Kompas/Hendra A Setyawan

Wartawan Desk Metro Kompas melakukan penyusuran Kali Pesanggrahan, Rabu (24/8/2016). Di sepanjang bantaran kali, banyak ditemukan pohon-pohon besar yang berusia puluhan tahun seperti di Pondok Pinang, Jakarta Selatan.

Kompas/Priyombodo

Pembangunan gedung komersial di dekat Kali Pesanggrahan, Cipulir, Jakarta Selatan, Minggu (16/2/2014). Pembangunan gedung itu sangat bertolak belakang dengan upaya pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berupaya melakukan normalisasi kali di Jakarta untuk mengatasi banjir.

Kompas/Hendra A Setyawan

Petugas Unit Pengelola Kebersihan Badan Air, Taman dan Jalur Hijau Dinas Kebersihan DKI Jakarta membersihkan sampah di pertemuan sodetan Kali Grogol dengan Kali Pesanggrahan, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Rabu (1/6/2016).

Kompas/Pryiyombodo

Sejumlah anak bermain layang-layang di atas tumpukan tiang pancang untuk normalisasi kali di bantaran Kali Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (3/6/2015).

Kompas/Hendra A Setyawan

Kondisi Kali Pesanggrahan setelah dinormalisasi di kawasan Ulujami, Jakarta Selatan, Minggu (24/4/2016).

Membangun Peradaban di Tepi Pesanggrahan

Nasib 13 sungai di Jakarta sungguh memprihatinkan. Ia menjadi tempat sampah terpanjang di dunia. Bantarannya diokupasi. Sungai "membalas" dengan membanjiri permukiman warga. Namun, sedikit demi sedikit, Jakarta berusaha mengembalikan fungsi sungainya.

Ketika duduk di bangku sekolah, sebagian dari kita belajar bahwa pusat-pusat peradaban dunia berada di lembah sungai. Warga dari kota-kota dunia itu hidup dan dihidupi oleh sungai-sungai besar yang berkelok-kelok hingga ratusan bahkan ribuan kilometer.

Pelajari saja tumbuh dan berkembangnya peradaban Mesir Kuno di tepian Sungai Nil, peradaban Mesopotamia di antara Sungai Tigris dan Efrat, peradaban Tiongkok di lembah Sungai Kuning, hingga peradaban Harrapa di Lembah Sungai Indus.

Para arkeolog kemudian berhasil mengungkap lanskap kota-kota Harrapa yang didesain dengan sangat teratur, bahkan telah dilengkapi saluran air bawah tanah. Padahal, peradaban Harrapa tumbuh kira-kira 3.000 tahun sebelum Masehi alias lebih dari 5.000 tahun lalu!

Nah, selama Kompas menyusuri Kali Pesanggrahan pada bulan Juli 2016, tidak pelak lagi timbul sebuah pertanyaan besar. Peradaban apa yang dulu, kini, dan akan kita bangun di tepi Kali Pesanggrahan?

Apakah kemudian tata kota yang didesain di tepian Kali Pesanggrahan sanggup membuat kita dan anak-cucu kita kelak bangga? Apakah bangunan yang dibangun di daerah aliran Kali Pesanggrahan telah memperlihatkan tingginya peradaban kita?

Ternyata tidak. Setidaknya belum terlihat peradaban yang unggul yang harusnya dapat dibangun oleh manusia di abad ini. Belum tampak redesain tata kota yang memuliakan sungai. Contoh sederhananya, rumah-rumah di tepi Kali Pesanggrahan kini masih membelakangi sungai tersebut.

Kali Pesanggrahan, dan warga masyarakat yang berdiam di tepi kali tersebut, ternyata justru saling ”melukai”. Warga di tepi Pesanggrahan cenderung ”melukai” daerah aliran Kali Pesanggrahan, dan di sisi lain Kali Pesanggrahan membalasnya dengan ”membanjiri” warga.

