Memuat Halaman

Akan Selalu Terjadi Krisis dan Pandemi
Dunia sudah berkali-kali dihantam krisis. Baik skala lokal, regional, maupun global. Secara global, ada krisis kesehatan, yaitu pandemi flu pada 1918, krisis ekonomi ”The Great Depression” pada 1929, hingga krisis militer, keamanan, dan kemanusiaan pada Perang Dunia II. Dalam lingkup regional, Asia, termasuk Indonesia, pernah mengalami krisis finansial atau krisis moneter pada 1997-1998.

Peristiwa-peristiwa itu meninggalkan duka, luka, bahkan trauma. Namun, seiring waktu, dunia membuktikan mampu bangkit dari keterpurukan. Bahkan, krisis memicu terjadinya pembaruan dan kemajuan lebih pesat dibandingkan sebelumnya. Tentu, butuh tekad kuat dan dukungan. Beberapa butuh kerja sama antarnegara.

Dari sejarah kita belajar. Meskipun berbeda dengan krisis global, pandemi Covid-19 kiranya dapat mendorong semangat untuk tetap melanjutkan hidup dan memulihkan situasi.
Pandemi Flu 1918
Pandemi flu melanda dunia 1918 hingga akhir 1920. Berdasarkan data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, sedikitnya 500 juta penduduk dunia terinfeksi virus influenza dengan 50 juta di antaranya meninggal. Saat itu, ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat masih terbatas. Laboratorium untuk tes dan pelacakan tidak ada. Vaksin, obat antiviral, atau antibiotik belum tersedia. Upaya satu-satunya melalui intervensi non-farmasi (non pharmaceutical interventions). Caranya, menutup pusat keramaian, seperti toko, ritel, dan sekolah; melarang kegiatan yang menimbulkan kerumunan; serta menganjurkan penggunaan masker.

Penyebaran virus menyebabkan kegiatan ekonomi melambat dan bisnis merugi. Media cetak The Arkansas Gazette pada 19 Oktober 1918 mengabarkan, sejumlah toko di Little Rock, Amerika Serikat, turun penjualannya 40-70 persen. Tiap hari, bisnis merugi 10.000 dollar AS atau sekitar 187.572 dollar AS saat ini.
Surat kabar lain, The Commercial Appeal, pada 18 Oktober 1918 mengabarkan lumpuhnya pertambangan di Tennessee, AS. Virus menyebar di permukiman tambang. Produksi tambang batubara turun 50 persen.

Pandemi tidak benar-benar hilang. Namun, tidak ada yang menyatakan bencana kesehatan itu telah selesai. Kasus berkurang karena kekebalan alami meluas yang disebabkan penyebaran infeksi mencakup sepertiga penduduk dunia. Virus penyebab pandemi kehilangan keganasannya. Ia bermutasi dan menjadi virus penyebab flu musiman.

Satu dekade setelah pandemi reda, barulah para peneliti menemukan bahwa virus lah yang menjadi penyebab pandemi influenza. Sebelumnya diduga penyakit disebabkan bakteri. Vanderbilt University pada 1931 menemukan metode untuk mengembangkan virus influenza di dalam telur ayam berembrio. Setelah diuji coba pada hewan, ditemukan dua tipe virus penyebab influenza. Sejak itu, vaksin mulai dikembangkan dan berhasil diujikan pada tentara perang.
Armed Forces Institute of Pathology/National Museum of Health and Medicine AS
Rumah sakit darurat di Camp Funston, Fort Riley, Kansas, AS, saat pandemi flu spanyol tahun 1918.
Pandemi telah menyadarkan pentingnya ilmu kesehatan dan sains. Masyarakat mulai meninggalkan mitos. Akses layanan kesehatan diperluas dan diupayakan mencakup seluruh kelas masyarakat yang dikenal dengan konsep socialized medicine and healthcare. Rusia yang pertama menerapkan diikuti negara-negara Eropa Barat. Sistem ini menjadi cikal bakal layanan kesehatan saat ini.
“Great Depression”
The Great Depression terjadi 1929-1939. Bermula dari kejatuhan ekonomi Amerika Serikat, krisis ini merambat hingga Eropa. Padahal, periode 1920-1929, AS mengalami pertumbuhan ekonomi ganda (The Roaring Twenties).

