampu membiayainya untuk melanjutkan kuliah. ”Tawaran ke Irian adalah kesempatan berharga,” katanya.
Tawaran itu menjadi menarik bagi Kuncahyo ataupun Sugeng, juga sejumlah guru muda lain, karena mereka dijanjikan langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, proses normal menjadi PNS butuh waktu bertahun-tahun. Mereka juga dijanjikan bakal dimutasikan kembali ke Pulau Jawa setelah empat tahun mengabdi. Seingat Sugeng, ada 1.500 orang yang melamar. ”Selama satu hari penuh mengikuti persiapan pengiriman di Gelanggang Olahraga 10 November di Surabaya,” ujar Sugeng.
Di sana, mereka diberi satu koper yang berisi seragam Korps PNS, peralatan memasak, dan sembilan bahan pokok. Di hari itu juga diputuskan, mereka akan dikirim ke Jayapura pada 10 Desember 1985. Satu bulan masa menunggu ternyata membuat ciut nyali sebagian peserta. Sebagian mengundurkan diri.
Bahkan, ada yang nekat melompat dari bus yang membawa mereka ke Bandara Juanda, Surabaya. Jumlah guru yang dikirim tinggal 715 orang. Kecemasan berkurang ketika di atas pesawat mereka diberi surat keputusan calon PNS.
Meskipun begitu, setiba di Jayapura mereka kaget melihat ibu kota provinsi yang sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan. Khusus untuk kelompok terbang Sugeng dan Kuncahyo, beranggotakan 60 orang, dikirim ke Kabupaten Paniai. Sugeng bersama Sutiharsih, yang kelak dinikahinya, ditempatkan di Kecamatan Ilaga di lereng Gunung Cartenz. Kuncahyo dikirim ke Puncak Jaya untuk mengajar di SD Purbalok. Rekan mereka, Endang Sumiartini dan Jasmadi, ke Moanemani.
”Saya sampai pingsan saking kelelahan. Berangkat naik pesawat dari Surabaya ke Jayapura, dilanjutkan dengan penerbangan dengan pesawat kecil ke Moanemani,” ucap Endang. Hal itu belum ditambah kekagetannya melihat penampilan masyarakat setempat dengan busana khas.
Kekagetan itu berubah menjadi semangat karena ada begitu banyak hal yang harus dilakoni. Dia harus mengajak anak-anak bersekolah. ”Yang penting datang dulu ke sekolah. Soal belajar membaca dan menulis, itu urusan belakangan,” ujarnya.
Pendekatan personal ditempuh demi mendekatkan siswa dekat dengan guru. Cara mengajar pun dimodifikasi dengan menggunakan lagu untuk memperkenalkan abjad dan angka. Endang mengenang, masa itu keadaan sulit. Jika kapur tulis habis, ia harus menulis di tanah dengan batang kayu. Untunglah, para siswa tetap bersemangat.
Sebanyak 49 anggota Pagujati menetap di Papua dan menjadi guru. Sugeng kini jadi pengawas SD di Nabire. Kuncahyo adalah Kepala SDN 02 Nabire. Endang dan Nastikah sebagai guru di SD yang sama. Belum banyak perubahan berarti di Papua kini dibandingkan 30 tahun lalu.
Provinsi itu masih kekurangan guru dan penyebaran guru tidak merata. ”Ada orangtua yang berpendapat, percuma menyekolahkan anak. Toh, di sekolah tidak ada guru yang mendidik,” ujar Nastikah.
Di atas kertas, Indonesia kelebihan guru. Namun, nyatanya terdapat sekolah yang kekurangan guru, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Di tempat itu beban guru sangat berat. Tak jarang mereka mengajar dua hingga enam kelas sekaligus. Distribusi guru masih menjadi masalah kronis.
Namun, secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Dipilah lagi berdasarkan laporan kabupaten atau kota, tidak termasuk kabupaten dan kota di Sumatera Utara, daerah yang kekurangan guru mencapai 105 kabupaten/kota, sedangkan 371 kabupaten/kota kelebihan guru. Sebagian kelebihan guru disebabkan keberadaan GTT.
Kekurangan guru kronis terutama terjadi di daerah terpencil, tertinggal, dan terdepan. Bahkan, setelah melibatkan GTT sekalipun, tetap masih terjadi kekurangan guru.
