“Sang Pemburu” yang Terus Diburu

Memuat Halaman

"Sang Pemburu"
yang Terus Diburu
Sebagai burung pemangsa, elang berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem. Keberadaannya juga memberikan banyak manfaat bagi manusia. Ironisnya, “sang pemburu” itu terus diburu sehingga terancam punah. Elang semakin jarang ditemukan di alam. Kerusakan habitat dan perburuan menjadi penyebab utamanya. Upaya merehabilitasi elang terus dilakukan di lembaga konservasi. Namun, itu tidak cukup. Peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan serta tidak memburu dan memelihara elang justru jauh lebih penting. Perburuan elang di alam memang tak kunjung meredup. Namun, asa untuk melestarikannya harus tetap hidup.

Kerabat Kerja

Penulis: Tatang Mulyana Sinaga, Abdullah Fikri Ashri, Machradin Wahyudi Ritonga, Cornelius Helmy | Fotografer: Tatang Mulyana Sinaga, Abdullah Fikri Ashri, Machradin Wahyudi Ritonga, Heru sri kumoro, Ferganata Indra Riatmoko, Lasti Kurnia | Videografer: Tatang Mulyana Sinaga | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Desainer Grafis: Ningsiawati | Desainer & Pengembang: Yulius Giann, Elga Yuda Pranata | Produser: Sri Rejeki

Perlindungan
Suara elang yang bersahutan memecah keheningan pagi di Kampung Citepus, Desa Sukakarya, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (20/11/2019). Namun, ratusan elang itu tidak terbang di alam, tetapi terkurung di dalam kandang Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK).
Terdapat 136 elang yang direhabilitasi di PKEK. Mayoritas merupakan sitaan dari kepemilikan ilegal. Rehabilitasi diperlukan sebelum elang dilepas ke alam. Sebab, insting berburunya telah hilang karena terlalu lama dipelihara manusia.
Akan tetapi, di tengah upaya konservasi tersebut, manusia masih saja menjadi musuh utama para penguasa angkasa. Kerakusan manusia membuat hutan sebagai habitat elang semakin rusak. Dari 130 juta hektar hutan tersisa di Indonesia, 42 juta hektar habis ditebang. Penyusutan mencapai sedikitnya 1,1 juta hektar per tahun (Kompas, 22 Desember 2015).
Perburuan juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian elang. Masifnya perdagangan elang tidak berbanding lurus dengan perkembangbiakannya di alam. Sebagian besar elang hanya bertelur satu butir dalam setahun. Itu pun terkadang ada yang mati sebelum usia dewasa.
Selain di pasar hewan, elang juga dipasarkan secara daring. Padahal, menurut Manajer Operasional PKEK Zaini Rakhman, semua jenis elang di Indonesia dilindungi pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Saat ini ada 311 jenis elang di dunia. Sebanyak 90 jenis ada di Asia, 81 jenis di antaranya ada di Indonesia.
Khusus genus nisaetus, total ada delapan jenis di Asia Timur, enam di antaranya ada di Indonesia. Tiga di antaranya jenis endemik, yaitu elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang flores (Nisaetus floris), dan elang sulawesi (Nisaetus lanceolatus)
Konservasi
Pusat Konservasi Elang Kamojang adalah harapan hidup bagi ratusan elang. Pembangunan PKEK digagas bersama antara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jabar, PT Pertamina Geothermal Energy, dan komunitas Raptor Indonesia.
Berdiri sejak Oktober 2014, lembaga itu telah merehabilitasi 250 elang dari berbagai jenis. Lembaga konservasi ini menerapkan standar rehabilitasi elang. Dalam pembuatan kandang, misalnya, lebarnya selalu lebih dari rentang sayap sehingga tidak membatasi pergerakannya.