Saat itu, AS baru bangkit setelah Perang Dunia I dan pandemi 1918. Industri manufaktur dan hiburan melesat. Gaya hidup masyarakat berubah lebih konsumtif serta suka berutang untuk konsumsi dan membeli saham.

Indeks bursa saham pada 1921-1929 naik lebih dari 500 persen. Namun, pada 24 Oktober 1929 terjadi peristiwa Black Thursday. Investor ramai-ramai menjual saham yang menyebabkan kejatuhan pasar saham. Hari itu diperdagangkan 12,9 juta saham. Puncaknya terjadi lima hari kemudian (Black Tuesday) pada 29 Oktober 1929.

Sebanyak 16 juta saham diperdagangkan. Jutaan saham pun menjadi tidak berharga. Dampaknya, investasi mandek, bisnis dan operasional pabrik berhenti. Terjadi PHK massal, pengangguran meningkat. Pada 1932, 30 juta penduduk kehilangan sumber pendapatan. Separuh bank di AS bangkrut. Protes hingga bentrokan terjadi di mana-mana, cermin kekecewaan terhadap pemerintah.
AP
Gambar dokumentasi tahun 1932 ini memperlihatkan para penganggur antre untuk mendapatkan makanan gratis di depan kantor pemerintahan New York. Mereka menjadi korban dari depresi besar yang berlangsung sejak 1929 hingga akhir 1930-an.
Harga produk pertanian jatuh. Petani merugi karena biaya produksi lebih besar dibandingkan dengan harga jual. Begitu parahnya hingga petani memilih jagung panennya dijadikan bahan bakar memasak.

Krisis ekonomi di AS merembet ke negara-negara mitra. Di Eropa, Jerman menjadi negara paling terdampak. Penyebabnya, AS menarik semua pinjaman luar negeri. Jerman yang mengandalkan pinjaman luar negeri dari AS ikut terpuruk.

Dalam situasi kacau, pemerintah mencoba berbagai cara menahan krisis agar tidak bertambah parah. Namun, pemerintahan Presiden AS Herbert Hoover yang menjabat 1929-1933 belum mampu mengatasi dampak krisis.

Franklin D Roosevelt, presiden terpilih periode berikutnya, merombak besar-besaran tatanan perekonomian dan ketenagakerjaan AS. Ia meluncurkan program ”New Deal”. Salah satu kebijakannya, melibatkan pemerintah federal dalam sektor-sektor kehidupan masyarakat.

Untuk menyediakan pekerjaan bagi kelompok pengangguran, diluncurkan program ”Works Progress Administration”, serupa program padat karya saat ini, yaitu membuka lapangan pekerjaan pada proyek pembangunan fasilitas umum, seperti jembatan, sekolah, taman, dan jalan raya. Lapangan pekerjaan juga diberikan kepada kelompok musisi dan seniman.

Di sektor ketenagakerjaan, diterbitkan ”Wagner Act” yang membentuk Dewan Hubungan Perburuhan Nasional untuk menjamin perlakuan adil perusahaan kepada buruh. Tenaga kerja juga lebih terlindungi oleh UU Jaminan Sosial. UU ini juga melindungi pensiunan, sistem asuransi pengangguran, dan anak-anak tenaga kerja oleh pemerintah federal.

Program Presiden Roosevelt tidak hanya memulihkan perekonomian AS, tetapi juga menginspirasi negara lain. Program padat karya dan perlindungan sosial kini banyak diterapkan negara-negara di dunia saat menghadapi krisis.

