KompasKompasSinyal Waspada Perberasan

Sinyal Waspada
Perberasan

Jelang pengujung 2017, industri perberasan nasional mengirim sinyal waspada. Harga cenderung naik, stok menipis, sementara panen raya diperkirakan baru terjadi Februari 2018. Sejumlah pihak mengingatkan adanya potensi gejolak.

Tidak seperti biasa, Rabu (29/11) siang, sentra penggilingan padi Karangsinom, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tampak lesu. Matahari bersinar garang, tetapi justru banyak penggilingan tidak beroperasi. Pagar pabrik tertutup rapat. Truk pengangkut hanya sesekali lewat. Tak banyak gabah dijemur. Kalaupun ada, jumlahnya tak seberapa, umumnya milik penggilingan skala besar atau mitra Perum Bulog.

”Sudah tiga bulan seperti ini. Banyak kuli seperti saya tidak bekerja,” kata Randim (30), kuli salah satu penggilingan di Karangsinom. Namun, tetap bekerja tak lantas membuatnya bahagia sebab upahnya justru turun. Akhir November, dia hanya mendapat Rp 20.000-40.000 per hari, turun 75-80 persen, dibandingkan dengan sebelum jumlah gabah yang diproses sangat sedikit.

Pemilik penggilingan tak kalah pusing. Mereka harus memutar otak untuk mencari solusi agar tetap bertahan. Dasmul (57), pemilik pabrik penggilingan AL, kebingungan menyiasati harga gabah yang mencapai Rp 6.800 per kilogram (kg) kering giling di pabrik. Dengan harga bahan baku sebesar itu, ongkos produksi beras Rp 11.500 per kg. Namun, pedagang pelanggannya di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta hanya menawar Rp 10.200-Rp 10.300 per kg.

Hanya sepertiga dari 53 pabrik penggilingan yang masih rutin beroperasi. Selebihnya mati suri.

Situasi itu membuat usaha Dasmul lesu. Dia biasanya mengirim beras ke PIBC 10-35 ton per hari, tetapi akhir November maksimal hanya 8 ton per hari. Dia pun terpaksa merumahkan 35 pekerja. ”Saya tidak enak dengan pekerja. Nama perusahaan saya AL atau Asal Luwih. Seharusnya memberi luwih (untung), bukan rugi,” katanya.

Perkumpulan Pedagang Beras Karangsinom memperkirakan, hanya sepertiga dari 53 pabrik penggilingan yang masih rutin beroperasi. Selebihnya mati suri atau beroperasi jauh di bawah kapasitas produksi. Setiap pabrik biasanya mempekerjakan 15-50 orang.

Tak hanya di penggilingan padi, indikasi berkurangnya pasokan terlihat di pasar beras, lokasi panen, serta warung pengecer dan rumah tangga. Penelusuran Kompas di sejumlah sentra penghasil padi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung, pada 14-30 November, memperkuat indikasi tersebut.

Stok Beras Pasar Induk Cipinang
pada tanggal 10 Desember 2017

Sumber : http://pibc.foodstation.co.id

Kenaikan harga gabah menjadi indikasi berkurangnya bahan baku. Di Anjatan, Kabupaten Indramayu, harga gabah telah mencapai Rp 5.500 per kg kering panen (GKP), naik 20 persen dibandingkan dengan harga saat panen Agustus 2017 yang berkisar Rp 4.500-Rp 4.600 per kg. Angka itu juga jauh lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 3.700 per kg GKP.

Di Klagensrampat, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (24/11), harga gabah di tingkat petani Rp 5.300 per kg GKP. Harga ini naik 17-26 persen dibandingkan dengan satu bulan sebelumnya yang berkisar Rp 4.200-Rp 4.500 per kg. Sementara harga gabah kering giling (GKG) di Jawa Timur rata-rata naik dari Rp 5.300 per kg menjadi 5.900 per kg dua bulan terakhir.

