KH Ahmad Dahlan
Hj Siti Walidah
Fatmawati Soekarno
Ir Soekarno
Jenderal Soedirman
Ir Djoeanda
KH Fachrodin
Hamka
Gatot Mangkoepradja
KH Mas Mansoer
Ki Bagus Hadikoesoemo
Kasman Singodimedjo
Kiai Haji Ahmad Dahlan
Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
Lahir: Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Wafat: Yogyakarta, 23 Februari 1923
Istri:
Anak:
KH Ahmad Dahlan muncul sebagai seorang pembaru. Pada 12 November 1912, dia mendirikan Muhammadiyah, sebuah organisasi kemasyarakatan yang kini antara lain memiliki 177 perguruan tinggi dan 104 rumah sakit. Sosok yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwis ini lebih mementingkan amal daripada ritual. Sebuah ranting Muhammadiyah dilarang berdiri sebelum memiliki amal usaha.
Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ayahnya, KH Abu Bakar, seorang khatib terkemuka di Kasultanan Yogyakarta. Ketika memasuki remaja, tepatnya saat berusia 15 tahun, Dahlan menunaikan ibadah haji dan menetap di Mekkah selama lima tahun.
Dalam kurun waktu itu, dia banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran progresif kala itu, seperti Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan Al-Afghani. Sepulang dari Mekkah itulah dia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Tahun 1903, dia kembali ke Mekkah dan berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, dia tak lain ulama kelahiran tanah Minang yang menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran Syafi’i di Masjidil Haram.
Pemerintah Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional pada 1961 lewat Surat Keputusan Presiden No 657 Tahun 1961. Dia dinilai turut membangkitkan pembaruan Islam dan pendidikan melalui organisasi Muhammadiyah berikut organisasi otonom di bawahnya. Muhammadiyah telah mendorong masyarakat untuk terus belajar dan beramal dengan dasar keislaman.
Hj Siti Walidah
Pendiri Aisyiah, organisasi yang mendukung kemajuan dan kesetaraan perempuan
Lahir: Yogyakarta, 3 Januari 1872
Wafat: Yogyakarta, 31 Mei 1946
Suami:
Siti Walidah, lebih akrab dipanggil Nyai Ahmad Dahlan. Istri pendiri Muhammadiyah ini memberi kontribusi besar dalam gerakan-gerakan mencerdaskan anak bangsa. Dia memiliki kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peran dan peluang yang sama dalam mencerdaskan bangsa. Dasar itulah yang menggerakkan dia pada 19 Mei 1917 mendirikan Aisyiah, sebuah organisasi yang menghimpun kaum ibu. Lewat organisasi ini, Siti Walidah menggairahkan pendidikan agama, sosial, dan pelayanan kesehatan.
Aisyiah semula bernama Sopo Tresno, sebuah perkumpulan yang berisi pengajian Al Quran berikut maknanya. Organisasi ini juga mengajarkan baca tulis kepada pesertanya yang berasal dari beragam kalangan mulai putri keraton sampai buruh batik. Salah satu titik tekan pengajian mereka adalah peduli terhadap orang miskin sebagaimana pesan Al Quran, terutama Surat Al Maun.
Dia juga mengajarkan anak-anak perempuan naik sepeda, sebuah kegiatan yang tak lazim pada masa itu. Akan tetapi, kegiatan itu dapat dimaknai bahwa Siti Walidah visioner, agar perempuan berani keluar dari kungkungan tradisi dan berkontribusi di luar wilayah domestik.
Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 3 Januari 1872 dan meninggal dunia pada 31 Mei 1946. Ia putri seorang ulama Keraton Yogyakarta. Pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional pada 10 November 1971 sesuai Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.
Fatmawati Soekarno
Ibu Negara pertama, menjahit bendera pusaka
Lahir: Bengkulu, 5 Februari 1923
Wafat: Kuala Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980
Orangtua:
Suami:
Anak:
Bernama asli Fatimah, istri sang Proklamator Soekarno ini dilahirkan di Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia merupakan aktivis Aisyiah di kampungnya. Sepak terjangnya mengikuti jejak sang ayah, Hasan Din, yang rela dikeluarkan dari pekerjaannya oleh Belanda karena menolak meninggalkan aktivitasnya di organisasi yang dirikan Ahmad Dahlan itu.
