Kemampuan penularannya yang begitu cepat mendorong Organisasi Kesehatan Dunia WHO menetapkan situasi akibat Covid-19 ini sebagai pandemi. Hingga 7 April 2020, WHO melaporkan terjadinya 1.210.956 kasus dengan sebaran di 184 negara/wilayah.
Dengan penetapan pandemi Covid-19, diharapkan semua negara menerapkan langkah serius demi mengurangi penyebarannya. Ini berguna untuk menekan jumlah kasus infeksi virus Covid-19.
Pengurangan penyebaran akan menekan jumlah orang yang terinfeksi akibat virus ini. Kondisi ini akan memberikan waktu yang cukup bagi petugas kesehatan di tiap negara untuk menyiapkan fasilitas, perawatan, dan pengobatan yang tepat kepada pasien.
Mengurangi penyebaran merupakan strategi paling realistis untuk menekan tingkat kematian yang diakibatkan infeksi Covid-19, sambil menunggu tersedianya vaksin bagi virus ini. Menurut cetak biru penelitian yang disusun WHO, apabila sesuai rencana, vaksin virus Covid-19 baru akan tersedia pada Februari 2021.
Oleh karena itu, strategi mengurangi penyebaran virus perlu terus diterapkan agar bisa memutus rantai penularan Covid-19. Secara konkret, langkah pengurangan penyebaran dapat dilakukan dengan berbagai cara yang saling berkaitan, mulai dari pengetesan, isolasi, karantina, pembatasan fisik, penelusuran kontak, identifikasi kontak, hingga pencarian pola penyebaran.
Langkah-langkah tersebut juga perlu dibarengi dengan pemantauan (surveillance) terus-menerus, baik terhadap orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), maupun pasien dalam pengawasan (PDP).
Makin membesar
Skala dan risiko penyebaran wabah Covid-19 kian besar setelah terkonfirmasinya penularan virus SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia. Konfirmasi pertama penularan antarmanusia disampaikan Komisi Kesehatan Nasional China pada 20 Januari 2020.
Dua pasien positif virus korona baru di Guangdong tertular dari keluarganya yang berkunjung ke Wuhan. Selain itu, 14 tenaga kesehatan yang merawat pasien positif di Wuhan juga tertular Covid-19.
Penularan antarmanusia juga terjadi di Korea Selatan. Pemerintah Seoul mengonfirmasi kasus Covid-19 pertamanya pada 20 Januari 2020. Virus ini awalnya menyebar dari komunitas gereja di Kota Daegu. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan mengonfirmasi 309 pasien memiliki keterkaitan dengan gereja di Daegu.
Penularan di lingkup jemaat gereja juga ditemukan di Singapura. Rekam jejak penularan tersebut terdapat di laman www.wuhanvirus.sg yang memaparkan data tiap kasus Covid-19 yang terjadi di Singapura.
Salah satu contohnya adalah alur penularan dari Kasus 8 dan Kasus 9 kepada kasus setelahnya. Kasus 8 dan Kasus 9 adalah sepasang suami istri berumur 56 tahun yang berasal dari China.
Tak lama setelah mendarat di Singapura pada 19 Januari 2020, pasangan ini menghadiri peribadatan di sebuah gereja. Dari keduanya, Covid-19 kemudian menular kepada enam anggota jemaat lain.
Bukan hanya di luar negeri, fenomena penularan dari satu individu ke individu lain juga ditemukan di Indonesia. Data dari laman Covid19.go.id dan Kawalcovid19.id menunjukkan, hingga 21 Maret 2020 terdapat 450 kasus di 16 provinsi yang menjadi lokasi penularan.
Beberapa kasus penularan individu dapat dilacak, seperti Pasien 2. Jejak Pasien 2 diketahui positif Covid-19 setelah tertular warga negara Jepang di sebuah restoran di Jakarta Selatan pada 14 Februari 2020. Dalam interaksinya kemudian, Pasien 2 menulari 11 orang, termasuk orangtuanya.
Penelusuran kontak
Faktor risiko penularan antarmanusia menuntut negara-negara di dunia untuk melakukan pencegahan dan penanganan Covid-19 dengan lebih cepat dan efektif.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mendesak semua negara untuk terus melakukan tes, terutama kepada semua suspek. Tanpa pengetesan, kasus tidak dapat diisolasi dan rantai infeksi tidak terputus.
Ia menyebut tindakan ini sebagai respons atas pandemi Covid-19. Tes dalam skala besar akan mempercepat penemuan kasus. Jika kasus positif telah terdeteksi, kasus dapat diisolasi dan akan memutus rantai penularan. Selain itu, otoritas setempat juga dapat melakukan penelusuran kontak dari kasus positif.
Penelusuran riwayat kontak dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan data pasien. Selain identitas utama pasien, pelacakan perjalanan ke luar negeri, anggota keluarga, dan daftar orang yang pernah mereka temui dapat menjadi informasi awal penelusuran.
