Bersiap Hidup di Zona Bahaya Sulawesi

Bersiap Hidup
di Zona Bahaya Sulawesi

Sulawesi adalah kawasan dengan kompleksitas geologi hasil tumbukan tiga lempeng benua: Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan geologi itu menyimpan dahsyatnya ancaman bencana. Gempa Palu-Donggala adalah buktinya. Diperlukan kearifan bagi warga yang meninggalinya.

Lebih dari 2.000 orang tewas, banyak diantaranya yang tewas karena reruntuhan, tersapu tsunami, hingga terkubur lumpur likuefaksi akibat gempa di Sulawesi Tenggara, 28 September 2018. Ribuan lainnya dikhawatirkan hilang. Warga setempat akan menghadapi masa-masa pemulihan yang lama dan menyakitkan.

Gempa pertama , sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Gempa pertama menghantam dengan magnitude 6,1 di lepas pantai Sulawesi Tengah, dekat dengan Pantai Toa Toa, 55 kilometer utara Palu. Gempa itu kemudian disusul gempa lebih besar lagi berkekuatan M 7,4 pada sekitar pulu 18.00, yang memicu peringatan tsunami.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) merilis peringatan tsunami yang dicabut 34 menit kemudian. Hal itu memicu kritikan pencabutan peringatan tersebut dianggap terlalu cepat. Perkiraan gelombang hanya setinggi tiga meter namun nyatanya gelombang yang menghantam palu mencapai hingga enam meter. Gempa di Sulawesi sebenarnya hanya soal waktu. Visualisasi berikut ini menunjukkan gempa yang terjadi di seputaran Sulawesi dalam 25 tahun terakhir (di atas M 4,5):

Sumber: Data diambil dari USGS  

Rekaman sejarah menunjukkan, Kota Palu berulang kali dilanda gempa bumi dan tsunami. Gegar Prasetya dalam jurnal Natural Hazard (2001) menyebutkan, Teluk Palu dan pesisir barat Sulawesi pernah dilanda tsunami 18 kali sejak 1800. Ditambah tsunami kali ini artinya sudah 19 kali. Inilah frekuensi tsunami paling banyak di Indonesia.

Keberulangan tsunami di Palu sebenarnya juga terekam dalam budaya mereka. Masyarakat Palu di masa lalu memiliki istilah bombatalu, atau pukulan gelombang laut tiga kali, mengingatkan pada datangnya tsunami kali ini yang melanda empat kali.

Fatma, memandangi reruntuhan bangunan di Perumnas Balaroa, Palu, Minggu (7/10/2018). Fatma selamat dari tragedi likuefaksi yang dipicu gempa, tapi tiga saudaranya tertimbun.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Likuefaksi setelah gempa bumi berkekuatan M 7,4 di Palu, juga bukan sekali ini terjadi. Bencana ini telah berulang kali melanda di masa lalu sehingga masyarakat Palu memiliki istilah sendiri untuk itu, yaitu nalodo. Fenomena ini bisa terjadi lagi di lokasi yang sama jika gempa kembali terjadi.

Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, likuefaksi atau berubahnya tanah jadi lumpur sehingga menelan bangunan di atasnya terjadi di empat lokasi. Fenomena itu terjadi di Kota Palu, yaitu Kelurahan Petobo dan Jalan Dewi Sartika di Palu Selatan, serta di Kabupaten Sigi, yaitu di Biromaru dan Desa Sidera.

Kondisi terparah di Perumnas Balaroa, Palu Barat, yang berjarak sekitar 2,6 kilometer dari jalur Sesar Palu-Koro. Sebanyak 1.747 rumah di kawasan ini rusak. Sementara di Kelurahan Petobo, Palu Selatan, yang berjarak 1 kilometer dari jalur Sesar Palu-Koro, sebanyak 744 rumah rusak. Infografik berikut ini menunjukkan titik kerusakan akibat gempa dan tsunami:

Bahkan, nama Kota Palu berasal dari kata topalu’e, yang berarti tanah yang terangkat, menandai jejak hiperaktif geologinya. Sayang, pengetahuan warisan leluhur ini tak banyak dipahami.

Hingga sebelum bencana melanda Palu pekan lalu, perhatian masyarakat tentang risiko gempa dan tsunami sangat minim. Survei Litbang Kompas tahun 2011 menunjukkan, 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden merasa aman dari risiko bencana. Infografik berikut memperlihatkan daerah rawan bencana adalah kawasan yang ramai ditinggali:

Indonesia yang berada di kawasan seismik aktif Pacific Ring of Fire, memang sangat rawan dengan gempa dan tsunami. Gempa di barat Sumatera pada 2004 memicu tsunami yang menewaskan ratusan ribu orang.