Fatmawati adalah sosok penjahit bendera pusaka yang dikibarkan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pemerintah memberi penghargaan kepadanya sebagai pahlawan nasional lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000.
Nama Fatmawati antara lain diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati di Jakarta dan Bandar Udara Fatmawati yang sebelumnya bernama Bandar Udara Padang Kemiling di Bengkulu.
Ir Soekarno
Presiden pertama RI (1945-1967)
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Orangtua:
Istri:
Anak:
Terlahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo di Surabaya, 6 Juni 1901, Ir Soekarno memerankan peran sentral dalam Kemerdekaan Republik Indonesia. Ia berduet dengan Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 untuk lepas dari cengkeraman penjajah. Soekarno pula yang menjadi pencetus konsep dasar negara yang dirumuskan menjadi Pancasila.
Lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, Soekarno termasuk salah satu murid KH Ahmad Dahlan. Soekarno bersekolah di HBS Surabaya atas bantuan kawan bapaknya, HOS Tjokroaminoto. Ia juga tinggal di rumah Tjokroaminoto, tokoh pergerakan yang kemudian mendirikan Sarekat Islam. Di rumah ini juga tinggal murid-murid Tjokroaminoto lainnya, seperti Alimin, Musso, Darsono, Agus Salim, dan Abdul Muis. KH Ahmad Dahlan yang sering bolak-balik ke Surabaya bertemu Tjokroaminoto menyempatkan mengajar Soekarno dan teman-temannya.
Soekarno yang resmi menjadi kader Muhammadiyah pada tahun 1930 pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah milik Muhammadiyah di Bengkulu. Di kota ini, ia bertemu Fatmawati, kader Aisyiah dan anak tokoh Muhammadiyah setempat, yang kemudian menjadi istrinya.
“Bungkuslah mayat saya dengan bendera Muhammadiyah” adalah wasiat Soekarno seperti ditulis mantan Ketua KPK M Busyro Muqoddas dalam makalahnya yang disampaikan di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, tahun 2015. Wasiat yang menunjukkan kecintaan Soekarno pada Muhammadiyah dikaitkan dengan sang istri yang lahir di kalangan kultur Muhammadiyah.
Soedirman
Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat jenderal besar bintang lima
Lahir: Purbalingga, 24 Januari 1916
Wafat: Magelang, 29 Januari 1950
Orangtua:
Istri:
Anak:
Jendral Soedirman adalah salah satu penggerak revolusi fisik paling menonjol dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam pertempuran Ambarawa dan Magelang (Desember 1945). Dalam agresi militer Belanda I (21 Juli-5 Agustus 1947) dan agresi militer Belanda II (19 Desember 1948), pria yang akrab dipanggil Pak Dirman ini sukses memimpin perang gerilya di beberapa daerah di Pulau Jawa, hingga Indonesia meraih pengakuan kembali sebagai bangsa yang merdeka. Tak heran jika kemudian ia disebut sebagai Bapak Tentara Nasional Indonesia.
Lahir pada 7 Februari 1916 di Rembang, Jawa Tengah, Pak Dirman menempuh pendidikan di HIS Purwokerto, kemudian melanjutkan ke Taman Dewasa, lalu pindah ke Perguruan Wiworo Tomo. Pendidikan terakhirnya di HIK Muhammadiyah Solo. Setelah lulus HIK Muhammadiyah, Pak Dirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah Solo dan aktif dalam kepengurusan Hizbul Wathan (HW). Setelah pindah ke Purwokerto, ia aktif sebagai anggota Muhammadiyah.
Puncak karier Pak Dirman di Muhammadiyah sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah daerah Banyumas. Sebelum berkarier di dunia militer, selain aktif di kepanduan HW, Sudirman muda pernah bergabung dalam barisan Lucht Bescherming Dinest (LBD), Lembaga Dinas Perlindungan Udara yang dibentuk sejak tahun 1939 oleh rezim kolonial Belanda.