Lizabeth Cohen, Profesor Studi Amerika Howard Mumford Jones, menyebutkan kebijakan ”New Deal” juga menjadi inspirasi untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19 saat ini, yakni fokus pada kebutuhan masyarakat dan pekerja biasa serta menumbuhkan empati dan persatuan untuk membentuk koalisi masyarakat yang tangguh.
Arsip
Gedung Bursa Saham New York. Kejatuhan pasar saham di AS memicu terjadinya depresi besar (Great Depression) yang merembet pada resesi ekonomi dunia.
Perang Dunia II
Dampak Perang Dunia I masih membekas dan melahirkan kekacauan baru pada dua dekade berikutnya. Perang Dunia II muncul akibat konflik yang belum selesai sejak Perang Dunia I. Penyerangan Jerman atas Polandia pada 1939 menjadi awal mula tragedi militer paling besar dalam sejarah itu. Sejak peristiwa itu, Inggris dan Perancis menyatakan perang dengan Jerman.

Akibatnya, dampak kematian, kerusakan, dan kekacauan sangat luas. Diperkirakan 45 hingga 60 juta jiwa tewas. Tidak hanya kelompok militer yang menjadi sasaran, tetapi juga warga sipil. Kota-kota hancur karena menjadi sasaran bom. Jerman kehilangan 70 persen permukiman warga. Rusia kehilangan 1.700 kota kecil dan 70.000 desa. Infrastruktur, pabrik, pertanian, dan peternakan, semuanya hancur.

Sebagai contoh, 43.000 jiwa tewas dalam peristiwa The Blitz (1940-1941). Serangan udara diluncurkan Jerman ke London dan kota-kota lain di Inggris. Sebaliknya, Jerman juga menjadi korban serangan bom dari jalur udara. Selama Perang Dunia II, diperkirakan 410.000 penduduk Jerman tewas akibat serangan udara.
Yosuke Yamahata
Penduduk Nagasaki yang selamat dalam serangan bom atom oleh Amerika Serikat pada 1945
Tidak hanya itu, Amerika meluncurkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada 1945 yang menjadi serangan terbesar Perang Dunia II. Sedikitnya 80.000 jiwa tewas di Hiroshima dan 40.000 jiwa di Nagasaki. Akibat peristiwa itu dan desakan perang dari Uni Soviet, Jepang akhirnya menyerah. Jerman yang kehilangan Hitler karena bunuh diri akhirnya turut menyerah. Ini menjadi akhir Perang Dunia II.

Negara-negara yang terlibat perang kemudian berjuang membangun kembali negaranya. Republik Federasi Jerman (Jerman Barat) mengambil langkah pemulihan ekonomi. Hingga akhirnya pada 1950, Jerman mencapai masa ”keajaiban ekonomi” atau wirtschaftswunder. Saat itu, Jerman termasuk negara dengan ekonomi tertinggi di dunia.

Industri berkembang pesat. Pada 1950-1963 pertumbuhannya mencapai 185 persen. Jerman merekrut pekerja migran (gastarbeiter) pada pertengahan 1950-an untuk membantu pemulihan ekonomi. Berawal dari Italia, pekerja migran juga didatangkan dari Turki. Sejak itu, Jerman menjadi tempat tujuan imigran bekerja, bukan lagi zona berbahaya Nazi.

David R Henderson, Profesor Ekonomi Naval Postgraduate School California, dalam tulisannya menyebutkan ada tiga faktor yang mendorong Jerman mencapai masa keajaiban ekonomi. Dua faktor utama adalah reformasi mata uang dan penghapusan kebijakan pengendalian harga pada 1948. Faktor lainnya adalah penurunan pajak marjinal pada 1948 dan 1949.

Sektor ekonomi juga menjadi perhatian utama Jepang setelah Perang Dunia II karena adanya kekhawatiran krisis ekonomi 1947-1948. Di bawah pendudukan AS, Jepang memulai rehabilitasi ekonominya dibantu Komando Tertinggi Sekutu (SCAP) yang bertugas membangun kembali Jepang. Pecahnya Perang Korea 1950-1953 mendorong perekonomian Jepang. Jepang menjadi depot pasokan utama pasukan PBB yang menjadi keuntungan besar bagi Jepang.

