Pernahkah Anda terbang di atas hutan-hutan negeri ini dan menyaksikan hutan-hutan yang mulai menggundul? Menyaksikan lahan-lahan tandus, yang seolah menawarkan masa depan yang suram? Menghilangnya pepohonan di negeri ini ternyata bukan terjadi dalam satu, dua tahun terakhir, tetapi warga negeri ini sudah membabatinya sejak puluhan tahun lalu.
Hari Kamis, 3 Juli 1969, Kompas secara khusus menerbitkan artikel berjudul, ”Penebang2 Kaju di Kalimantan Tengah Bergelimang Uang”. Dalam artikel itu dilukiskan betapa duit, ketika itu, ”melimpah ruah” di Kalimantan Tengah bersamaan dengan meningkatnya aktivitas penebangan kayu secara liar dan serampangan.
Para penebang kayu, saat itu, dengan mudah dapat menerima penghasilan Rp 1.000 per hari. ”Banjir” uang membuat para penebang kayu seolah melempar uang begitu saja saat membeli arloji tangan dan radio transistor 4 band.
Pada Kompas, 23 Agustus 1973, ada pula artikel menarik berjudul, ”Kawin Cerai di Kaltim”. Dilaporkan dalam artikel itu, terdapat 200-300 karyawan asing yang bekerja di usaha penebangan kayu.
”Di hutan sepi. Uang di kantong padat. Banyak dari karyawan-karyawan asing mengawini wanita-wanita setempat. Tidak melalui catatan sipil, cukup menurut adat suku setempat,” ditulis dalam artikel itu. Lebih lanjut ditulis, ”Karyawan-karyawan asing tidak menetap selama-lamanya. Di sinilah timbul masalah sebab para istri dan anak-anak itu terlantar.” Kawin-cerai pun terjadi.
Penebangan hutan juga membawa persoalan. Dari Pontianak dilaporkan ribuan orang telah meninggalkan kampung halamannya demi menjadi buruh penebang kayu. Akibatnya, pertanian menjadi telantar. Persoalannya, uang dalam jumlah banyak yang didapat penebang kayu kerap tidak dapat dibawa pulang untuk keluarga. Uang itu kemudian habis begitu saja untuk belanja keperluan yang tidak terlalu diperlukan atau ludes saat bermain judi.
Kompas/Indrawan SM
Penebangan hutan di Kalimantan pada 15 Juli 1973.
Beberapa dekade kemudian, tepatnya pada Minggu, 10 Januari 1993, bertempat di lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Presiden dan Ny Tien Soeharto, Wapres dan Ny EN Sudharmono, Gubernur DKI Jakarta dan Ny Surjadi, meresmikan Taman Medan Merdeka. Kepala negara ketika itu mengirimkan sinyal kuat kepada bangsa ini soal penghijauan. Kawasan Medan Merdeka dulu memang belum sehijau sekarang. Di kawasan Medan Merdeka, tepatnya dekat sisi Medan Merdeka Selatan, bahkan terdapat kolam renang hingga sentra permainan boling.
Kini, warga Jakarta cukup beruntung Taman Medan Merdeka sepenuhnya menghijau. Meski taman itu kini dipagari, harus dimaknai positif demi masa depan taman itu sendiri. Sinyal kuat yang dulu dikirimkan Presiden Soeharto kiranya tercapai, yakni tetap ”hijaunya” kawasan Taman Medan Merdeka. Di hari itu, 10 Januari 1993, Presiden Soeharto juga mengumumkan bahwa tahun 1993 adalah Tahun Lingkungan. Secara bersamaan, Presiden juga menetapkan tanggal 5 November sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.
Apakah sebuah kebetulan ketika pada 10 Januari, Presiden Soeharto mengumumkan sejumlah hal penting terkait lingkungan? Ternyata tidak. Tiap tanggal 10 Januari, masyarakat internasional merayakan hari sejuta pohon sedunia. Di Taman Medan Merdeka, dalam acara pencanangan itu, Presiden Soeharto kemudian menanam pohon beringin kembar. Ya, beringin kembar seperti di alun-alun sejumlah keraton di Jawa. Jadi, Anda tidak salah baca.
Namun positifnya, Presiden Soeharto juga mengajak masyarakat di seluruh tanah air untuk ikut menanam pohon sebagai realisasi dari Gerakan Menanam Sejuta Pohon. Tajuk rencana Kompas, Selasa, 12 Januari 1993, pun memberikan pujian. ”Kesadaran tentang lingkungan hidup tumbuh dalam kalangan pemerintahan dan masyarakat mendahului kehadiran Gerakan Hijau di berbagai negara industri. Hidup di tengah lingkungan alam, bersama alam dan dari alam, amat kuat pada masyarakat petani seperti negeri kita,” demikian bunyi tajuk rencana di hari itu.
Kompas/Hikmat Ishak
Pemandangan hutan Riau dari udara kelihatan bopeng dan teriris-iris, Januari 1980. Hutan Riau dulu adalah sebuah legenda. Syahdan, di rimba Mahato, kawasan di hulu sungai Rokan, terbentang hutan-hutan yang sangat subur. Rimba itu lebat dan jarang ditempuh manusia. Konon hutan itu sangat angker. Pohonnya tinggi-tinggi dan gelap. Tak seorang pun penduduk berani masuk kesana. Orang yang masuk tak bisa keluar lagi. Banyak orang hilang di rimba Mahato itu. Legenda itu lenyap seiring lenyapnya hutan.
Beberapa bulan setelahnya, Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Kehutanan Djamaloedin Soeryohadikoesoemo untuk mengawasi lebih ketat para pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). ”Aparat Departemen Kehutanan harus terjun ke lapangan dan jangan melakukan kontrol dari belakang meja,” kata Kepala Negara di kediaman pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta, Senin (22/3/1993). Jalan Cendana ketika itu menjadi salah satu pusat kekuasaan. Presiden Soeharto pun main perintah dari kediamannya itu.
Terkait keberadaan hutan lindung, Presiden Soeharto bahkan meminta agar jangan diutak-utik. Meski kata Presiden Soeharto, ”Kalaupun hutan lindung akan dimanfaatkan, harus dibicarakan dulu dengan instansi terkait” (Kompas, 23/3/1993). Dengan tegas, Presiden juga menyuruh Menhut agar berkoordinasi dengan Polri dan Ditjen Bea Cukai untuk menanggulangi peningkatan pencurian kayu. Terlebih lagi, kayu-kayu curian itu tidak sekadar dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat negeri ini, tetapi justru hendak diekspor.
Meski demikian, bukan perkara mudah untuk mengawasi negara sebesar Indonesia. Hutan kita berserakan di ribuan pulau. Menteri Djamaloedin pun bersyukur pengawasan terhadap hutan dapat lebih diintensifkan dengan memanfaatkan helikopter yang disediakan Presiden. ”Dengan demikian, penelitian melalui darat yang makan waktu beberapa hari dapat dikurangi,” ujarnya. Kata-kata Djamaloedin pernah dibuktikan Kompas, yang mengikuti operasi pencurian kayu. Ternyata, dibutuhkan waktu nyaris dua hari dari pos polisi hutan menuju tepi hutan, belum lagi operasi harus diteruskan dengan berjalan kaki menuju tempat kejadian perkara.