”Mengamati” Kali Pesanggrahan dari arsip Kompas, ternyata tidak banyak artikel yang dapat dibaca pada tahun 1960-1970-an, pada periode-periode awal harian ini melayani pembaca.

Kali Pesanggrahan jelas tidak seutama sungai-sungai utama di negeri ini, seperti Sungai Bengawan Solo, Sungai Brantas, Sungai Citarum, Sungai Musi, Sungai Kapuas, dan Sungai Memberamo. Kali Pesanggrahan juga ”hanya” mengular sepanjang 66,7 kilometer.

Wartawan Kompas di masa silam jelas lebih banyak memberitakan sungai-sungai utama, khususnya yang menyuplai bahan baku air untuk irigasi. Republik kita pada awal pemerintahan Orde Baru memang masih mengandalkan sektor pertanian.

Mengeringnya sungai utama selalu diwaspadai karena dapat berdampak penurunan produksi pertanian sehingga wartawan dari waktu ke waktu seolah selalu memperhatikan ketinggian muka air sungai utama itu.

Ketika debit air sungai utama atau bendungan berkurang, Kompas pasti langsung memberitakannya. Ketika debit air Bengawan Solo berkurang misalnya, Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri pasti kewalahan melayani kebutuhan air irigasi. Demikian pula ketika volume air Sungai Citarum berkurang, produksi PLTA Waduk Jatiluhur takkan optimal.

Dulu, Kali Pesanggrahan jarang ”disentuh” oleh pemberitaan karena penduduk Jakarta belum mengekspansi wilayah-wilayah pinggiran. Kalau Kali Pesanggrahan mengamuk pun tidak berdampak terlalu buruk bagi warga.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Pesanggrahan jelas belum sepadat sekarang. Kawasan Cinere, misalnya, dulu didominasi oleh kawasan hijau berupa ladang atau kebun milik warga. Permukiman ketika itu juga belum tumbuh di sana-sini.

Tentu saja, Kali Pesanggrahan sudah meluap sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya meluap ketika hujan lebat, tetapi juga saat mendapatkan ”kiriman” air dari hulu sungai. Bahkan, di beberapa titik, Kali Pesanggrahan juga meluap hingga puluhan meter ke kiri dan kanan alur utama kali hingga menyerupai danau besar.

Namun, beberapa puluh tahun silam, belum banyak permukiman yang dibangun di tepian Kali Pesanggrahan. Jadi, ketika Kali Pesanggrahan meluap, tidak banyak permukiman yang tergenang. Tidak ada penduduk yang ”menjerit”.

Atas dasar itu, Kementerian Pekerjaan Umum justru ”membuang” air dari Kali Grogol ke Kali Pesanggrahan. Kementerian PU pada tahun 1970-an membangun saluran sodetan sepanjang 1,5 kilometer dengan kapasitas 65 meter kubik per detik menuju Kali Pesanggrahan.

Kali Pesanggrahan menjadi tempat ”buangan” demi menyelamatkan daerah Senayan, Slipi, Palmerah, Tomang, Grogol, dan Teluk Gong dari genangan air. Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin mengatakan, biaya pembangunan saluran sodetan itu mencapai Rp 162 juta, setara pembangunan 16 unit gedung sekolah.

”Jika baru ada satu tiang rumah yang mulai ditegakkan di aliran sungai ini, cepat-cepat dibongkar. Sikat, jangan tunggu sampai banyak. Ini demi kemanusiaan juga,” kata Ali Sadikin (Kompas, 17 April 1973).

Mengokupasi Kali

Mirisnya, lambat laun warga justru mengokupasi bantaran kali, makin mendekati poros Kali Pesanggrahan. Warga bahkan menduduki floodplain alias daratan banjir Kali Pesanggrahan sehingga penampang kali makin menyempit.

