Melacak Harta Karun Wallacea
Melacak Harta Karun Wallacea
Tidak banyak yang tahu sosok Alfred Russel Wallace. Padahal, selain Charles Darwin, Wallace termasuk pionir teori evolusi. Ide dan teori Wallace lahir dari penjelajahannya di Nusantara selama 1854-1862 yang kemudian terangkum dalam buku The Malay Archipelago. Buku itu berisi pengamatannya terhadap flora, fauna, dan manusia di Nusantara.
S iapakah Alfred Russel Wallace? Tidak banyak yang tahu sosok pria kelahiran Inggris, 8 Januari 1823 ini. Bicara soal teori evolusi, nama Charles Darwin lebih kesohor ketimbang Wallace. Padahal, tak hanya Darwin, Wallace juga termasuk pionir teori evolusi.
Baik Darwin maupun Wallace hidup di masa yang sama. Keduanya sering berkorespondensi tentang temuan dan ide masing-masing mengenai seleksi alam. Darwin menjadi ternama dengan bukunya berjudul On the Origin of Species yang terbit pada tahun 1859 atau setahun setelah ia menerima surat dari Wallace. Surat itu, sebenarnya lebih tepat disebut artikel, berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type”.
Dalam surat itu, Wallace menyinggung bahwa inti teori evolusi adalah individu yang kuat akan mampu bertahan, sementara yang lemah akan punah. Pemikiran Wallace disebut-sebut membuat Darwin terperangah sehingga harus terburu-buru menerbitkan On The Origin of The Species. Bagi sebagian kalangan, Wallace adalah peletak dasar teori evolusi.
Tak banyak yang tahu bahwa ide dan teori Wallace itu lahir dari perjalanannya di Nusantara selama periode 1854-1862. Teori itu ia susun saat ia menderita demam di Ternate, Maluku Utara, kini, sebuah tempat yang ia tinggali selama empat tahun. Pada Februari 1858, ia menulis surat itu yang kemudian dikirimkannya kepada Darwin yang berada di London, Inggris.
Kembali ke kampung halamannya di Inggris pada 1862, Wallace menerbitkan hasil perjalanannya di Nusantara pada 1869 lewat buku berjudul The Malay Archipelago. Buku fenomenal itu berisi rincian pengamatannya terhadap berbagai jenis flora dan fauna di Nusantara. Tak hanya itu, ia juga mendeskripsikan keberagaman manusia Nusantara.
Wallace dikenal terutama untuk studi tentang zoogeografi, termasuk penemuan dan penjelasan tentang diskontinuitas fauna. ”The Wallace Line” atau garis imajiner Wallace membentang antara Pulau Bali dan Lombok serta Kalimantan dan Sulawesi, dan menandai batas-batas timur terjauh spesies hewan Asia, dan sebaliknya batas-batas barat terjauh binatang Australia.
Bagaimana kini?
Tahun ini adalah 150 tahun karya fenomenal Wallace yang ia rangkum dari perjalanannya selama di Nusantara. Sayangnya, tak banyak yang tersimpan dari sisa-sisa perjalanan Wallace di Nusantara. Bahkan, tempat bermukimnya pun tak berbekas. Hanya menyisakan papan kecil bertuliskan ”Lorong Wallace” di sebuah sudut di Kota Ternate, Maluku Utara, yang pernah ia tinggali selama empat tahun.
Kompas bersama tim dari British Council melacak warisan Wallace hingga ke Inggris dan Skotlandia. Bertemu dan berdiskusi dengan para pakar di sana, betapa warisan ilmiah Wallace yang mengabarkan kekayaan hayati Indonesia, khususnya kawasan Wallacea, amat luar biasa. Bagi para ilmuwan, kawasan Wallacea adalah laboratorium raksasa untuk mempelajari banyak hal, mulai dari flora, fauna, geografi, hingga manusianya.
Menjadi bagian dari peringatan 150 tahun The Malay Archipelago pada akhir November mendatang, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kompas dengan dukungan British Council dan Donggi Senoro LNG melaksanakan Ekspedisi Wallacea sejak April 2019. Ekspedisi ini menyasar kawasan Wallacea di Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, Flores, Sumba, Sumbawa, serta Lombok.

Anoa (Bubalus sp.)

Binatang ini sempat membuat Wallace kebingungan, apakah termasuk golongan sapi atau kerbau. Dengan ciri khas tanduk runcing dan lurus, anoa terdiri dari dua jenis, yaitu anoa dataran tinggi dan anoa dataran rendah. Anoa hanya ditemukan di Sulawesi.

Babirusa (Babyrousa sp.)