Di Mranak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, harga gabah naik dari Rp 5.600 per kg GKG jadi Rp 6.000 per kg tiga pekan terakhir pada November. Oleh karena itu, selain mengandalkan stok gabah dari panen musim sebelumnya, sejumlah pengusaha penggilingan juga harus berburu gabah hingga ke kabupaten, bahkan lintas provinsi.

Kompas/TOTOK WIJAYANTO
Buruh mengaduk beras sebelum dikemas ke dalam karung di Pasar Beras Karawang, Jawa Barat, Selasa (14/11).Jumlah beras yang masuk ke Johar hanya 500-600 ton per hari pada beberapa pekan terakhir ini, atau hanya separuh dari pasokan saat musim panen yang mencapai 1.100 ton per hari.

Situasi di pasar beras turut memperkuat indikasi. Di Pasar Beras Johar, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga beras medium naik dari Rp 9.200 per kg menjadi Rp 9.500 per kg selama Oktober-November. Menurut Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Beras Johar Sri Narbito, pasokan pun turun dari normalnya 1.100 ton per hari menjadi 500-600 ton per hari.

Kenaikan harga juga terpantau di Pasar Genteng, Surabaya; Pasar Beras Dargo, Semarang; Pasar Tugu dan Koga, Bandar Lampung; dan Pasar Legi, Solo. Di warung-warung pengecer di perkampungan penghasil padi, seperti di Haurgeulis dan Anjatan (Indramayu) serta Siwalan (Pekalongan), harga beras termurah naik dari Rp 9.000 per kg menjadi Rp 10.000 per kg dalam dua bulan terakhir.

Gerus Daya Beli Warga Miskin

Pada musim paceklik seperti sekarang, petani gurem serta buruh tani tak punya beras lagi, setidaknya stoknya jauh berkurang. Mereka menjadi konsumen murni (netconsumer) beras. Oleh karena itu, harga tinggi saat ini tidak mereka nikmati, dan yang terjadi justru sebaliknya, seperti yang dialami keluarga Sijan (76), petani di Kertanegara, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu.

Selasa (14/11) sore, Nurhayati (32), bungsu dari empat anak Sijan, menampi beras di sisi luar rumah. Matanya menyisir permukaan beras yang terhampar di tampah untuk mencari kerikil, kutu, atau sekam. Ia lalu menerbangkan bulir-bulir beras itu dengan sekali empas. ”Fyuhhhhh,” dia meniup kencang saat beras di udara.

Segenap tenaga, waktu, dan harta dikerahkan untuk mengobati tanaman, tetapi hasil panen tetap saja anjlok.

Kotoran tersingkir. Beras memang tampak lebih bersih. Namun, tetap saja banyak bulir patah dan warnanya tak seragam. ”Ini campuran raskin (beras untuk keluarga miskin) dan beras warung. Separuh-separuh. Kalau tidak dicampur, rasanya kurang enak,” kata Nurhayati.

Dalam situasi paceklik, rastra (beras untuk keluarga sejahtera) menjadi barang sangat berharga bagi keluarga Sijan. Jatah pemerintah untuk setiap rumah tangga sasaran semestinya 15 kg per bulan. Namun, seperti jamak terjadi sejak program bantuan pangan itu masih bernama raskin, beras subsidi yang harus ditebus Rp 1.600 per kg itu dibagi rata di banyak desa. Istilahnya ”bagito” atau dibagi roto, jatah beras dibagi rata sesuai jumlah keluarga.

Kompas/TOTOK WIJAYANTO
Nurhayati menampi beras ditemani ibunya, Kasturi, di depan warungnya di Desa Kertanegara, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (14/11). Mereka telah beberapa kali mengalami gagal panen akibat serangan hama.