Operasionalnya merujuk aturan internasional, seperti Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN), Federasi Global untuk Suaka Satwa (GFAS), Badan Rehabilitasi Satwa Liar Dunia (IWRC), dan Panduan Penyelamatan dan Rehabilitasi Raptor (NWRA).
Sejumlah 47 ekor di antaranya dilepasliarkan ke alam dengan tingkat keberhasilan 74 persen. Artinya, sebagian besar elang mampu hidup beradaptasi di alam liar.
Elang-elang di kandang rehabilitasi juga dilindungi dari paparan penyakit yang berpotensi ditularkan melalui manusia. Jadi, pengunjung dilarang memasuki area kandang tersebut.
Akan tetapi, PKEK tidak hanya merawat elang untuk dilepasliarkan. Saat ini, setidaknya ada 14 ekor yang mengalami cacat fisik permanen di kaki, sayap, dan mata sehingga kecil kemungkinan dilepasliarkan.
Elang yang cacat permanen ditempatkan di kandang displai. ”Meskipun tidak bisa dilepasliarkan, elang-elang ini tetap dibutuhkan untuk mengedukasi pengunjung,” ujar Manajer Operasional PKEK, Zaini Rakhman.
Elang ular ras Sumatera (Spilornis cheela) jantan bernama Kunyit, misalnya, datang dari Sukabumi dengan cacat sendi kaki kiri. Oleh manusia yang dulu memeliharanya, kaki Kunyit kerap diikat guna mencegahnya terbang. Hal itu membuat Kunyit tak bisa mencengkeram mangsa dengan baik. Saat datang, sifat liarnya hilang. Kunyit terbiasa makan di lantai dan tidak takut dekat dengan manusia.
Pelepasliaran
Deburan ombak pantai selatan menemani Yasmin dan Iteung, sepasang elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) kembali ke alam di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhir November lalu. Berbatasan dengan Samudra Hindia, tempat itu akan menjadi rumah baru mereka.
Sejak Mei 2017, Yasmin, pejantan berumur tiga tahun dengan bentang sayap 3 meter dipelihara di PKEK Garut. Dia diserahkan warga secara sukarela.
Lama tak punya pasangan, akhirnya datang Iteung. Betina berusia 1 tahun 6 bulan itu memiliki bentang sayap 1 meter. Iteung dititipkan sebagai sitaan operasi satwa liar di Garut yang dilakukan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar, Maret 2018. Sebelumnya, sepasang elang itu menempati habituasi di Sancang selama sebulan untuk pengenalan wilayah baru.
Elang laut perut putih terbilang khas karena hanya tinggal di sebagian wilayah Asia dan Australia. Mereka adalah raja udara di banyak pesisir pantai.
Akan tetapi, badan yang besar tak menjamin kehidupan aman. Berstatus least concern alias berisiko rendah menuju punah, Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) memperkirakan, jumlahnya masih 670-6.700 ekor, tetapi berpotensi terus turun.
Jumlah elang laut perut putih lebih banyak ketimbang elang jawa (Nisaetus bartelsi) khas Indonesia yang berjumlah 300-500 ekor. Namun, elang laut perut putih jauh lebih sedikit ketimbang elang laut ekor putih (Haliaeetus albicilla) yang diperkirakan ada 20.000-50.000 ekor.
Di Indonesia, elang laut perut putih dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 dan Nomor 8 Tahun 1999.
”Elang ini banyak diburu karena punya bentuk tubuh besar dan kombinasi bulu putih dan abu-abu. Tinggal di kandang meruntuhkan naluri liarnya. Perannya untuk lingkungan juga rentan terancam,” kata Zaini.
Kepala Bidang BKSDA Wilayah III Ciamis Himawan Sasongko mengatakan, saat ini tidak mudah mencari ekosistem alami di Jabar. Himawan mengatakan, hutan bakau dan area hijau di pesisir mulai berubah menjadi kawasan permukiman sehingga tidak tersisa tempat bagi elang laut. Sejauh ini hanya Leuweung Sancang yang paling tepat untuk melepasliarkan.