Contohnya, SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam keseharian, guru berstatus PNS, Sarino (32), jadi andalan. Sekolah itu sudah ada sejak akhir tahun 2003 dan sejak itu pula selalu kekurangan guru.
Sarino mengajar siswa kelas I hingga VI seorang diri di satu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 orang terlayani. Dua tahun terakhir, Sarino berhasil mendapatkan Riki Sanjaya (30), yang awalnya bertugas sebagai operator sekolah. Namun, Riki yang dibayar dengan dana bantuan operasional sekolah pun ikut turun tangan mengajar siswa kelas I dan II jika sedang berada di Kampung Caringin.
Beban Sarino jadi sangat berat. Akhir pekan lalu, misalnya, dia mengajar kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. Untuk memudahkan, mata pelajaran sengaja disamakan. Akhir pekan lalu, Sarino mengajar matematika kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. ”Ada beberapa guru yang mencoba mengajar di SDN Caringin, tetapi tidak tahan,” kata Sarino.
Menjangkau SDN Caringin yang memiliki tiga ruang kelas itu tidak mudah. Begitu hujan turun, Kamis (19/11/2015) sore, sepeda motor yang dimodifikasi sekalipun tidak bisa lagi untuk mengakses daerah itu. Jalanan desa menuju kampung yang cukup untuk dilalui sepeda motor penuh lumpur dan licin. Sore itu, dari Kantor Desa Nangela, Riki Sanjaya, harus berjalan kaki sekitar 2 jam dengan medan berbukit dan melintasi sungai. ”Saya setidaknya 2-3 kali seminggu bolak-balik ke sekolah,” ujar Riki.
Kekurangan guru juga terjadi di SDN Sukasari, Kampung Cilampahan, Desa Sumberjaya, Kecamatan Tegalbuleud. Ada dua ruangan kelas tempat belajar sekitar 80 murid sehari-hari. Ruangan pertama dipakai kelas I dan II yang tidak dipisah, serta kelas IV yang dipisah dengan tripleks berlubang. Di ruangan lain siswa kelas III, V, dan VI belajar bersama.
Guru yang berjumlah empat orang ada yang mengajar dua rombongan kelas. Ade Irma, misalnya, ditemui tengah mengajar murid kelas III dan IV sekaligus di ruangan berbeda. Kepala SDN Sukasari Syamsul Hidayat mengatakan, sebenarnya sekolah kekurangan guru. ”Untuk mengangkat guru tidak tetap lagi, kami tidak sanggup membayar,” kata Syamsul.
Lima sekolah yang dikunjungi di tiga kecamatan di Pandeglang, Banten, yakni Kecamatan Cibaliung, Cimanggu, dan Cibitung, kekurangan guru. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar, sekolah dan pemerintah daerah setempat memilih mengangkat guru honor. Ulung Andriani, guru PNS SDN Kutakarang 03, mengaku terbantu oleh keberadaan guru honor. Jika tak ada sukwan, ia harus mengajar di tiga kelas.
Pesawaran, Lampung, pun termasuk kabupaten yang surplus guru, kelebihan 559 guru. Namun, di SDN Kota Dolom, tak jarang guru mengajar rangkap. Irmawati Syah (30), guru SD Negeri 2 Kota Dalom, salah satu sekolah terpencil di Kabupaten Pesawaran, misalnya. Irma yang biasa mengajar Agama Islam harus memberikan materi Bahasa Inggris. Itu karena di sekolahnya belum ada guru khusus bahasa Inggris. Tak jarang, ia juga harus merangkap sebagai guru kelas.
Tak hanya itu, Irma juga harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya di Desa Mergodadi, Kabupaten Pringsewu. Perjalanan dari rumahnya hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor. ”Saya diantar suami setiap pagi. Kami harus melewati dua bukit untuk sampai ke sekolah,” ujarnya.
Di perbatasan pun situasi serupa terjadi. Wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat masih kekurangan guru. Halijah, Kepala SDN 03 Desa Sontas, Entikong menuturkan, di SDN Sontas hanya ada tujuh guru tetap. Padahal, di SDN tersebut ada sembilan kelas karena ada satu kelas dibagi menjadi dua ruangan. ”Wali kelas ada yang merangkap jadi guru bidang studi dan mengajar beberapa kelas,” ujar Halijah. Kondisi kekurangan guru itu terjadi sejak 2006.