Selanjutnya, investasi besar dikucurkan untuk industri tenaga listrik, batubara, baja, dan bahan kimia. Perdagangan luar negeri meningkat. Pabrik-pabrik di Jepang diisi mesin-mesin yang lebih modern sehingga memberikan keunggulan kompetitif dibanding negara lain yang tidak mengalami kehancuran.

Lima tahun setelah Perang Dunia II berakhir, nilai produksi industri Jepang telah sejajar dengan produksi industri sebelum perang terjadi. Pada periode 1953-1965, PDB nasional meningkat lebih dari 9 persen per tahun. Diikuti kenaikan PDB di sektor manufaktur dan pertambangan (13 persen), konstruksi (11 persen), dan infrastruktur (12 persen).
Krisis Finansial Asia 1997-1998
Krisis finansial Asia 1997-1998 atau krisis moneter (krismon) meninggalkan trauma bagi negara-negara terdampak. Krisis berawal dari Thailand (1997) yang tidak berdaya membayar utang luar negeri dan membuat nilai mata uangnya anjlok. Gejolak nilai mata uang memicu krisis serupa di beberapa negara di Asia, seperti Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan. Selanjutnya, peristiwa ini menjadi krisis global setelah dampaknya menghantam Rusia dan Brasil pada 1999 serta Argentina dan Turki pada 2001.

Indonesia menjadi negara yang terdampak paling parah dibanding negara lainnya. Krisis di Indonesia ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pada 17 Juni 1998, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta ditutup Rp 16.900 per dollar AS. Padahal, pada Juni 1997, kurs rupiah masih terjaga Rp 2.441 per dollar AS. Dalam setahun, kurs rupiah jatuh 600 persen.

Peristiwa ini menyebabkan sektor ekonomi Indonesia runtuh. Organisasi Buruh Internasional (ILO) kala itu mengingatkan, apabila krisis tidak tertangani, dua dari tiga penduduk Indonesia akan jatuh dalam kondisi sangat miskin. Pernyataan ini seiring turunnya pendapatan per kapita dari 1.155 dollar AS pada 1996 menjadi 610 dollar AS pada 1998.

Angka pengangguran melonjak dan menjadi rekor angka pengangguran tertinggi sejak 1960-an. Sebanyak 20 juta orang atau 20 persen angkatan kerja menganggur. Sebagai perbandingan, pada Agustus 2020 di mana kasus Covid-19 masih terus meningkat, tingkat pengangguran Indonesia sebesar 7,07 persen dengan jumlah 9,77 juta orang.
Kompas/Krista Rubidi Riyanto
Akibat krisis moneter 1998, banyak warga kehilangan mata pencaharian atau terkena PHK. Gambar warga tengah antre sembako yang diadakan oleh pedagang di kios-kios Taman Sari Jakarta Pusat.
Krisis juga berdampak pada sosial politik Indonesia yang berujung berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden.

Transisi politik ini dapat menstabilkan situasi politik sehingga berbagai kebijakan pemulihan ekonomi dapat diterapkan. Bank Indonesia memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga SBI untuk menghadapi hiperinflasi. Pengetatan ini membuat ekonomi mulai terkendali. Kurs rupiah kembali naik dari Rp 16.900 pada 18 Juni 1998 menjadi Rp 7.000-Rp8.000 per dollar AS pada Oktober-November 1998. Tahun selanjutnya, inflasi berhasil ditahan menjadi 2 persen setelah pada 1998 melonjak menjadi 77,6 persen.

Pada cakupan yang lebih sempit, keberadaan UMKM cukup menyelamatkan perekonomian masyarakat. UMKM menjadi tulang punggung perekonomian rakyat yang menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Setelah krisis, jumlah UMKM semakin meningkat, serapan tenaga kerja pada sektor inipun lebih besar dibanding usaha besar.