”Elang laut dapat menjadi indikator kelestarian ekosistem pantai. Sebagai hewan pemegang puncak rantai makanan, elang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Mereka hanya bisa tinggal di daerah yang memiliki pohon tinggi,” katanya.
Nyaris setahun setelah pelepasliaran, kabar terakhir menyebutkan, hanya Yasmin yang masih hidup. Iteung ditemukan mati 77 kilometer dari titik pelepasliaran. Diduga, ia terjebak badai. Setidaknya, Iteung mati dengan terhormat. Dia mati karena berjuang hidup di alam bukan akibat ulah manusia.
Lingkungan Sehat
Melestarikan elang bukan sekadar menyelamatkan satwa liar. Keberadaan elang juga menjadi indikator lingkungan sehat sehingga membantu kehidupan manusia.
Elang laut, misalnya. Bagi nelayan, elang laut dikenal sejak lama sebagai patokan area penangkapan ikan di laut lepas. Tubuh besarnya berfungsi sebagai global positioning system dalam memetakan letak ikan. Elang ini terbang berputar di atas gerombolan ikan dalam mencari mangsa.
Bagi petani, elang sangat membantu dalam memburu tikus yang sering memakan padi. Namun, karena populasi elang menyusut, tikus semakin banyak sehingga merusak padi petani.
Zaini mencontohkan, sarangnya yang berada di hulu sungai, menempatkan elang jawa sebagai indikator ketersediaan air. ”Apabila elang jawa masih ditemukan, bisa dipastikan ketersediaan air masih ideal. Pertamina Geothermal Energy (PGE) Kamojang sebagai pendukung utama PKEK sadar benar dengan hal ini,” katanya.
Dalam beberapa kesempatan, Direktur Utama PGE Ali Mundakir mengatakan, elang sangat vital mendukung kelangsungan operasional energi terbarukan panas bumi. Seperti elang, pemanfaatan panas bumi memerlukan daya dukung lingkungan ideal. Saat ini, PGE Kamojang menghasilkan 235 megawatt y bisa digunakan 235.000 rumah berkapasitas 1.000 watt.
Keberadaan elang juga membawa manfaat bagi Ahmad Nur Fathurodin (37), pemilik kedai kopi khas Garut. Warga Sukakarya, Samarang, itu mengaku, delapan dari 24 jenis biji kopi andalannya ditemukan elang. ”Patokan saya mencari kebun kopi adalah elang yang terbang di atasnya. Elang adalah indikator lingkungan sehat,” ujarnya.
Di tengah roda zaman yang kian kencang, elang tak bisa dibiarkan sendirian. Peran manusia dibutuhkan guna menjamin kelangsungan hidupnya. Toh, saat elang dibiarkan menguasai angkasa, manusia juga akan merasakan manfaatnya.
Ekonomi Masyarakat
Konservasi elang di Kamojang juga memutar roda ekonomi warga. Kebutuhan pakan elang di PKEK membuat warga beternak marmot dan kelinci untuk mendulang rupiah hingga menekan angka putus sekolah.
Cicitan berisik marmot terdengar nyaring menyambut Ahmad Nursobar (26) saat tiba di rumah Jajang Cahyana (31) di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Garut, Jawa Barat, Selasa (19/11/2019). Hari itu jadwal Nursobar mengambil marmot untuk pakan elang di PKEK di Samarang, Garut.
Nursobar adalah sukarelawan di PKEK, salah satu suaka elang di Indonesia. Beroperasi sejak 2014, total 239 elang dirawat di PKEK. Sebanyak 46 ekor dilepasliarkan dan 126 lainnya masih dirawat. Namun, tercatat 67 elang mati akibat luka dan sakit. Setiap hari, elang-elang yang dirawat butuh 80 marmot, hasil pembiakan 70 peternak mitra.