Djoeanda Kartawidjaja
Perdana Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perhubungan pada masa pemerintahan Soekarno. Pencetus Deklarasi Djoeanda
Lahir: Tasikmalaya, 14 Januari 1911
Wafat: Jakarta, 7 November 1963
Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911. Lulusan Teknik Sipil Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) atau Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pernah menjadi perdana menteri kesepuluh tahun 1957-1959. Ia juga pernah empat kali menjadi menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perhubungan di zaman Presiden Soekarno.
Namun, kiprah monumentalnya adalah saat mengeluarkan Deklarasi Djoeanda 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa laut Indonesia, yaitu laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah pernyataan yang berani mengingat Indonesia saat itu sedang dipecah-pecah kepulauannya dengan laut dianggap terpisah. Deklarasi ini kelak menjadi titik pangkal kesatuan negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) dan Hukum Laut Internasional yang diakui PBB tahun 1982.
Semasa muda, Djoeanda aktif di Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah. Ayahnya, R Kartawidjaja, pengurus Muhammadiyah di Tasikmalaya. Selepas lulus dari THB, Djoeanda memilih mengajar di SMA Muhammadiyah, Jakarta, dengan gaji seadanya. Padahal, sebenarnya ia juga ditawari menjadi asisten dosen di THB dengan gaji lebih besar. Setelah empat tahun menjadi guru, ia kemudian mengabdi di Jawatan Irigasi Jawa Barat selain aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, Djoeanda menyampaikan testimoninya: “Karena mengindahkan petunjuk orangtua saya, saya kenali Muhammadiyah. Bukan sekadar kenal saja, tetapi saya malah dipercaya memasak kecerdasan putra-putri anak didik Muhammadiyah di masa itu. Penderitaan hidup dan pahit getir, bagi Muhammadiyah bukan soal, adanya hanya kepuasan hati karena kerja sama di antara kita dan pengurus Muhammadiyah tetap terjalin dengan ukhuwah Islamiyah yang seerat-eratnya’’. Djoeanda meninggal di Jakarta pada 7 November 1963.
KH Fachrodin
Perintis Badan Penolong Haji Indonesia
Lahir: Yogyakarta, 1890
Wafat: Yogyakarta, 27 Februari 1929
Orangtua:
Istri:
KH Fachrodin terlahir dengan nama Moehammad Djazoeli. Sepulang dari Tanah Suci, ia menyandang nama Fachrodin atau Fakhruddin. Rumahnya di Kauman, Yogyakarta, berdekatan dengan rumah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beberapa saudara dan kerabatnya sejak awal menjadi murid langsung KH Ahmad Dahlan dan selanjutnya menjadi tokoh penggerak Muhammadiyah dan Aisyiah, seperti KH Syudja’ (kakak) serta Ki Bagus Hadikusumo, KHM Zaini, dan Siti Munjiyah (adik-adik).
Fachrodin tidak pernah mengenyam pendidikan formal, tetapi ia seorang pembelajar sejati. Kemampuan otodidaknya ia buktikan saat bertolak ke Mekkah (1905-1907). Selain berhaji, kesempatan ini ia manfaatkan untuk menimba ilmu. Ia kemudian dikenal akan kepandaiannya berpidato, berorganisasi, dan mengarang.
Tidak heran jika kemudian ia dipercaya sebagai pemimpin redaksi pertama Suara Muhammadiyah yang terbit tahun 1915. Tulisannya yang tajam diperkuat dengan karakternya yang teguh pendirian, mandiri, dan terbuka. Fachrodin membantu mengurusi nasib jemaah asal Indonesia yang mendapat perlakuan kurang baik dari pejabat setempat. Sepulangnya dari sana, ia memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Ia juga pernah diutus menghadiri konferensi Islam di Kairo sebagai wakil umat Islam Indonesia.
