Bagikan melalui:

icon burger

Memuat Halaman

Setelah mengawal jalannya kekuasaan selama 40 tahun, komik Panji Koming berhenti terbit di Kompas Minggu pada 18 Agustus 2019. Sempat vakum hampir dua tahun, Panji Koming akan kembali hadir di Kompas Minggu dengan sedikit perubahan.

Putar Video

Gunakan headphone atau speaker untuk pengalaman yang lebih baik

Apa Kabar Panji Koming?

Komik Panji Koming hadir rutin setiap hari Minggu di harian Kompas sejak 14 Oktober 1979. Komik yang bertumbuh di era rezim Orde Baru ini dalam perjalanannya melekat istimewa di hati khalayak luas.

Ketika Orde Baru sedemikian represif, kritik serta upaya kontrol dari pers terhadap kekuasaan menjadi terseok-seok. Di situlah komik Panji Koming menjelma menjadi salah satu instrumen kritik terhadap penguasa. Namun, dengan cara yang jenaka dan subtil.

Sebagai komik editorial, Panji Koming cenderung menyentuh permasalahan bidang sosial politik. Ia bisa dikatakan bentuk lain dari rubrik Opini di harian Kompas. Sejak pertama kali terbit, Panji Koming secara kritis melontarkan opini redaksional, terutama yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pandangan dan perilaku-perilaku para petinggi negara, serta arogansi aparat militer.

Selama Orde Baru, penerbitan berita atau opini yang berbau kritik terhadap pemerintah dan jajarannya selalu dihantui pembredelan atau pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Panji Koming dinilai bisa mewakili fungsi pokok pers yang diembannya, dalam artian tetap kritis, kreatif, serta mampu menyamarkan kondisi aktual ke dalam permainan bentuk-bentuk metafora.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami maknanya, diperlukan pengetahuan yang sesuai dengan konteks situasional, semacam kejelian dalam mencerna bentuk komunikasi high context.

Komik Panji Koming 1.0 berhenti terbit di Kompas Minggu seiring berpulangnya sang kreator Dwi Koendoro Brotoatmojo atau yang lebih akrab disapa Dwi Koendoro pada 22 Agustus 2019. Dwi Koendoro lahir di Banjar, Jawa Barat, pada 13 Mei 1941. Ia menempuh pendidikan SD hingga SMP di kota kelahirannya tersebut.

Dwi kemudian menamatkan SMA di Surabaya, Jawa Timur, pada tahun 1958. Dari Surabaya, ia berniat mengasah talenta di bidang menggambar. Dwi lalu memutuskan untuk melanjutkan studi di jurusan seni lukis Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta. Merasa kurang tetap di sana, Dwi Koendoro muda pindah ke jurusan ilustrasi grafik di institusi yang sama.

Adapun perkenalan Dwi Koendoro dengan Kompas Gramedia bermula pada 1976 saat bergabung dan diangkat sebagai karyawan tetap PT Gramedia Film. Di tengah kesibukan di Gramedia Film, pada 1978 Dwi Koendoro mencoba menawarkan komik di Kompas Minggu.

Awalnya, konsep komik yang ia tawarkan hanya sekadar gag cartoon. GM Sudarta kemudian menyarankan agar kartunnya itu diberi muatan kritik agar lebih berbobot. Pada akhirnya, Panji Koming muncul pertama kali di Kompas Minggu pada 14 Oktober 1979.

Dwi Koendoro mempersunting Cik Dewasih. Pasangan ini dikarunia tiga putra, yaitu Wahyu Ichwandardi yang lahir tahun 1969, Waluyo IchwandiarDono (1971), dan Alfi Ichwanditio (1973). Ketiga putra Dwi Koen itu dalam beberapa kesempatan turut membantu mencetuskan ide cerita dan terkadang memberi kritik dan saran terhadap tampilan Panji Koming.

stack img
stack img
stack img
stack img

Kerajaan Majapahit

Kisah komik Panji Koming berlatar masa kerajaan Majapahit. Melalui epos kerajaan, Dwi Koendoro bermaksud menghadirkan karakter kerakyatan untuk merespons peristiwa saat ini. Adapun kerajaan Majapahit dipilih sebagai latar cerita karena di pengujung era keemasannya, keadaan di sana serba kacau dan penuh intrik politik. Situasi tersebut dinilai persis seperti era Orde Baru.

stack img

${ item.title }

${ item.caption }

Kisah komik Panji Koming berlatar masa Kerajaan Majapahit. Melalui epos kerajaan, Dwi Koendoro bermaksud menghadirkan karakter kerakyatan untuk merespons peristiwa saat ini. Adapun Kerajaan Majapahit dipilih sebagai latar cerita karena di pengujung era keemasannya, keadaan di sana serba kacau dan penuh intrik politik. Situasi tersebut dinilai persis seperti era Orde Baru.

Kendati Panji Koming mengambil era Kerajaan Majapahit, Dwi Koendoro selalu berupaya mengulas persoalan-persoalan kontekstual bangsa secara tajam. Kepiawaian Dwi Koendoro meracik cerita terlihat dari caranya membangun latar peristiwa pada masa Kerajaan Majapahit yang dikaitkan dengan konteks kiwari sehingga terasa tetap relevan.