Ciri utama satwa ini adalah memiliki sepasang taring yang melengkung dan cenderung mengarah ke sepasang matanya. Babirusa hidup berkelompok dan dipimpin oleh penjantan yang terbesar. Binatang ini cukup mudah dijumpai di mata air Adudu di hutan Nantu Gorontalo.

Yaki (Macaca nigra)

Yaki dikenal juga sebagai monyet hitam Sulawesi karena berbulu hitam legam. Ciri khas lainnya, jambul dan pantat yang berwarna merah. Yaki hidup berkelompok dan dipimpin oleh pejantan alfa yang terkuat dan terbesar. Mereka juga ditemukan di Pulau Bacan, Maluku Utara dan diduga dulunya dibawa dari Sulawesi.

Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea)

Sesuai namanya, ciri khas utama burung ini adalah warna kuning pada jambulnya. Ia bersarang di dalam lubang pohon dan menyimpan telurnya di sana. Burung ini memakan biji-bijian dan hidup berkelana di hutan primer dan sekunder.

Tarsius (Tarsius wallacei)

Primata seukuran kepalan tangan ini termasuk kategori nokturnal atau binatang yang aktif di malam hari. Tarsius lebih menyukai pohon jenis Ficus untuk dijadikan sarang. Dengan makanan utama serangga, tarsius bergerak dengan cara melompat, bukan bergelayutan.

Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei)

Saat melihat pertama kali, AR Wallace menyebut burung ini sebagai "burung surga". Burung endemik Halmahera yang mirip cendrawasih ini bisa dibilang masih misterius. Belum pernah berhasil ditemukan di mana burung ini bersarang dan bertelur.

Maleo (Macrocephalon maleo)

Dengan tonjolan keras berwarna gelap di atas kepala sebagai ciri khasnya, maleo adalah burung yang unik. Ia menyimpan telurnya di dalam pasir hangat dengan kedalaman sampai 60 sentimeter. Burung ini dikenal cerdik karena ia menggali dua sampai tiga lubang di pasir untuk mengelabui pemangsa telurnya.

Kupu-Kupu ekor layang-layang (Graphium androcles)

Kupu-kupu ekor layang-layang ini bisa dijumpai pada Agustus-Oktober di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kupu-kupu ini menyukai habitat pinggiran sungai dan mengisap mineral di pasir endapan. Kupu-kupu langka ini banyak ditangkap dan diperdagangkan karena kecantikannya.

Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas terdiri dari reporter, fotografer, videografer, dan grafis. Tim ini telah memulai kegiatan pendahuluan sebelum ekspedisi resmi dimulai. Kegiatan semacam survey ini dilaksanakan tahun lalu dengan mengunjungi beberapa lokasi, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Ternate dan Halmahera di Maluku Utara, Kota Bitung di Sulawesi Utara, London, serta Edinburgh. Dua kota terakhir banyak menyimpan koleksi Wallace yang tersimpan rapi di kebun raya, perpustakaan, maupun museum.
Adapun pelaksanaan ekspedisi dimulai sejak pekan kedua April 2019 dan berakhir pada Agustus 2019. Penjelajahan melintasi udara, laut, sungai, dan penyusuran dalam hutan. Bertemu suku pedalaman di Halmahera hingga menginap di kampung adat adalah bagian dari perjalanan tim tersebut.

Jalur Ekspedisi Wallacea Kompas

Berikut petikan pengamatan tim ekspedisi di delapan lokasi, yaitu Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumba, Sumbawa-Lombok, Flores, dan Sulawesi Barat.

Maluku Utara

Tim berhasil merekam burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei) di sudut hutan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera. Burung surga, demikian julukan yang diberikan Wallace, dikenal misterius. Sampai sekarang, sarang dan penetasannya tak pernah berhasil dilacak. Mengenai bekas rumah Wallace, sayang sekali tak ada bukti-bukti yang tersisa selain papan nama "Lorong Wallace" di Kota Ternate.

Maluku

Sasi, sebuah adat-istiadat di Maluku, masih dipertahankan dan bisa ditemukan di Pulau Haruku. Ada sanksi adat bagi mereka yang merusak alam dan berburu burung dilindungi. Sementara di Pulau Seram, upaya pemulihan burung langka hasil sitaan dari masyarakat terus dilakukan untuk mengembalikan burung-burung indah ke habitat aslinya.

Sulawesi Utara

Hutan Tangkoko di Kota Bitung, Sulawesi Utara, dan Hutan Nantu di Gorontalo menjadi benteng terakhir satwa endemis di kawasan Wallacea. Sebut saja yaki, tarsius, anoa, maleo, maupun babirusa. Binatang itu tak ditemukan di belahan bumi mana pun selain di kawasan Wallacea. Sayangnya, keberadaan mereka terus terancam oleh perburuan liar, penyempitan habitat, dan alih fungsi kawasan.