Pada usia 26 tahun, Fahcrodin dipercaya sebagai Sekretaris PP Muhammadiyah selama beberapa tahun. Pada tahun 1920, ia ditetapkan sebagai Ketua Bagian (sekarang Majelis) Tabligh PP Muhammadiyah, lalu menjadi Wakil Ketua I PP Muhammadiyah pada periode kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1932).
KH Fachrodin menikah dengan Siti Moeljati binti H Ichsan. Fachrodin menjelma menjadi tokoh pergerakan nasional yang disegani dan dihormati. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 162 Tahun 1964. Fahcrodin meninggal di Yogyakarta pada 27 Februari 1929 dalam usia 39 tahun.
H Abdul Malik Karim Amrullah
Ikut dalam perang gerilya melawan Belanda di Medan pada 1945, Ketua Barisan Pertahanan Indonesia
Lahir: 17 Februari 1908
Wafat: 24 Juli 1981
Orangtua:
Istri:
Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan nama Hamka (singkatan huruf depan namanya), adalah ulama, politisi, dan sastrawan. Ia pernah menjadi wartawan, penulis, dan pengajar selain aktif di Partai Masyumi sebelum partai itu dibubarkan. Hamka tercatat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayat.
Hamka mendapat pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sini, Hamka ikut menimba ilmu agama dan bahasa Arab. Ia juga banyak membaca buku agama dan sastra lewat perpustakaan milik gurunya.
Hamka senang merantau. Suatu kali, sepulang merantau selama setahun, Hamka kembali untuk membesarkan Muhammadiyah. Namun, ia ditolak karena tidak memiliki diploma dan dianggap buruk kemampuan Bahasa Arab-nya. Hamka kemudian bertolak ke Mekkah untuk belajar agama dan Bahasa Arab.
Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Ia juga menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat serta buku sastra Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang melambungkan namanya sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Ia kemudian ke Jakarta dan memilih jalur politik. Dalam Pemilihan Umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Soekarno.
Gatot Mangkoepradja
Pendiri pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang menjadi cikal bakal BKR, TKR, hingga TNI
Lahir: Sumedang, 25 Desember 1898
Wafat: Bandung, 4 Oktober 1968
Orangtua:
Gatot Mangkoepradja lahir dari keluarga berpendidikan. Ayahnya, Saleh Mangkoepradja, adalah dokter pertama asal Sumedang. Keterlibatan Gatot dalam pergerakan nasional berawal ketika ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia. Ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) segera setelah partai itu didirikan Soekarno.
Belanda memerintahkan penangkapan dirinya dan para pemimpin PNI lainnya akibat menjunjung tinggi konsep revolusi Indonesia. Gatot ditangkap bersama-sama Ir Soekarno lantas dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pengadilan keduanya bersama beberapa tokoh lain dikenal dengan peristiwa Indonesia Menggugat.
Selepas dari penjara, Gatot bergabung dengan Partindo, partai pecahan PNI, tetapi keluar dan bergabung dengan PNI-Baru pimpinan Moh Hatta. Pada saat itu, bersamaan dengan Gatot menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Pada masa pendudukan Jepang, Gatot yang dikenal baik oleh Jepang diberi wewenang menjalankan Gerakan 3A, yakni Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Namun, Gatot tidak mau bekerja sama. Akibat penolakannya, ia ditahan oleh Kempetai. Keluar dari tahanan, Gatot mengusulkan kepada Jepang pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang kemudian terbentuk resmi 3 Oktober 1943. Peta berperan penting menjaga kemerdekaan dari Belanda dan sekutu yang mencoba bercokol kembali di Indonesia. PETA juga menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
KH Mas Mansoer
Salah satu dalam Empat Serangkai tokoh pergerakan nasional bersama Soekarno, Moh Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara, anggota BPUPKI
Lahir: Surabaya, 25 Juni 1896
Wafat: Surabaya, 25 April 1946
Orangtua:
Istri:
Anak:
Mas Mansoer mengawali pendidikan dengan belajar agama pada ayahnya sendiri, KH Mas Achmad Marzoeqi, bangsawan Madura yang juga ahli agama terkenal di Jawa Timur. Ayahnya juga imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. Mas Mansoer juga belajar di Pesantren Sidoresmo lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan. Ia kemudian dikirim ke Tanah Suci untuk berhaji dan belajar agama di Mekkah. Situasi politik mendorong Mas Mansoer bergeser ke Mesir. Ia belajar di Perguruan Tinggi Al Azhar. Di Mesir saat itu sedang tumbuh semangat nasionalisme dan pembaruan. Mas Mansoer memanfaatkannya dengan membaca tulisan-tulisan di media massa dan mendengarkan berbagai pidato.