Dari informasi ini, otoritas negara juga dapat mencermati pola penyebaran dan mewaspadai lokasi-lokasi wabah. Pada akhirnya, upaya pelacakan kontak dapat diikuti dengan karantina atau pembatasan sosial yang ketat sebagai kunci penanggulangan Covid-19.
Orang yang paling berisiko tertular adalah orang yang kontak erat dengan pasien, termasuk yang merawat pasien Covid-19.
Publikasi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan pada 23 Maret 2020 menjelaskan bahaya penularan Covid-19 dari manusia ke manusia.
Penularannya melalui percikan batuk/bersin (droplet), tetapi tidak melalui udara. Publikasi tersebut juga menyebutkan, orang yang paling berisiko tertular adalah orang yang kontak erat dengan pasien, termasuk yang merawat pasien Covid-19.
Kontak erat
Setidaknya, terdapat tiga kategori orang yang paling berisiko tertular, yaitu pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP), dan orang tanpa gejala (OTG) yang memiliki kontak erat dengan kasus Covid-19.
Pasien dalam pengawasan (PDP) adalah orang dengan (riwayat) demam lebih dari atau sama dengan 38°C atau ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi Covid-19. Pasien dalam pengawasan ini sering juga disebut sebagai suspek.
Ada pula orang dalam pemantauan (ODP). Kategorinya adalah orang dengan demam lebih dari atau sama dengan 38°C atau mempunyai riwayat demam atau ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus Covid-19.
Orang tersebut juga memiliki gejala gangguan sistem pernapasan, seperti pilek atau sakit tenggorokan atau batuk, serta pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi Covid-19.
Di luar ODP dan PDP, pihak yang mesti lebih diwaspadai adalah orang tanpa gejala (OTG), yakni seseorang yang tidak mempunyai gejala dan mempunyai risiko tertular dari orang konfirmasi Covid-19. Orang tanpa gejala merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi Covid-19.
Kontak erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung dalam dua hari sebelum timbul gejala kasus dan hingga 14 hari setelah timbul gejala kasus.
Termasuk dalam kategori kontak erat adalah petugas kesehatan di tempat perawatan kasus tanpa alat pelindung diri (APD) sesuai standar. Kemudian, orang yang berada di ruangan yang sama dengan kasus dalam dua hari sebelum timbul gejala kasus dan hingga 14 hari setelah timbul gejala kasus.
Satu ruangan yang dimaksud, termasuk tempat kerja, kelas, rumah, atau acara besar, seperti pernikahan, seminar, dan peribadatan. Bahkan, termasuk juga orang yang bepergian bersama dengan segala jenis kendaraan dalam dua hari sebelum timbul gejala kasus dan hingga 14 hari setelah timbul gejala kasus.
Pemantauan
Upaya pemantauan atau surveillance dilakukan terus-menerus terhadap kelompok berisiko. Kegiatan surveillance merupakan bagian tidak terpisahkan dari karantina. Selama masa karantina, surveillance dilakukan untuk memantau perubahan kondisi seseorang atau sekelompok orang.
Karantina sendiri memiliki arti pembatasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu wilayah, termasuk wilayah yang diduga terinfeksi penyakit atau terkontaminasi, untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Kegiatan surveillance terhadap orang tanpa gejala (OTG) dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan kasus positif Covid-19. Terhadap OTG, dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan dengan menggunakan teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR).
Dengan teknik PCR, materi genetik dari sampel penderita nantinya akan dicocokkan dengan kode genetik virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19. Namun, jika tidak ada fasilitas pemeriksaan PCR atau membutuhkan hasil cepat, pemeriksaan dapat dilakukan dengan model rapid test.
Dari tes cepat ini, apabila hasil pemeriksaan pertama menunjukkan hasil negatif, selanjutnya orang tanpa gejala ini melakukan karantina mandiri dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan physical distancing.
Pemeriksaan ulang dilakukan 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR dua kali selama dua hari berturut-turut di laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan PCR.
Kegiatan pemantauan terhadap orang tanpa gejala ini dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian.
Memantau ODP dan PDP
Kegiatan pemantauan juga dilakukan terhadap ODP. Kegiatan pemantauan tersebut hampir sama dengan orang tanpa gejala. Bedanya, terhadap ODP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 untuk pemeriksaan teknik PCR.
Sebagaimana pemantauan terhadap OTG, jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan PCR, dilakukan pemeriksaan rapid test. Apabila hasil pemeriksaan rapid test menunjukkan hasil negatif, kegiatan selanjutnya adalah isolasi diri di rumah hingga pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Kegiatan pemantauan serupa juga dilakukan terhadap pasien dalam pengawasan (PDP). Kegiatan surveillance terhadap PDP dilakukan seperti ODP, yaitu selama 14 hari sejak mulai munculnya gejala.
Pengambilan spesimen dilakukan pada hari ke-1 dan ke-2 untuk pemeriksaan teknik PCR. Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan PCR, dilakukan pemeriksaan tes cepat.