Salah satu persoalan tentang guru yang belum terpecahkan adalah guru tidak tetap yang menjadi andalan di hampir semua sekolah negeri, diganjar dengan honor yang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum buruh pabrik. Bertahun-tahun, situasi itu dibiarkan.
Berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah kabupaten/kota hingga provinsi di Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan jenjang pendidikan dasar, ada 636.494 guru tidak tetap. Ketika data jumlah guru tidak tetap dikeluarkan, dari total 476 kabupaten/kota yang ada laporannya, hanya 29 kabupaten/kota yang mengalami surplus guru. Tanpa guru tidak tetap, 450 kabupaten/kota kekurangan guru jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP).
Dalam praktik pendidikan, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan terdepan, kehadiran guru tidak tetap membantu pekerjaan berat membangun pendidikan. Contohnya, kelas jauh SDN Cikiruh, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, Banten. Kepala SDN Cikiruh Wiryo mengatakan, mau tidak mau, harus mengangkat 16 guru sukarelawan, enam di antaranya ditempatkan di kelas jauh.
Jarak 10 kilometer dari sekolah induk ke kelas jauh dengan akses jalan yang sulit, apalagi saat musim hujan, membuat guru pegawai negeri sipil (PNS) tidak mungkin datang mengajar setiap hari. ”Kelas jauh sepenuhnya dikendalikan guru sukarelawan. Guru PNS hanya bisa datang ke kelas jauh seminggu sekali karena jumlah guru PNS cuma lima orang,” kata Wiryo.
Dengan honor Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan yang diterima Suhendi sebagai guru sukarelawan di kelas jauh SDN Kutakarang 03, Kecamatan Cibitung, dia mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan harian. Sebagai pembanding, upah minimum Kabupaten (UMK) Pandeglang tahun 2015 sebesar Rp 1,73 juta per bulan. ”Namun, kalau bukan kami di sini, siapa lagi yang mau mengajar,” kata Suhendi yang bergelar Sarjana Ekonomi.
Untuk menuju ke sekolah, dari ibu kota Kecamatan Cibaliung saja 25 kilometer. Butuh 2,5 jam bersepeda motor menuju sekolah dengan menembus perbukitan serta perkebunan sawit dan jati.
Di SDN Sukasari, Kampung Cilampahan, Desa Sumberjaya, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Eka Puspitasari (25), lulusan SMA, yang menjadi guru tidak tetap sejak 2009, hanya menerima Rp 250.000 per bulan. Dengan honor itu, setiap hari dia harus mengajar kelas I dan II dalam waktu bersamaan karena kurangnya guru. UMK di Sukabumi Rp 1,96 juta per bulan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, guru honorer bekerja sambilan. Ikutinus Ramli (30), guru honorer di SDN 04 Punti Tapau, Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, di perbatasan Indonesia-Malaysia, mencari penghasilan tambahan dengan bercocok tanam sayur. Selain berladang, ia menjadi tukang ojek serta mengantar orang di kampungnya yang akan menjual sayur ke pintu perbatasan di Entikong kota. Sekali mengantar, ia mendapat Rp 15.000.
”Saya menjadi honorer sejak 2010, awalnya digaji Rp 250.000 per bulan. Secara bertahap sekarang gaji saya Rp 850.000 per bulan,” ujar Ramli. Di Sanggau, UMK Rp 1,63 juta per bulan.
Di tengah keterbatasan, guru tidak tetap kerap bekerja sama kerasnya dengan PNS. Guru di SD Inpres Bomomani, Kabupaten Dogiyai, Papua, misalnya, selain mengajar kompetensi SD, mereka mengajar anak untuk hidup bersih, seperti mandi setiap hari, buang air di tempatnya, menyikat gigi, dan melap ingus. Mirip mantri kesehatan. ”Mayoritas orangtua siswa sibuk bertani dan berladang. Keterampilan dasar siswa hanya didapat di sekolah,” ujar Yulianus.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Persatuan Guru Republik Indonesia Mohammad Abduhzen mengatakan, pemerintah harus memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan masalah guru honorer sampai tuntas. ”Yang patut diangkat menjadi PNS, bisa diangkat. Namun, yang tidak bisa diangkat, harus dicarikan solusi lain,” ujarnya.