Yang memprihatinkan, warga membangun rumah saat musim kemarau, saat debit Kali Pesanggrahan di titik terendah. Jadi, warga sempat berasumsi Kali Pesanggrahan jinak-jinak saja meski situasinya berubah 180 derajat saat banjir kiriman tiba dari Bogor.

Kira-kira awal tahun 1980-an, Kali Pesanggrahan mulai mendapatkan sorotan setelah membanjiri pemakaman Tanah Kusir. Ini bukan makam sembarang makam sebab pemakaman yang dibangun tahun 1968 itu sempat disebut sebagai taman pemakaman umum terbaik di Ibu Kota.

Bung Hatta, Muhammad Roem, Hamka, dan para tokoh bangsa lain juga dimakamkan di Tanah Kusir. Di awal tahun 1980-an itu, di musim kemarau, Tanah Kusir juga sangat sibuk karena dalam sehari dapat dimakamkan 20-30 orang, terutama anak-anak karena penyakit muntaber.

Pada Kompas, 1 Oktober 1984, terungkap bahwa tergenangnya TPU Tanah Kusir baru terjadi setelah makin banyak permukiman di tepi Kali Pesanggrahan. Di daerah batas TPU Tanah Kusir misalnya, ketika itu terdeteksi banyak bangunan baru yang dibangun hingga tepi kali.

Akibat pembangunan di masa silam yang tidak dikendalikan, lebar sungai yang tadinya 20-30 meter menyempit menjadi hanya 5 meter. Penyempitan itu juga tidak pernah dikontrol oleh lembaga pemerintah atau kementerian mana pun.

Kompas/Wawan H Prabowo

Warga memancing di kompleks pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan, yang tergenang luapan Kali Pesanggrahan, Rabu (5/12/2012). Sebelum dinormalisasi, saat musim penghujan, kawasan itu menjadi rawa yang dimanfaatkan warga untuk mencari ikan.

Kompas/Prasetyo Eko Prihananto

Ratusan rumah di Perumahan Cirendeu Permai, Ciputat, Tangerang Selatan, terendam banjir setinggi hingga hampir dua meter akibat meluapnya Kali Pesanggrahan, Kamis (22/11/2012). Petugas dari BPBD Tangsel berusaha mengevakuasi warga dengan menggunakan perahu karet.

Kompas/Lasti Kurnia

Seorang pemulung mengais sampah yang terbakar di tempat pembuangan sampah di bantaran Kali Pesanggrahan, Kompleks Deplu, Kelurahan Bintaro, Jakarta, Selasa (8/7/2008). Sejak lama sungai di Jakarta dijadikan tempat sampah.

”Sebenarnya, Kali Pesanggrahan itu kecil dan tidak begitu dalam, hanya sekitar 3 meter. Tetapi, kalau ada banjir kiriman dari Bogor, kali kecil selebar itu akan meluap dan akan menghabisi semua yang ada di sekitarnya. Seharusnya sejak dulu di sekitar kali jangan diizinkan adanya perumahan,” kata petugas pengawas pintu air Manggarai, Jakarta, M Subur (Kompas, Minggu, 9 Januari 1994).

Tahun itu, Kompas juga telah mengamati banjir di kompleks IKPN dan Deplu disebabkan kedua kompleks perumahan itu dibangun di titik terendah dari lembah Kali Pesanggrahan. Namun, kompleks itu tidak juga direlokasi sehingga terus-menerus menjadi pemberitaan terkait banjir selama puluhan tahun.

Demi mencegah luapan Kali Pesanggrahan, dulu pernah diwacanakan pembangunan bendungan di Cinere dan Limo. Diproyeksikan daerah rawan banjir seperti Bintaro, Cipulir, Ulujami, dan Kembangan akan terbebas dari genangan air.

Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum pada Januari 1999 menyatakan, terdapat lokasi di lembah Sungai Pesanggrahan yang layak dibangun bendungan. Daerah itu adalah di Desa Cinere dengan luas 15 hektar dan Desa Limo seluas 122 hektar.