Apabila hasil pemeriksaan rapid test menunjukkan hasil negatif, kegiatan selanjutnya adalah isolasi diri di rumah hingga pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Jika pada pemeriksaan ulang menunjukkan hasil positif, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR sebanyak dua kali selama dua hari berturut-turut. Pasien dalam pengawasan juga melakukan karantina berdasarkan kondisinya.
Dalam kondisi sedang dan berat, PDP dapat dirujuk ke rumah sakit. Untuk kategori sedang, dapat dirujuk ke RS Darurat; sedangkan pasien kategori berat dapat dirujuk ke RS rujukan hingga dilakukan pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Fase baru
Gerakan penanggulangan Covid-19 masih memerlukan upaya besar dari seluruh dunia. Saat WHO menetapkannya sebagai Darurat Kesehatan Global pada 30 Januari 2020, virus korona SARS-Cov-2 telah menjangkiti 7.818 orang di 19 negara/teritori.
Jumlahnya terus meningkat menjadi 118.319 kasus saat WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Tiga minggu berselang sesudah ditetapkan sebagai pandemi, jumlah kasus yang terkonfirmasi melonjak lebih dari tujuh kali lipat.
Saat ini, pandemi korona juga menghadapi gelombang baru penularan virus, yaitu virus korona ”diam” atau tanpa gejala. Harian South China Morning Post melaporkan, pada 1 April 2020, untuk pertama kalinya otoritas China melaporkan ada lebih dari 1.367 kasus positif Covid-19 tanpa gejala. Jumlah itu termasuk 130 kasus positif baru yang dilaporkan dalam sehari terakhir.
Sebelumnya, China yang menganggap OTG sebagai risiko penularan rendah tidak memasukkan mereka ke dalam penghitungan kasus yang dikonfirmasi. Orang tanpa gejala ditemukan melalui pelacakan kontak dari kasus yang dikonfirmasi, telah dikarantina, dan kemudian dilepaskan jika tidak menunjukkan gejala Covid-19.
Namun, dengan ditemukannya kasus positif tanpa gejala, China memerintahkan orang tanpa gejala untuk dikarantina selama 14 hari. Alasannya, OTG mempunyai kontak erat dengan kasus positif Covid-19.
Kontak erat memiliki potensi penularan kasus. Upaya pelacakan kontak erat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detail kontak (contact listing), dan tindak lanjut kontak (contact follow up).
Identifikasi kontak merupakan bagian dari investigasi kasus. Jika ditemukan kasus Covid-19 yang memenuhi kriteria kasus konfirmasi, perlu segera dilakukan identifikasi kontak erat.
Identifikasi kontak erat ini bisa berasal dari kasus yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, terutama untuk mencari penyebab kematian yang mungkin ada kaitannya dengan Covid-19.
Informasi yang perlu dikumpulkan dalam fase identifikasi kontak adalah orang yang mempunyai kontak dengan kasus dalam dua hari sebelum kasus timbul gejala hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Ini dapat dilakukan kepada semua orang yang berada di lingkungan tertutup yang sama dengan kasus, seperti rekan kerja, satu rumah, satu kelas atau satu sekolah, serta satu pertemuan.
Demikian juga dengan semua orang yang mengunjungi rumah kasus, baik saat di rumah ataupun saat berada di fasilitas layanan kesehatan. Mereka semua masuk dalam kategori memiliki kontak erat.
Pembatasan fisik
Mencermati protokol pemeriksaan dan pemantauan dari pelacakan kontak pasien positif Covid-19, muaranya adalah karantina atau pembatasan fisik. Pembatasan ini merupakan upaya mengurangi dan memperlambat penyebaran virus korona.
Karantina tersebut merujuk pada strategi kesehatan masyarakat menghadapi pandemi yang meliputi berbagai tindakan untuk menghentikan dan memperlambat penyebaran wabah penyakit, sekaligus membantu pemerintah melacak penyebarannya.
Pembatasan fisik dapat dimulai mandiri dengan melakukan pembatasan fisik yang dilakukan dengan cara menjaga jarak dengan orang lain, minimal 1-2 meter. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan mengisolasi diri, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah, serta mengikuti etika bersin atau batuk.
Di tingkatan pemerintahan atau negara, pembatasan ini dapat dilakukan mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat. Bentuknya, bisa dengan membatasi pertemuan yang melibatkan banyak orang, menutup tempat keramaian umum, dan menunda acara-acara publik.
Sejak awal munculnya virus, WHO terus mengingatkan prinsip bersama untuk menghadapi wabah korona. Prinsip yang dianjurkan adalah menjaga kebersihan diri dan rumah, dengan cara mencuci tangan, tidak mengusap muka, mata, mulut, dan hidung. Hindari pula berjabat tangan dan interaksi fisik dekat dengan orang yang menunjukkan gejala sakit.
Intisari dari pembatasan ini bukan hanya membatasi kehidupan sosial masyarakat, melainkan juga membentuk kesadaran umum, terutama dari mereka yang terinfeksi. Kesadaran diri untuk melakukan pembatasan fisik ini menjadi modal bersama untuk memutus rantai penularan virus korona. Mari kita mulai dari diri sendiri.