Setelah menyambut kedatangan Nursobar, Jajang lantas mengambil satu per satu marmot dari kandang bambu. Marmot berusia rata-rata 1,5 bulan dan berbobot sekitar 300 gram. Tiap ekor marmot dihargai Rp 9.000. Dari penjualan 56 marmot, Jajang menerima Rp 504.000.
Jajang, yang juga pedagang keliling dompet dan sabuk kulit, baru tiga bulan terakhir memasok marmot ke PKEK. Ia menjual marmot setiap dua minggu sekali. ”Uang (penjualan) marmot untuk biaya persalinan anak kedua. Dagangan kulit lagi sepi,” katanya.
Berjarak sekitar 15 kilometer dari rumah Jajang, di kaki Gunung Cikuray, marmot untuk elang PKEK ikut membantu Arip Maulani (38), warga Sukamulya, Bayongbong, Garut, dalam menunaikan tugas mulia.
Lewat lembaga pendidikan Ibnu Hambali, Arip punya misi menyelamatkan masa depan 22 anak usia SD-SMA di sekitar rumahnya dari putus sekolah lewat program Gerakan Santri Mandiri. Salah satu aplikasinya memelihara ternak. Selain marmot, ada juga kelinci dan domba.
Paling anyar, uang penjualan marmot menjadi bekal Ujang Gunawan (19) melanjutkan pendidikan di salah satu universitas negeri di Bandung. Setengah biaya hidup Rp 1 juta per bulan anak buruh tani itu dibiayai dari ternak marmot.
”Satu sisi, marmot dan elang ikut menekan angka putus sekolah. Sisi lainnya, semoga makin banyak elang dilepasliarkan, termasuk di Cikuray. Jika jadi habitat elang, Cikuray yang gundul mungkin bisa hijau lagi agar buruh tani di sini tidak sulit air menggarap sawah,” kata Arip.
Kelahiran
Selain di Kamojang, harapan juga muncul dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Di sana, teridentifikasi populasi elang jawa (Nisaetus bartelsi) di Gunung Ciremai, Jawa Barat, meningkat dan sejumlah individu bertelur setiap tahun dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan identifikasi tim elang jawa Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) pada 2015-2019, terdapat 29 individu ekor elang. Pemantauan dilakukan di sepuluh titik yang antara lain tersebar di Blok Cilengkrang, Lambosir, dan Cipari di Kabupaten Kuningan serta Blok Sangiang dan Gunung Larang di Kabupaten Majalengka.
Lokasinya di atas 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pemantauan berdasarkan tangkapan kamera, perjumpaan dengan petugas, dan keterangan masyarakat.
”Populasi elang jawa ini lebih banyak dibandingkan pemantauan saat 2011, yang hanya empat ekor. Jumlahnya juga terus bertambah,” ujar Iwan Sunandi, petugas pengendali ekosistem hutan (PEH) Balai TNGC yang fokus pada pemantauan elang Jawa, Selasa (8/10/2019) sore, saat ditemui di Kuningan, Jawa Barat.
Menurut Iwan, di Blok Cipari dan Cilengkrang bahkan terdapat sarang burung elang jawa. Hasil pemantauan, dalam tiga tahun terakhir, sepasang elang jawa di dua lokasi itu tidak hanya bertelur, tetapi juga menetaskan telurnya setiap tahun. Di Cipari, terdapat lima elang jawa, termasuk dua remaja dan satu ekor anak elang. Sementara di Cilengkrang teridentifikasi enam elang, termasuk dua remaja dan dua anak elang.
”Ini penemuan baru karena biasanya, elang jawa bertelur dua tahun sekali. Ini kabar gembira,” katanya. Seperti diketahui, elang jawa masuk dalam status terancam punah (endangered) berdasarkan daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN). Padahal, burung tersebut merupakan predator puncak yang mampu menjaga ekosistem hutan, termasuk fauna yang menjadi pakannya.