Andai saja bendungan Desa Limo terbangun, di hulu Kali Pesanggrahan terdapat bendungan dengan luas lahan 1,5 kali lipat dari Taman Silang Monas. Ketika banjir kiriman tiba, banjir itu dapat ditahan di hulu.

Namun, hingga kini tidak ada satu pun bendungan pengendali banjir yang dibangun di Daerah Aliran Kali Pesanggrahan. Tidak heran apabila masyarakat di tepian Kali Pesanggrahan harus bertahan sendiri terhadap potensi banjir Pesanggrahan tanpa harus berlindung di balik bendungan. Warga di tepi Kali Pesanggrahan harus menyesuaikan diri dengan perilaku kali tersebut.

Menjaga Daerah Aliran Sungai

Sayangnya, sebagian besar masyarakat abai terhadap kali, terbiasa ”membelakangi” kali, atau bahkan mengotori Kali Pesanggrahan. Akibatnya, tindakan seseorang yang sebenarnya biasa-biasa saja akhirnya menjadi luar biasa ketika dikontekskan dengan Kali Pesanggrahan.

Chaerudin, jawara Hutan Kota Sanggabuana Pesanggrahan, adalah salah satu tokoh yang akhirnya dinilai luar biasa berjasa bagi Pesanggrahan. Harian Kompas edisi Rabu, 31 Agustus 2016, pun menurunkan kisah Chaerudin dalam artikel berjudul ”Kisah Para Jawara Penjaga Kali”.

Padahal, kira-kira pada awal tahun 1980-an, Chaerudin memulai persinggungannya dengan Kali Pesanggrahan hanya dengan memilah sampah dari kali tersebut. Sampah yang punya nilai jual dilegonya, sedangkan sisa-sisa sampah dibakar.

Setelah itu, bantaran kali sedikit demi sedikit mulai ditanami oleh Chaerudin. Warga sekitar Hutan Kota Sanggabuana berhasil diyakinkan untuk mendirikan bangunan menjauh dari Kali Pesanggrahan. Sejengkal demi sejengkal tanah di Kali Pesanggrahan akhirnya mulai menghijau, bahkan kemudian mencapai luasan 130-an hektar.

Nah, apa yang luar biasa dari aktivitas memilah sampah? Para pemulung juga terbiasa memilah sampah. Bagaimana dengan menanam pohon? Tiap hari, para petani juga menanam pohon. Sekali lagi, aksi Chaerudin menjadi luar biasa karena begitu kontras dengan abainya warga lain terhadap Kali Pesanggrahan.

Cara pandang kita yang melihat Chaerudin alias Bang Idin sebagai sebuah anomali di tepi Pesanggrahan, setara dengan cara pandang kita terhadap langkah Mardi Siswinarko (53) alias Singo, warga Cinere, Kota Depok, yang terlihat ”aneh” hanya karena kerap membersihkan sungai.

Apa yang luar biasa dari seseorang yang menjaga kebersihan sungai? Mengapa langkah Mas Singo menjadi luar biasa? Ya, ternyata, sebagian warga malah menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.

Kompas/Johanes Galuh Bimantoro

Pelopor Sanggabuana Chaerudin sedang memperhatikan bambu-bambu yang berfungsi sebagai tanggul alami di Kali Pesanggrahan, di Hutan Kota Pesanggrahan Sanggabuana, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Minggu (3/8/2014).

Kompas/Wisnu Widiantoro

Warga menikmati keteduhan taman di Hutan Kota Pesanggrahan Sanggabuana, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2013). Hutan kota yang berada di tepi Kali Pesanggrahan ini menjadi arena rekreasi murah bagi warga.

Kompas/Lasti Kurnia

Pelajar SMP dan SMA mengikuti kegiatan pengujian kualitas air Kali Pesanggrahan yang melalui kawasan Hutan Kota Srengseng, Jakarta, Minggu (5/6/2011). Kegiatan yang diselenggarakan Green Radio itu untuk meningkatkan kepedulian pelajar pada sungai.

