Cikal Bakal Kereta Api “Cepat” di Jawa

Pada awal 1900-an, perjalanan Batavia-Surabaya harus ditempuh dalam waktu dua hari, termasuk harus menginap di Maos, dekat kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selanjutnya, pada paruh pertama abad ke-20, kereta semakin cepat, perjalanan berkurang menjadi satu hari penuh untuk menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Surabaya. Laju kereta tak lama lagi akan semakin kencang dengan pembangunan jalur kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung hanya dalam rentang 40 menit dan Jakarta-Surabaya dalam bilangan waktu 5,5 jam.

Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942) mencatat, perjalanan kereta api dari bagian barat ke bagian timur Jawa mulai marak setelah selesainya proyek Staatsspoorwegen (SS) jalur rel Priangan (Preangerlijn) tahun 1884. Rute ini menghubungkan Buitenzorg-Bandung dan Surabaya-Solo-Semarang. Selanjutnya, Maskapai SS pada 1 November 1894 berhasil menghubungkan lintas Jawa, yakni dari Batavia ke Surabaya melalui Yogyakarta dan Surakarta.

Pada 1906, dibuka jalur Batavia-Karawang-Bandung-Yogyakarta-Surakarta-Surabaya melintasi Purwakarta dan Padalarang. Jalur ini mendukung operasional kereta ekspres. Beberapa catatan perjalanan dari Eliza Scidmore pada 1895, Tio Tek Hong pada 1905, dan Harriet W Ponder, yang menumpang ”kereta cepat” pada 1930-an, memberikan gambaran menarik tentang perjalanan dengan kereta api di Jawa lebih dari seabad silam.

fb smits/arsip kitlv
Stasiun Weltevreden (sekarang Stasiun Gambir) pada tahun 1900-an.

Titik keberangkatan dari Kota Batavia adalah Stasiun Weltevreden (kini Stasiun Gambir), yang disebut Eliza Scidmore dalam buku Java The Garden of The East, sebagai bangunan megah seperti stasiun kereta api di Benua Eropa dengan struktur kolom menjulang tinggi dan sirkulasi udara mengalir bebas.

Aula stasiun, ruangan untuk makan-minum, dan platform untuk naik-turun penumpang dibangun dengan rapi lagi megah di Stasiun Weltevreden. Kereta api dari Stasiun Tanjung Priok yang membawa penumpang kapal dari Eropa juga berhenti di Stasiun Weltevreden.

Dari Stasiun Weltevreden, Scidmore mencatat, berangkat para penumpang yang tidak sedikit di antaranya merupakan pengusaha dan pejabat Eropa. Tujuan mereka adalah Buitenzorg (kini kota Bogor) untuk menghirup udara sejuk. Di sana mereka memiliki vila.

arsip kitlv
Stasiun Bogor pada tahun 1927.

Rangkaian kereta, menurut Scidmore, diatur seperti kereta di Amerika Serikat, yakni dibagi menjadi kereta kelas I, kelas II, dan kelas III yang berbeda kelengkapan dan pengaturan duduknya bagi penumpang.