Temuan tersebut sudah dituliskan dalam bentuk laporan oleh Iwan, Silvia Lucyanti, dan Kuswandono dari Balai TNGC. Menurut rencana, pihaknya akan mempresentasikan perkembangan elang jawa tersebut dalam simposium Asian Raptor Research and Conservation Network International Ke-11 di Bali, 10-11 Oktober mendatang.
Kepala Balai TNGC Kuswandono menilai peningkatan populasi dan temuan baru tersebut menunjukkan, daya dukung lingkungan di Gunung Ciremai setinggi 3.078 mdpl masih memadai untuk habitat elang jawa. Dengan luas hampir 15.000 hektar, menurut dia, TNGC masih punya banyak lokasi untuk tempat elang berjambul itu berkembang biak.
Daya jelajah elang jawa di Ciremai diduga mulai dari 3,57 kilometer persegi hingga 10,237 kilometer persegi. Wilayah tersebut tersebar di 10 titik. Namun, pihaknya belum memiliki referensi kepadatan habitat elang jawa sehingga sulit mengetahui jumlah ideal elang jawa di Ciremai.
”Melihat pola penyebarannya, patut diduga masih ada populasi elang jawa yang belum teridentifikasi di Ciremai. Wilayah kosong itu, antara lain terdapat di antara Blok Gunung Larang-Cicangkrung, Blok Sangiang-Legok Imah, dan Blok Cilengkrang-Sayana,” kata Kuswandono.
Harapan
Rehabilitasi elang tidak cukup mengandalkan lembaga konservasi. Peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan serta tidak memburu dan memelihara elang justru jauh lebih penting.
Oleh sebab itu, untuk menyadarkan masyarakat, PKEK juga menjalankan fungsi edukasi. Warga dapat mengunjunginya secara gratis. Pengunjung akan diberi tahu informasi mengenai penyebaran dan habitat elang serta upaya-upaya menyelamatkannya dari kepunahan.
Edukasi itu mulai membuahkan hasil. ”Seorang warga menyerahkan elang peliharaannya setelah anaknya berkunjung ke sini. Ada juga warga setempat yang semula memburu elang, kini justru menjadi informan tentang habitat elang,” ujarnya.
Zaini berharap, langkah kecil mengenalkan elang kepada pengunjung akan berdampak luas terhadap kesadaran masyarakat untuk tidak memelihara elang. Apalagi jika pesan itu terus digaungkan di tengah masyarakat, salah satunya lewat lembaga pendidikan.
”Jangan lagi mengambil elang dari alam. Kalau tidak bisa melindunginya, minimal tidak memeliharanya karena itu bisa memancing orang-orang memburu elang untuk dijual,” ujarnya.
Zaini menyadari, tantangan konservasi elang di Indonesia sangat kompleks. Jadi, upaya rehabilitasi juga memerlukan tahapan lebih banyak dengan waktu lebih lama dibandingkan di negara lain.
Dokter hewan di PKEK, Dian Tresno Wikanti, mengatakan, tidak jarang pihaknya menerima elang dengan kondisi cacat. Insting berburunya hilang akibat sudah dipelihara dari kecil sehingga tidak pernah memangsa makanannya di alam.
Jadi, setelah lukanya diobati, elang tidak langsung dilepasliarkan. Namun, harus dilatih berburu dahulu agar tidak mati jika dilepas di alam liar.
”Rehabilitasi elang di luar negeri tidak menghadapi masalah-masalah itu. Kebanyakan di sana hanya mengobati elang yang terluka akibat menabrak mobil atau kaca jendela,” ujarnya.
Dengan kompleksnya masalah elang-elang di Indonesia, Zaini mengatakan, Indonesia berpotensi sebagai laboratorium penelitian elang. ”Referensi rehabilitasi elang masih bersumber dari luar negeri. Padahal, permasalahan di Indonesia jauh lebih rumit. Harusnya kita juga bisa menjadi referensi,” ujarnya.

Menu