Oleh karena dibagi rata, Sijan hanya mendapat jatah 4 liter (3,2 kg) rastra setiap bulan. Sisa kebutuhan beras dia beli di warung beras yang harganya naik dari Rp 9.000 per kg menjadi Rp 10.000 per kg dua bulan terakhir.

Dengan sawah garapan seluas total 5 bahu atau sekitar 3,75 hektar, produksi gabah Sijan yang mencapai 40 ton (setara 20 ton beras) semestinya surplus. Sebab, kebutuhan makan enam anggota keluarganya rata-rata hanya 30 kg per bulan atau 360 kg per tahun. Namun, serangan penyakit kerdil rumput menghancurkan panen Sijan tiga musim terakhir.

Saat panen musim gadu lalu, akhir Juli, Sijan hanya memperoleh o,6 ton gabah per bahu garapannya, lebih parah dari dua musim sebelumnya. Padahal, saat situasi normal, panennya bisa mencapai 4 ton per bahu.

Tak sedikit petani di Haurgeulis dan Anjatan (Indramayu), juga di Compreng dan Cipunagara (Subang), senasib dengan Sijan. Segenap tenaga, waktu, dan harta dikerahkan untuk mengobati tanaman, tetapi hasil panen tetap saja anjlok. Ledakan hama adalah bencana bagi ekonomi desa.

Kompas/TOTOK WIJAYANTO
Buruh-buruh tani asal Subah, Batang, memanen dan merontokkan padi di kawasan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (15/11). Untuk setiap hektar padi yang dipanen, dengan tenaga 18 orang, mereka mematok upah Rp. 3 juta.

Kasturi (63), istri Sijan, berharap bisa menutup utang modal suaminya dari hasil jualan. Warungnya yang sederhana, di pojok jalan desa, menjajakan makanan, bahan pangan seperti telur ayam, ikan asin, dan aneka bumbu dapur, juga sabun, sampo, pasta gigi, dan jajanan anak. Namun, warungnya kini sepi pembeli.

”Banyak petani di desa ini gagal panen. Dagangan saya jadi tak laku. Kalaupun ada pembeli, jumlahnya tak seberapa, malah kadang mintanya utang dulu. Padahal, utang kami juga masih banyak di kios (sarana produksi pertanian),” kata Kasturi.

Pendaftaran Pilkada
berdasarkan Jenis Pencalonan

Sumber : http://pibc.foodstation.co.id

Sambil memulai musim tanam rendeng, Sijan-Kasturi kepayahan memenuhi kebutuhan pangannya. Meski bekerja di sektor pertanian, keluarga Sijan dan mayoritas petani gurem dan buruh tani adalah kelompok paling rentan atas kenaikan harga pangan. Sedikit saja harga beras naik, daya beli mereka tergerus.

Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah petani dengan luas lahan kurang dari 2 hektar mencapai 22,9 juta rumah tangga atau 87,6 persen dari total rumah tangga petani. Sebagian besar di antaranya malah memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sementara jumlah buruh tani diperkirakan lebih dari 5 juta rumah tangga.

Dampak Pembatasan Harga Eceran

Seperti di Karangsinom, situasi serupa terjadi di Solo Raya, Jawa Tengah, sentra lain pemasok beras ke PIBC Jakarta. Ali Mustofa, pengurus Komunitas Penggilingan Padi Jawa Tengah-Yogyakarta, menyebutkan, 40 persen dari ratusan penggilingan padi kecil di Solo Raya sudah berhenti berproduksi karena kehabisan bahan baku. Sebagian penggilingan masih beroperasi, tetapi libur 1-3 hari dalam sepekan.

Situasi ini berbeda dengan tahun lalu. Menurut Ali, pada November-Desember 2016, meski panen dan pasokan gabah berkurang, penggilingan masih beroperasi. Tahun ini, selain pasokan yang berkurang di musim paceklik, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras memaksa pengusaha penggilingan berpikir ulang untuk membeli dan menyimpan gabah.