Program bantuan dan pinjaman luar negeri juga dapat dilaksanakan. Sebelumnya, pada 31 Oktober 1997, IMF mengumumkan paket bantuan multilateral 23 miliar dollar AS yang menyertakan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk membantu menstabilkan sistem keuangan Indonesia.
Kompas/Riza Fathoni
Produksi vas dari kerang di kawasan Teluk Pucung, Bekasi, Sabtu (17/10/2009). Produk seluruhnya untuk ekspor ke Eropa, Amerika dan Asia. Setahun pascakrisis ekonomi, pesanan eskpor yang menurun drastis mulai bergairah.
Pemulihan ekonomi pasca krisis membuahkan peningkatkan perekonomian meskipun butuh waktu cukup lama hingga 10 tahun untuk mengembalikan perekonomian seperti saat sebelum krisis.

Indikator pemulihan ini diamati melalui pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Indonesia tumbuh sekitar 6 persen sebelum krisis. Saat krisis, pertumbuhannya turun menjadi minus 3 persen. Baru pada 2012, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat menjadi 6,1 persen.
Serangan Teror 9/11
Peristiwa 11 September 2001 menjadi serangan teroris paling mematikan dalam sejarah dan menjadi insiden paling mengerikan bagi petugas pemadam kebakaran dan aparat keamanan AS. Serangan teror dari pelaku yang terafiliasi dengan kelompok Al Qaeda ini menghancurkan pertahanan keamanan dan finansial AS.

Empat pesawat dibajak teroris sebagai alat serangan bunuh diri yang menargetkan AS. Pesawat pertama, yaitu American Airlines Flights 11, menabrak menara utara gedung World Trade Center (WTC) di New York. Tabrakan menyebabkan lubang besar pada lantai 80, menewaskan ratusan orang dalam sekejap, dan menahan orang-orang yang berada di lantai atasnya (hingga lantai 110).

18 menit setelah pesawat pertama menabrak, United Airlines Flight 175 menabrak menara selatan WTC pada lantai 60. Tabrakan menyebabkan ledakan dan kebakaran hebat. Beberapa saat setelahnya, menara selatan runtuh diikuti menara utara. Sementara itu, pesawat American Airlines Flight 77 menabrak sisi barat markas besar militer Pentagon. Bangunan runtuh, 125 personel militer dan warga sipil tewas. Pesawat keempat, yaitu United Airlines Flight 93, menabrak perdesaan di Pennsylvania Barat. Tabrakan ini menewaskan 44 orang di pesawat.
Pesawat ini gagal menuju target serangan yang tidak diketahui tujuannya karena para penumpang dan awak pesawat berbalik melawan untuk menggagalkan rencana pembajak. Keempat serangan itu menyebabkan sekitar 3.000 orang tewas. Lebih kurang 10.000 orang luka-luka.

Selain korban jiwa, perekonomian AS juga terdampak. Kerugiannya mencapai miliaran dollar AS yang memicu gejolak perekonomian dunia. Di New York, 143.000 pekerjaan hilang, termasuk 2,8 miliar dollar AS upah pekerja selama tiga bulan. Sektor keuangan dan transportasi udara merugi dan menyebabkan 60 persen pekerja kehilangan pekerjaan.
AP Photo/Mark Lennihan
Pembukaan kembali kompleks World Trade Center di New York, 2013, dengan gedung One World Trade Center (tengah) sebagai ikonnya. Sebelumnya, gedung menara kembar World Trade Center hancur akibat serangan teroris pada 11 September 2001.
Setelah terjadinya teror itu, AS yang saat itu dipimpin George W Bush menyatakan berperang melawan terorisme dan siap memimpin dunia melawan terorisme. Sejumlah negara, seperti China, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, dan Pakistan, mendukung rencana tersebut (Kompas, 14 September 2001).

Selain meluncurkan operasi militer untuk memburu pelaku teror, AS membentuk Komisi Nasional Serangan Teroris yang bertugas menyelidiki peristiwa 11 September itu. AS juga menugaskan Departemen Keamanan Dalam Negeri yang bertugas mencegah serangan teror; menjaga keamanan perbatasan, imigrasi, dan bea cukai; serta mencegah bencana.