Sulawesi Selatan

Ada jejak tangan manusia purba yang diperkirakan berusia sekitar 40.000 tahun di gua Leang-leang, Kabupaten Maros. Tim juga menemukan kupu-kupu cantik di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Di kawasan itu pula, Wallace mengumpulkan berbagai jenis kupu-kupu.

Sumba

Sumba, pulau yang sangat eksotis ini, menyimpan berbagai kekayaan, baik alam maupun budayanya. Di antaranya, julang sumba, sejenis burung rangkong yang dijuluki si petani hutan. Ia punya peran penting menyebarkan biji-bijian dan menumbuhkan tanaman. Selain satwa endemis, Sumba menyimpan banyak pesona, seperti savana laiknya di Afrika, pemandangan matahari tenggelam di Pantai Walakiri, maupun air terjun yang sangat memesona.

Sumbawa-Lombok

Masih ada tradisi ketahanan pangan yang berusaha dipertahankan di Bima, Sumbawa. Uma Lengge, sebuah bangunan adat yang berfungsi menyimpan beragam hasil bumi yang sayangnya terus tersudut oleh program penyeragaman pangan pemerintah. Uma Lengge mengajarkan manusia untuk berhemat dan memakan makanan seperlunya.

Flores

Di kawasan bentang alam Mbeliling, Manggarai Barat, sekelompok ibu-ibu mengambil inisiatif berani. Mereka, di luar tugas domestik, berpatroli mengawasi kawasan hutan, mencatat temuan flora dan fauna, dan menghitung debit air. Semua temuan dicatat, didiskusikan, dan dilaporkan ke pemerintah setempat. Semua semata-mata demi menjaga keseimbangan alam.

Sulawesi Barat

Adalah Gunung Gandang Dewata di Sulawesi Barat yang pada 2016 ditetapkan sebagai taman nasional. Gunung dengan ketinggian 3.074 meter di atas permukaan laut itu menyimpan keanekaragaman hayati yang belum seluruhnya terungkap. Penelitian LIPI di salah satu sisi Gandang Dewata menunjukkan potensi berbagai jenis baru flora dan fauna. Masih banyak pula jenis keanekaragaman hayati yang belum diidentifikasi. Medan berupa hutan yang rapat dengan berkemiringan hingga 70 derajat menjadi satu sebab minimnya ekspedisi ilmiah di sana.

Meskipun masih bisa dijumpai sejumlah fauna endemik, seperti burung bidadari halmahera di hutan kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera, Maluku Utara atau babirusa di Suaka Margasatwa Nantu, Gorontalo, bukan berarti sisa keragaman hayati di kawasan Wallacea itu dalam kondisi baik-baik saja.
Ancaman perburuan liar, perambahan hutan, dan alih fungsi kawasan menyebabkan habitat mereka terganggu. Terbatasnya sumber daya negara dalam melindungi kawasan konservasi berkontribusi terhadap ancaman tersebut.
Kabar baiknya, masih ada kearifan lokal di sejumlah tempat yang mampu melindungi kawasan dari ancaman kerusakan dan kepunahan. Kesadaran masyarakat lokal betapa pentingnya menjaga kelestarian alam yang menjadi gantungan hidup dan adat sasi di Maluku menjadi benteng pelestarian keragaman hayati kawasan Wallacea.
Ekspedisi Wallacea ala jurnalisme Kompas diharapkan dapat berkontribusi bagi semua pemangku kepentingan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam. Eksploitasi berlebihan dan perencanaan pembangunan yang tak tepat dapat mengganggu keseimbangan tersebut. Jangan sampai keragaman hayati di kawasan Wallacea hanya berakhir dengan cerita kepunahan dan kerusakan. Laporan lengkap ekspedisi ini akan diterbitkan di harian Kompas setiap Senin mulai 9 September sampai 28 Oktober 2019.

Kerabat Kerja

Penulis: Aris Prasetyo, Luki Aulia | Ilustrator: Tiurma Clara Jessica, Arie Nugroho, Vania Hefira, Kevin Rifqi Hendrian | Penyelaras Bahasa: Wiwien Mindrasari | Videografer: Lucky Pransiska | Video Editor: Anto Nius Sunardi, Vincentzo Calviny Joski | Fotografer: Luki Aulia, Aris Prasetyo, Iwan Setiyawan, Danu Kusworo, Priyombodo, Heru Sri Kumoro | Web Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Hanasya Shabrina, Deny Ramanda | Produser: Sri Rejeki, Prasetyo Eko Prihananto |

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.