Rentetan gempa di Lombok pada Juli dan Agustus juga menewaskan sekitar 500 orang. Dalam sejarahnya, ribuan gempa terjadi di sepanjang wilayah Nusantara.

Kondisi kawasan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah yang luluh lantak karena likuefaksi yang dipicu oleh gempa bermagnitudo 7,4, Kamis (6/10/2018).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Jembatan Kuning Ponulele yang hancur oleh gempa di Kota Palu, Senin (1/10/2018). Jembatan tersebut merupakan ikon Kota Palu.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Tim SAR gabungan mengevakuasi 33 jenazah korban yang tertimbun karena fenomena likuefaksi yang dipicu oleh gempa di Perumnas Balaroa, Palu, Kamis (6/10/2018).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga di antara reruntuhan bangunan di Perumnas Balaroa, Palu, akibat likuefaksi yang dipicu gempa, Minggu (7/10/2018).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga mengmabil BBM di SPBU di Jalan Imam Boncol, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). Terjadi kelangkaan BBM pasca gempa dan tsunami.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Meski demikian, kawasan rawan bencana tersebut terus disesaki dengan permukiman warga. Terputusnya pengetahuan bencana dari masa lalu merupakan buah dari buruknya literasi kita. Selain itu, banyak masyarakat Indonesia masih berpandangan bahwa bencana adalah takdir yang harus diterima.

Ini, misalnya, terlihat dari ungkapan penyintas tsunami yang memilih kembali tinggal di pesisir Banda Aceh sekalipun dia telah kehilangan istri, anak, dan ibunya ketika bencana 2004, ”Di tepi pantai mati, di gunung pun mati. Jika sudah takdir Allah, kita tidak bisa menolaknya. Kalaupun mati, saya memilih mati di kampung sendiri” (Kompas, 29/12/2004).

Manusia, infrastruktur, dan kekayaan, “terkonsentrasi ke dalam pusat kota yang terbuka, di bagian paling berbahaya dari planet...”

Di pesisir Banda Aceh yang sepertiga penduduknya tersapu tsunami 2004 kini disesaki rumah-rumah baru. Sebelum tsunami, jumlah penduduk 239.146 jiwa dan 61.265 orang tewas atau hilang saat tsunami. Namun, menurut survei tahun 2013, jumlah warga 249.282 orang dan sebagian kembali bermukim di pantai. Fenomena serupa terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, setelah tsunami. Juga di Cilacap, Jawa Tengah.

Dari laporan Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) yang bermarkas di Belgia pada 2017, mereka mendokumentasikan bahwa bencana alam sebenarnya lebih sedikit terjadi dibanding dekade lalu. Meski demikian, kerusakan ekonomi yang ditimbulkannya justru meningkat hingga 49 persen. Infografik berikut menunjukkan daerah yang terdampak jika terjadi tsunami di Palu adalah kawasan yang padat ditinggali:

Alasannya jelas, semakin banyak manusia menempati kota-kota yang padat, dikelilingi infrastruktur seperti gedung-gebung, jalan, jembatan, yang berubah menjadi mematikan saat terjadi bencana, dan sangat mahal untuk diperbaiki saat pemulihan.

Manusia, infrastruktur, dan kekayaan, “terkonsentrasi ke dalam pusat kota yang terbuka, di bagian paling berbahaya dari planet,” kata Bill McGuire, profesor emeritus ilmu bumi dari University College London seperti dikutip dari laman Time. “Persiapan menghadapi bencana tak bisa mengejar”.

Jika demikian, ada baiknya bangsa ini belajar dari cara masyarakat Pulau Simeulue dalam beradaptasi tinggal di zona bahaya. Melalui budaya Smong yang diwariskan turun-temurun, mereka tahu apa yang dilakukan saat gempa terjadi, segera lari ke tempat tinggi. Tak kalah penting, memperkuat struktur bangunan dan perubahan tata ruang. Kawasan rentan nalodo jelas tak bisa ditinggali lagi.

Anak-anak pengungsi korban gempa mengikuti aneka permainan yang digelar relawan Pertamina Peduli di lokasi pengungsian di Kawasan Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu, Jumat (5/10/2018). Permainan tersebut diharapkan menjadi terapi psikis bagi anak-anak korban gempa tersebut.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kerabat Kerja

Penulis: Ahmad Arif, Deonisia Arlinta, Yuni Ikawati, Laraswati Ariadne Anwar, Prasetyo Eko Prihananto | penyelaras bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | fotografer: Heru Sri Kumoro, Priyombodo, Bahana Patria Gupta | litbang: R Albertus Krisna | infografik: Novan Nugrahadi, Arjendro Darpito | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata, Deny Ramanda | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.