Untuk menstabilkan perekonomian pascateror, Bank Sentral Amerika memangkas suku bunga dan terus menurunkannya selama dua tahun. Upaya tersebut cukup berhasil menahan penurunan ekonomi AS. Bank Sentral AS juga mengucurkan sekitar 190 miliar dollar AS ke sistem perbankan dan pasar. Sementara kalangan perusahaan sekuritas AS bersepakat memborong saham-saham demi mencegah terjadinya ”terjun bebas” atau freefall harga-harga saham saat aktivitas perdagangan di pasar saham New York dibuka.

Pemerintah dan semua warga AS bersama-sama menggaungkan persatuan. Berbagai lembaga dan kantor kongres menguatkan kerja samanya. Anggota kongres juga turun langsung membantu keluarga korban serangan demi memastikan mereka mendapat akses bantuan dan situasi keamanan nasional pulih.
Selalu Ada Harapan
Kebangkitan pascakrisis seperti yang telah dilalui negara-negara di masa lampau menunjukkan selalu ada harapan dan jalan keluar. Meskipun ada yang harus mengalami kehancuran, capaian kemajuan yang diperoleh saat ini adalah buah dari perjuangan dari keterpurukan masa lampau.

Melalui krisis, dunia telah belajar untuk berinovasi dan beradaptasi. Seperti pada pandemi flu pada 1918, penelitian tentang kesehatan terus berkembang. Dampaknya kita rasakan sekarang. Kita dapat mengetahui beragam virus serta mengembangkan vaksin dan pengobatan penyakit menular.

Dunia juga semakin menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan persatuan antarnegara untuk meredam konflik. Ini terbukti dari koordinasi negara-negara dalam pemulihan dampak Perang Dunia II yang diinisiasi lewat Marshall Plan.
Selanjutnya pada tahun yang sama dengan berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk. Tujuannya, menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta mengembangkan kerja sama antarnegara di dunia. Perang Dunia II juga mendorong negara-negara untuk bersumpah tidak membiarkan konflik dan perang terjadi melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948.

Pada masa pandemi Covid-19, seluruh negara bergerak cepat berinovasi guna mempercepat penanganan dan pemulihan dampak pandemi. Inovasi ini terlihat dari pengembangan vaksin Covid-19. Berdasarkan data WHO, hingga 8 Januari 2021 terdapat 235 vaksin yang dikembangkan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Sebanyak 63 calon vaksin di antaranya telah masuk uji klinis, 172 calon vaksin dalam proses uji praklinis.

Sebanyak tujuh vaksin di antaranya sudah digunakan secara terbatas. Pengembangan ini melebihi target selesai dalam 18 bulan. Inovasi ini dapat dikatakan sebagai pengembangan vaksin terbesar dan tercepat dalam sejarah.
Selain inovasi, dunia juga beradaptasi melawan penularan virus. Virus yang dapat menempel membuat masyarakat takut menyentuh benda-benda yang berada di tempat publik. Melihat kekhawatiran ini, perusahaan teknologi Jepang yang menguasai sekitar 50 persen pasar sensor global berlomba-lomba mengembangkan teknologi nirsentuh.

Contohnya, perusahaan teknologi NEC berencana menjual produk keamanan yang mampu mengenali wajah orang meskipun mengenakan masker. Fujitec berinovasi menghasilkan teknologi yang memungkinkan pengguna lift memilih nomor lantai tujuan tanpa menyentuh tombol. Toshiba memproduksi teknologi sensor untuk menu restoran sehingga pengguna dapat memilih pada proyeksi pilihan menu di meja makan.

Dari seluruh krisis itu, dunia diingatkan senantiasa waspada dan bersiap atas situasi apa pun yang mungkin terjadi. Inovasi dan adaptasi menjadi cara keluar dari krisis dan pandemi. Terlepas dari upaya preventif yang telah dilakukan, permasalahan, krisis, atau gejolak bisa terjadi kapan saja. Namun, bangkit dari keterpurukan bukanlah hal yang mustahil.
Kembali ke halaman utama