Itu karena ongkos produksi tak mampu mengejar HET, khususnya beras kualitas medium yang harganya dipatok Rp 9.450 per kg di sentra produksi, seperti di Pulau Jawa (seluruh provinsi), Lampung, Sumatera Selatan, Bali, dan Sulawesi Selatan. Dengan harga gabah lebih dari Rp 5.000 per kg GKP, rendemen 50-52 persen, ongkos produksi beras di tingkat penggilingan berkisar Rp 9.600-Rp 10.000 per kg. Akibatnya, sulit bagi pengusaha penggilingan dan pedagang mengejar HET beras medium.

Harga Beras Medium Nasional

Sumber : Kementerian Perdagangan

Faktanya, meski pemerintah membatasi harga beras melalui penetapan HET, harga beras medium di pasaran umumnya lebih tinggi dari HET. Harga rata-rata bulanan beras medium nasional, menurut data Kementerian Perdagangan, bahkan konsisten naik dari Rp 10.574 per kg pada Juli 2017 menjadi Rp 10.794 per kg pada November 2017.

Tingginya harga beras mencerminkan tingginya harga gabah. Menurut observasi Badan Pusat Statistik (BPS), kasus harga GKG di bawah standar HPP selama Januari-Oktober tercatat hanya terjadi pada Maret dan April. Persentasenya pun relatif kecil, yakni 10,4 persen dari 125 observasi pada Maret dan 11,89 persen dari 143 observasi pada April.

Situasi itu menghambat pengadaan beras oleh Bulog. Sebab, penyerapan gabah atau beras oleh Bulog berada dalam koridor HPP. Harga pembelian GKP, misalnya, ditetapkan Rp 3.700 per kg, sementara HPP beras Rp 7.300 per kg. Oleh karena harga di lapangan di atas HPP, pengadaan beras oleh Bulog seret tahun ini.

Sampai Rabu (6/12), pengadaan beras oleh Bulog baru terealisasi 2,14 juta ton, sekitar 57 persen dari target pengadaan tahun ini yang ditetapkan 3,74 juta ton. Penambahan jumlah pengadaan bahkan tidak signifikan meski Bulog telah menaikkan standar pembelian sebesar 10 persen sejak Agustus. Harga pembelian GKP, misalnya, naik jadi Rp 4.070 per kg. Sementara harga beras naik jadi Rp 8.030 per kg.

Bulog-Pemda Gelar Operasi Pasar

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berpendapat, stok beras pemerintah cukup dan situasi harga masih stabil. Amran menilai inflasi beras sebesar 0,04 persen masih sangat kecil. Selain itu, stok beras Bulog yang sekitar 1 juta ton juga cukup dan ada 1,8 juta hektar sawah yang akan dipanen hingga akhir Desember.

Dalam beberapa kesempatan, Amran menyatakan, Kementerian Pertanian sejak tiga tahun lalu berupaya mengatasi problem paceklik yang berulang setiap menjelang akhir tahun hingga awal tahun. Caranya adalah dengan menambah luas tanam untuk memastikan panen setidaknya 1 juta hektar per bulan. Dengan demikian, produksi selalu lebih tinggi dari rata-rata kebutuhan setiap bulan.

Kompas/TOTOK WIJAYANTO
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (pegang koran) melakukan kunjungan ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (4/12). Kunjungan tersebut untuk memantau stok beras terkait adanya bencana alam di berbagai daerah.

Akan tetapi, jaminan bahwa stok beras cukup dan harganya stabil justru berkebalikan dengan upaya di lapangan. Sejumlah Divisi Regional atau Subdivisi Regional Perum Bulog bersama pemerintah daerah menggelontor beras ke pasar. Tujuannya meredam gejolak harga.