Ia kembali ke Tanah Air tahun 1915 dan bergabung dengan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Mas Mansoer dipercaya sebagai penasihat pengurus besar SI. Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran) bersama Wahab Hasboellah.
Ia juga rajin menuliskan pemikirannya dan aktif dalam berbagai organisasi. Tahun 1921 ia masuk Muhammadiyah yang meniupkan angin segar pembaruan. Ia didapuk sebagai Ketua PP Muhammadiyah untuk periode 1937-1943.
Mas Mansoer memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga mencetuskan ide berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ketika Jepang berkuasa, Mas Mansoer satu dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan. Mereka dikenal sebagai empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansoer. Pemerintah kemudian menetapkan Mas Mansoer sebagai pahlawan nasional.
Ki Bagoes Hadikoesoemo
Anggota BPUPKI dan PPKI
Lahir: Yogyakarta, 24 November 1890
Wafat: Jakarta, 4 November 1954
Lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dengan nama R Hidayat, Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo adalah anak ketiga dari lima bersaudara anak Raden Kaji Lurah Hasyim. Ki Bagoes mengenyam pendidikan umum dan agama, yakni di Sekolah Rakyat dan Pondok Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Ia dikenal mahir dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda, hasil belajar kepada Ngabehi Sasrasoeganda serta bahasa Inggris dari tokoh Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig.
Selain menyenangi sastra dan menulis, ia juga menyukai olahraga dan seni. Terbukti dari kiprahnya mendirikan perkumpulan sandiwara Setambul dan klub sepak bola Kauman Voetbal Club yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan.
Ki Bagoes dikenal aktif di Muhammadiyah. Ia pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh, Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofbestuur Muhammadiyah, dan Ketua PP Muhammadiyah.
Ketika KH Mas Mansoer dipaksa Jepang menjadi Ketua Pusat Tenaga Rakyat, Ki Bagus diminta menggantikan posisi Ketua Umum PP Muhammadiyah yang ditinggalkan Mas Mansoer. Saat itu, Ki Bagoes juga menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Pemerintah kemudian menetapkannya sebagai pahlawan nasional.
Kasman Singodimedjo
Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (cikal bakal DPR), anggota BPUPKI dan PPKI
Lahir: Purworejo, 25 Februari 1904
Wafat: Jakarta, 25 Oktober 1982
Jabatan:
Dalam sebuah forum, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengalami perpecahan suara terhadap Piagam Jakarta. Terjadi tarik-menarik antara kelompok Muslim dan non-Muslim. Kasman melobi kedua kubu untuk berdamai dan berhasil. Inilah salah satu jasa besarnya. Sebab, jika dia gagal mendamaikan kedua kubu, bisa jadi Republik Indonesia tidak pernah ada.
Pokok persoalannya adalah tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kelompok non-Muslim keberatan. Kasman kemudian meyakinkan kelompok Muslim bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat mewakili tujuh kata tersebut.
Kasman yang berpandangan nasionalis ini aktif dalam berbagai organisasi. Selain Muhammadiyah, dia aktif di Jong Java, Jong Islamiten Bond, dan Masyumi. Pada 8 November 2018, Presiden Joko Widodo memberi anugerah pahlawan nasional kepada Kasman.
Penulis: Mohammad Hilmi Faiq, Sri Rejeki | Penyelaras Bahasa: Priskilia Bintang Cornelia Sitompul | Editor Foto: Toto Sihono | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Produser: Sri Rejeki, Prasetyo Eko Prihananto | Sumber referensi: suaramuhammadiyah.id, uad.ac.id
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.