Ketika upaya menjaga sungai seharusnya menjadi budaya warga di tepi kali, yang terjadi di negeri ini adalah hal sebaliknya. Justru warga tepian kali yang mendegradasi kali itu sendiri. Aliran sungai di berbagai negara adalah sumber kehidupan, tetapi di negeri ini justru menjadi ”tempat sampah”.

Langkah Bang Idin dan Mas Singo adalah bentuk dari partisipasi warga dalam menjaga kali. Sebuah partisipasi yang terbilang langka terutama karena inisiatif untuk berkegiatan menjaga kali datang dari motivasi internal dari dalam diri mereka sendiri. Partisipasi warga semacam itu yang harus terus ditumbuhkan.

Tentu saja, untuk menumbuhkan partisipasi warga tidak mudah meski tidak mustahil. Pemerintah tentu saja harus berdiri paling depan dengan sumber daya dan ketersediaan dana meski tetap dapat merangkul tokoh seperti Bang Idin dan Mas Singo sebagai tokoh-tokoh yang dapat menginspirasi warga.

Di negara-negara maju, pemerintah juga memfasilitasi warga hilir untuk sesekali berkunjung ke hulu atau sebaliknya warga hulu dibiayai untuk berkunjung ke hilir. Jadi, warga hulu dapat memahami, ketika mereka mengotori sungai, warga di hilir akan berhadapan antara lain dengan wabah penyakit atau bencana banjir.

Di sisi lain, di negara-negara maju dapat saja warga hilir yang biasanya lebih maju dari sisi perekonomian memberikan bantuan kepada warga hulu atas kesediaan warga hulu menjaga lingkungan.

Dalam konteks Pesanggrahan, dapat saja warga Kecamatan Kembangan Utara atau Kedoya Selatan menyumbang bibit tanaman untuk warga Cinere, untuk Bang Idin, misalnya. Dapat saja, setahun sekali warga di hilir Pesanggrahan bertandang ke Hutan Kota Sanggabuana untuk menanami bantaran kali.

Meski tidak mudah untuk dilakukan, komunikasi warga hulu-hilir sangat penting di samping komunikasi antarwarga di suatu area di tepi sungai. Terlebih lagi, salah satu metode terbaik untuk menjaga kali adalah dengan melihat suatu daerah aliran sungai sebagai satu kesatuan.

Ketika warga telah terbiasa untuk membicarakan hal ihwal kali, lebih mudah bagi pemerintah ketika berencana membenahi daerah aliran sungai. Membicarakan penanganan kali, dengan demikian, tidak sekadar membicarakan infrastruktur.

Menumbuhkan Partisipasi Warga

Meski demikian, tetap harus diapresiasi langkah Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane yang telah menormalisasi Kali Pesanggrahan sepanjang 26,7 kilometer dari total panjang Kali Pesanggrahan sepanjang 66,7 kilometer.

Sejak tahun 2014 hingga akhir tahun 2015, badan sungai telah dinormalisasi selebar 20-30 meter meski di sana-sini terdapat penyempitan badan sungai hingga 5 meter karena diduduki warga.

”Sebelum PU mengeruk kali, paling dua kali lompat sudah sampai ke seberang Kali Pesanggrahan. Tetapi, kalau ada banjir kiriman, waduh airnya sampai ke mana-mana,” kata pengelola Kampung Main Cipulir, Muhammad Hazli.

Kementerian Pekerjaan Umum juga bergerak cepat untuk membeton dinding sungai kemudian melengkapinya dengan jalan inspeksi. Inilah intervensi PU bagi Pesanggrahan. Di beberapa lokasi seperti Kecamatan Pesanggrahan, jalan inspeksi yang baru sepenggal bahkan telah digunakan untuk jalan permukiman.