Melalui Panji Koming, Dwi Koendoro membuat analogi visual yang memperbandingkan isi cerita dengan situasi pemerintahan Indonesia masa Orde Baru. Dwi Koendoro mencoba mengangkat tindakan-tindakan yang dianggap amoral, menyindir perilaku yang tidak manusiawi, kebijakan pemerintah yang otoriter, ingin menang sendiri, dan kurang memperhatikan nasib rakyat. Cara menyampaikan kritik seperti itu membuat beberapa akademisi tertarik membuat penelitian mengenai komik Panji Koming.

ads hut kompas ads hut kompas

Karakter Panji Koming

characters

${ item.title }

${ item.desc }

arrow left
arrow right

Latar peristiwa komik karya Dwi Koendoro itu dilengkapi karakter spesifik, seperti Panji Koming, Pailul, Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, Denmas Ariakendor, Bujel dan Trinil, Empu Randubantal, dan Kirik. Tokoh Panji Koming sendiri adalah keturunan abdi raja-raja Majapahit sejak Raden Wijaya. Ia merepresentasikan rakyat kebanyakan yang berpendidikan rendah, miskin, dan terus-menerus dikibuli.

Wiediantoro, rekan kerja Dwi Koendoro saat bekerja di Gramedia Film, mengungkapkan, karakter komik Panji Koming diciptakan Dwi Koendoro berdasarkan karakter teman-teman kerjanya di Gramedia Film. ”Saya sebagai Panji Koming, Didit Aditya sebagai Pailul, Ace Amir sebagai Woro Ciblon, Zuliaasri Usman sebagai Dyah Gembili, dan Bambang Pamungkas sebagai Bujel. Teman-teman inilah yang menginspirasi Dwi Koen membuat tokoh-tokoh di Panji Koming,” ujar Wiediantoro.

Lahir Kembali

Ketiga putra Dwi Koendoro, yakni Wahyu ”Pinot”, Waluyo IchwandiarDono, dan Alfi Ichwanditio menjadi arsitek kelahiran Panji Koming 2.0.

figures

Pinot adalah putra sulung Dwi Koendoro, ia menamatkan pendidikan tinggi di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Pinot yang juga seorang animator sedari remaja turut membantu ayahnya menggarap Panji Koming. Pria kelahiran Surabaya, 29 Oktober 1969, itu kini menetap di New York, Amerika Serikat, setelah direkrut oleh perusahaan agensi digital bernama VaynerMedia. Ketiga bersaudara itu akan saling bahu-membahu menghidupkan kembali Panji Koming tanpa mengubah pijakan dasar yang telah ditanamkan Dwi Koendoro.

Namun, Pinot mengungkapkan, akan ada penambahan satu karakter baru di Panji Koming kali ini. Kendati dilabeli baru, karakter baru itu sejatinya pernah dimunculkan sekali oleh Dwi Koendoro pada tahun 1985.

Selain satu karakter baru tersebut, Pinot tak menutup kemungkinan akan kembali memunculkan karakter-karakter baru karena perancangan dan pembangunan alur cerita dibuat secair mungkin. Tergantung situasi ke depan.

”Kami tetap melanjutkan tradisi bapak. Menyentil dengan cara halus, tapi dibungkus dengan konteks kekinian. Bagaimana agar orang itu kesentil, tapi tetap bisa tersenyum,” kata Pinot.

Salah satu hal baru yang bisa ditemukan dalam Panji Koming kali ini adalah menyangkut kemampuan melakukan perjalanan menembus ruang dan waktu. Itu dimungkinkan dengan bantuan dupa ajaib milik Empu Randubantal.

Dengan begitu, alur cerita Panji Koming tidak hanya linier berbicara mengenai kehidupan atau latar pada masa Kerajaan Majapahit, tetapi juga masa depan di abad ke-21. Karena itu pula, selain satu tokoh baru yang akan dimunculkan nanti, ada pula tokoh Panji Koming dan Pailul semasa mereka kanak-kanak.

Kelahiran kembali komik Panji Koming 2.0 garapan anak-anak Dwi Koendoro ini juga akan mereka gunakan untuk memperkenalkan sekaligus memperkuat kembali Semesta Hwarakadah yang sebelumnya tidak pernah dipublikasikan secara formal oleh Dwi Koendoro. Semesta Hwarakadah berisi gugusan karakter komik karya-karya Dwi Koendoro, termasuk Panji Koming dan Sawung Kampret.

Waluyo IchwandiarDono menjelaskan, hwarakadah adalah kata serapan dari Jawa Timur dan Madura. Hwarakadah beberapa kali masuk ke dialog Panji Koming. Menurut Dono, hwarakadah sering mengekspresikan keterkejutan atau ketidakpercayaan akan sesuatu. Selain hwarakadah, Dwi Koendoro juga gemar memasukkan istilah rekaannya sendiri seperti asamalakata.

”Hwarakadah jadi nama universe (semesta) karena paling kuat dan nyantol,” kata Dono.

Panji Koming karya ketiga putra Dwi Koendoro mulai terbit pada 27 Juni 2021. Menarik ditunggu bagaimana kelanjutan cerita Panji Koming dengan nuansa, alur cerita, dan tokoh baru, tetapi dengan pakem yang sama seperti dulu.

Kerabat Kerja
Penulis : I Gusti Agung Bagus Angga Putra |  Produser : Sarie Febriane, Septa Inigopatria, Pandu Lazuardy P, Reza Fikri Aulia | Desainer : Desak Made Melinda, Dani Surya Wijaya | Pengembang : Hanasya Shabrina, Naomi Aryati Putri, Rino Dwi Cahyo, Deny Ramanda | Penyelaras bahasa : FX Sukoto | DK Studio: Wahyu “Pinot” Ichwandardi, Waluyo IchwandiarDono, dan Alfi Ichwanditio

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.

© PT Kompas Media Nusantara

Apa Kabar Panji Koming?

Video
Apa Kabar Panji Koming?
Galeri Panji Koming
Kerajaan Majapahit
Karakter Panji Koming
Lahir Kembali
Please use potrait