Selain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memulai operasi pasar pada pertengahan Oktober, operasi pasar juga digelar Pemerintah Provinsi dan Bulog Divre Lampung mulai Selasa (28/11). Di Jawa Timur, menurut Kepala Perum Bulog Divre Jawa Timur Muhammad Hasyim, permintaan beras untuk operasi pasar telah disampaikan antara lain oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Kediri, dan Lamongan.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti di Jakarta menyatakan, selain memenuhi kebutuhan rastra, pihaknya siap menggelontor pasar dengan beras cadangan pemerintah (CBP). Sebagian CBP telah digelontorkan untuk operasi pasar dan akan terus digelar jika dibutuhkan untuk mengintervensi pasar.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti menyatakan hal sama. Menurut dia, pemerintah siap mengintervensi pasar dengan beras seharga Rp 8.100 per kg, berapa pun jumlah kebutuhannya, termasuk ketika permintaan naik menjelang Natal 2017 dan Tahun Baru 2018.

Stok Beras Pemerintah Tidak Ideal

Dengan rata-rata kebutuhan konsumsi beras nasional 2,6 juta ton per bulan, stok beras Perum Bulog yang 1,16 juta ton sebenarnya kurang ideal. Sebab, hanya sekitar 250.000 ton di antaranya yang merupakan CBP. Sisanya adalah stok beras komersial dan rastra, yang tidak bisa dipakai untuk operasi pasar, serta sebagian kecil beras komersial.

Menurut analis kebijakan pada Centre for Agriculture and People Support, Mohamad Husein Sawit, CBP minimal 3-4 persen dari konsumsi langsung atau kebutuhan dalam setahun. Dengan total konsumsi beras yang mencapai 33 juta ton setahun, CBP semestinya tak kurang dari 1 juta ton, tak termasuk stok untuk program bantuan pangan melalui rastra.

Seperti yang terjadi selama ini, beras terbukti bukan hanya barang ekonomi. Beras juga komoditas politik.

Stok minimal beras pemerintah, menurut Husein, mengutip kajian Universitas Gadjah Mada tahun 2015, idealnya 750.000-1,3 juta ton. Sementara menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 1,3 juta ton. Sementara kajian Kementerian Pertanian 1,5-2 juta ton.

Jika benar stok beras Bulog tinggal 700.000 ton pada akhir 2017, kata Husein yang juga Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), hal itu akan menjadi stok akhir tahun paling sedikit sejak 2005. Jumlah itu tak cukup berwibawa untuk mengatasi gejolak harga di pasar. Stok sebesar itu juga sangat berisiko dalam situasi darurat, seperti saat terjadi bencana alam.

Seperti tahun 2017, pemerintah menganggarkan dana Rp 2,5 triliun untuk cadangan beras tahun 2018, setara dengan beras sekitar 280.000 ton. Jumlah itu dinilai sangat kecil jika menilik jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta jiwa. Husein mencontohkan stok beras negara lain yang memiliki penduduk lebih kecil dari Indonesia, seperti Thailand dengan 1,1 juta ton, Korea Selatan 1 juta ton, dan Filipina 1 juta ton.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, juga anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, mengingatkan adanya potensi gejolak beras jika problem pasokan tak segera tertangani. Seperti keduanya, peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian, Erwidodo, meminta pemerintah segera memastikan apakah stok beras cukup tersedia dan harganya terjangkau.

Diharapkan, segera ada tindakan untuk mencegah situasi semakin buruk. Sebab, seperti yang terjadi selama ini, beras terbukti bukan hanya barang ekonomi. Beras juga komoditas politik.

Kerabat Kerja

Penulis: Mukhamad Kurniawan | Penyelaras Bahasa: Adi Wiyanto | Fotografer: Totok Wijayanto | Peliput: Abdullah Fikri Ashri, Vina Oktavia, Iqbal Basyari, Adi Sucipto, Erwin Edhi Prasetya, Winarto Herusansono | Infografik: Adinda Pradista Cyntia | Desainer & Pengembang: Rafni Amanda, Deny Ramanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.