Di selatan Jalan Pos Pengumben, ada sepenggal jalan inspeksi yang dimanfaatkan warga untuk jalan-jalan sore atau sekadar naik sepeda santai. Meski sayangnya, jalan inspeksi yang berlokasi di belakang Apartemen Puri Park View di Jakarta Barat justru digunakan untuk parkir mobil.

Nah, bagi Suyadi, warga Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, betonisasi jelas langkah terbaik bagi dirinya.

”Saya tidak lagi kebanjiran,” ujar Suyadi yang berasal dari Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Mendiami bantaran Kali Pesanggrahan sejak tahun 1980, Suyadi mengaku baru bebas banjir pada era pemerintahan Joko Widodo setelah ada betonisasi.

Meski demikian, karena betonisasi belum dilakukan di sepanjang kali, ada kawasan yang menang dan ada yang kalah. Karena betonisasi di Kelurahan Ulujami baru di sisi barat kali, ketika debit air naik, kawasan di timur kali yang kini tergenang.

Ketika ada tepi sungai di hulu yang lebih dulu dibeton, air mengalir lebih cepat ke hilir sungai sehingga menggenangi kawasan tertentu di hilir sungai yang belum dibeton. Air memang selalu mencari jalannya sendiri.

Normalisasi dan betonisasi sepintas tampak sebagai solusi untuk membenahi kali-kali di Jakarta dan sekitarnya. Walau demikian, ada pula warga seperti Bang Idin yang menolak mentah-mentah betonisasi. Dia beralasan biarlah bantaran Kali Pesanggrahan di Cinere dikelola sealami mungkin.

Babe Idin juga menginginkan bantaran Kali Pesanggrahan tetap asri dan tidak ada satu pohon pun yang harus ditebang demi betonisasi. Ketika rumpun-rumpun bambu tetap berdiri, dia yakin mata-mata air di tepi Kali Pesanggrahan tetap akan menyumbangkan air bersih bagi warga sekitar.

Meski demikian, yang terbaik adalah tetap melibatkan masyarakat untuk pengambilan keputusan terkait pembangunan apa pun di tepi Kali Pesanggrahan. Tidak bisa sebuah kebijakan dipukul rata dan diduplikasi begitu saja sebab barangkali ada satu lokasi di mana hanya normalisasi dan betonisasi yang dapat menyelamatkan masyarakat setempat.

Barangkali, ada pula sekelompok warga yang terlalu keras kepala untuk menjauh dari Kali Pesanggrahan. Dan, normalisasi serta betonisasi hanyalah satu-satunya jalan untuk membuat ”jarak” antara permukiman dan badan kali. Siapa yang tahu?

Apa pun, yang terpenting warga masyarakat diberi kesempatan untuk memutuskan nasib mereka sendiri. Ketika warga masyarakat sudah mengambil pilihan, masyarakat juga harus berani mempertanggungjawabkan pilihan mereka sendiri.

Mengintervensi sungai tentu tidak salah, tetapi ”meminggirkan” masyarakat dalam pengelolaan sungai jelas sebuah kesalahan.

Masyarakat tidak boleh hanya dibiarkan selalu menjadi penonton. Jika hanya menjadi penonton, bagaimana masyarakat dapat mengambil peranan positif dalam membangun peradaban di tepi Kali Pesanggrahan?

Kerabat Kerja

Penulis Utama: Haryo Damardono | Penulis Pendamping: Neli Triana, Harry Susilo, Ratih P Sudarsono | Fotografer/Videografer: Hendra A Setyawan, Prasetyo Eko Prihananto, Wawan H Prabowo, Haryo Damardono, Priyombodo, Lasti Kurnia, Johanes Galuh Bimantoro, Wisnu Widiantoro | Infografik: Andri, Pandu Lazuardy | Desainer & Pengembang: Yosef Yudha Wijaya, Rafni Amanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.

© PT Kompas Media Nusantara