Kenapa Imlek Harus Dirayakan?
Hari raya Imlek di Indonesia pertama-tama merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang telah dirayakan turun-temurun di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, seperti Jepang, Korea, Vietnam, dengan latar belakang berbagai agama atau kepercayaan, juga merayakannya.
Bagi umat Khonghucu, Imlek juga merupakan hari besar. Imlek dirayakan sebagaimana halnya Idul Fitri untuk umat Muslim, Natal untuk umat Kristiani, Waisak untuk umat Buddha, Nyepi untuk umat Hindu, dan sebagainya.
Namun, pada umumnya, di Indonesia, Imlek diperingati dengan berkumpul bersama keluarga besar. Hari Imlek juga merupakan saat di mana para anggota keluarga bersilaturahim. Penyelenggaraan pesta kembang api dan tarian barongsai pun demi semakin memeriahkan hari raya Imlek.
Sebelumnya, selama puluhan tahun—tepatnya pada masa Orde Baru—peringatan Imlek tidak boleh dipanggungkan. Warga keturunan Tionghoa tentu saja merayakan Imlek meski tidak dirayakan secara terbuka.
Dirayakannya Imlek memberikan pesan bahwa warga Indonesia keturunan telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Setiap keluarga minimal menggelar doa bersama atau makan bersama, tetapi tidak dirayakan secara besar-besaran. Selama Orde Baru, kesenian seperti barongsai seolah dilupakan meski ada orang-orang yang terus berlatih secara diam-diam. Latihan digelar di halaman tengah rumah-rumah keluarga Tionghoa. Meski keterampilan tersebut terus dilatih, kesenian itu tabu ditampilkan.
Dari sejarah kita tahu, gelombang reformasi yang kemudian membebaskan warga keturunan dari belenggu Orde Baru. Lambat laun, peran politik warga Indonesia keturunan pun dibuka lebar-lebar.
Diakuinya hari Imlek dengan status sebagai hari libur nasional didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002. Ditetapkannya Keppres tersebut, meneguhkan kembali pesan bahwa warga Indonesia keturunan telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Mengacu dari mana kalender Imlek? Sesepuh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo mengatakan, kalender Imlek atau Kong Zi Lik yang kini digunakan diciptakan oleh Huang Di (nabi ke-4 dalam agama Khonghucu) yang hidup dalam kurun 2695-2598 sebelum Masehi. Nabi Huang Di dikenal sebagai ahli ilmu falak.
Huang Di juga dikenal sebagai raja yang merintis pertanian yang berkembang di daratan antara Sungai Yangtze dan Sungai Hwang He. Huang Di mengajarkan pencetakan tanah sawah dan kepemilikan tanah bagi petani serta petak sawah kolektif yang digunakan untuk pembibitan ataupun lumbung bersama. Penetapan tanggal 1 Imlek adalah awal musim semi.
Kalender Imlek yang digunakan dalam tradisi masyarakat Tionghoa menjadi penanda siklus tahun, ibadah pergantian tahun, dan penanda awal musim bercocok tanam. Pencatatan jatuh bangunnya dinasti juga menggunakan sistem kalender Imlek.