Ketua Paguyuban Honorer Nusantara Joko Sungkowo mengatakan, honorer yang mengabdi belasan tahun pun kesejahteraannya memprihatinkan. Untuk itulah tenaga honorer guru berjuang menjadi PNS. Selain itu, upah minimum tenaga honorer perlu diatur.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengatakan, ada 23,9 persen guru tidak tetap yang umumnya diangkat sekolah. ”Lewat pendataan di data pokok pendidikan, kondisi guru diketahui jelas. Pengangkatan guru harus berbasis kebutuhan dengan mengacu data itu,” katanya. Untuk kebutuhan guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, Kemdikbud berencana menyebar 3.500 guru calon PNS lewat program Guru Garis Depan.
Di Indonesia yang merupakan negara belum sepenuhnya maju, kepulauan, dan berada di sabuk gunung api, lokasi yang sulit diakses, seperti Caringin dan Cibaliung, barulah segelintir. Itu pun masih di Pulau Jawa. Banyak tempat di Nusantara dengan kondisi geografis sulit.
Di tempat-tempat itulah pentingnya kehadiran guru, terutama guru SD negeri yang ada hingga di pelosok dusun, untuk mendampingi dan mendidik masyarakat. Di bagian timur Indonesia, misalnya, kerja guru di SD Inpres Bomomani, Kabupaten Dogiyai, Papua, tidak hanya mendidik kompetensi pendidikan dasar, tetapi juga perilaku. Contohnya, pentingnya mandi, buang air di tempatnya, cuci tangan, dan menyikat gigi. Di kelas IB, pekan lalu, Yuliana ditemui tengah mengajar seorang siswa cara membuang ingus. Dengan sabar, ia memberi instruksi sambil mencontohkan.
”Harus berkali-kali diberi tahu. Hasilnya tidak terlihat dalam 1-2 bulan, tetapi nanti ketika mereka duduk di kelas IV. Baju mulai rapi, wajah bersih, dan rajin mencuci tangan,” tuturnya. Di ruang kelas tempatnya mengajar, 22 siswa asyik bercanda. Mayoritas tidak berseragam dan tanpa alas kaki. Beberapa siswa mengenakan celana pendek merah dengan atasan kaus. Ada juga yang memakai seragam lusuh karena berhari-hari tidak dicuci.
Di pelosok negeri, situasi tidak mudah. Kerelaan para guru pun tak berbatas. ”Pernah saya ingin pergi, tetapi saya pikir lagi, nanti siapa yang mengajar anak-anak,” kata Sarino.
Di Sukabumi, saat matahari hampir sejajar dengan ubun-ubun, Sarino dan Riki mengakhiri pembelajaran. Murid kelas I hingga VI dikumpulkan dalam satu ruangan. Riki memberi aba-aba dan para murid mulai menyanyikan lagu wajib, kali ini ”Garuda Pancasila”, dengan suara nyaris berteriak.
”...Pancasila dasar negara/ Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/...Ayo maju-maju...!”.Terima kasih untuk guru di dusun, kota, gunung, pantai, dan pulau yang telah mendidik dan menjaga Indonesia.
Laporan Kompas tentang pengabdian guru di pelosok Indonesia yang dimuat di Harian Kompas pada periode November 2015 ini meraih penghargaan jurnalistik Adinegoro 2015 untuk kategori ”indepth reporting”.
Produser: Robert Adhi Kusumaputra, Prasetyo Eko Prihananto | Penulis: Indira Permanasari, Laraswati Ariadne Anwar, Ester Lince Napitupulu, Luki Aulia, Emanuel Edi Saputra, Vina Oktavia, Adrian Fajriansyah, Zulkarnaini, Cornelius Helmy Herlambang, Mohamad Final Daeng | Foto dan Video: Lasti Kurnia, Yuniadhi Agung, Lucky Pransiska | Desainer & Pengembang: Pandu Lazuardy, Reza Fikri Aulia, Yosef Yudha Wijaya
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.