Konglomerat Gula Dunia dari Semarang
Jejak-jejak
Oei Tiong Ham
Konglomerat Gula Dunia dari Semarang

Kota Semarang adalah salah satu kota besar di Indonesia yang sering dianggap paling adem ayem dibanding kota-kota besar lain di Tanah Air. Berbeda dengan, katakan lah, Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar yang dikenal memiliki dinamika tinggi dari sisi ekonomi, sosial – budaya, dan politik.

Padahal di akhir 1800-an dan paruh pertama 1900 – 1961, di Semarang lah muncul episenter ekonomi dengan tumbuhnya konglomerasi pertama di Asia Tenggara yang memiliki gurita bisnis hingga Amerika Serikat dan Eropa. Jaringan bisnis multinasional itu dikembangkan oleh pengusaha Oei Tiong Ham, pewaris Kian Gwan Concern yang kemudian dikenal sebagai Oei Tiong Ham Concern.

Ilustrasi Oei Tiong Ham

Pada puncak kejayaannya sekitar dekade 1920-an, Oei Tiong Ham (OTH) dijuluki sebagai Tuan 200 Juta Gulden, karena menjadi pengusaha pertama yang kekayaannya menembus angka 200 juta gulden atau sekitar Rp 27 triliun dengan nilai tukar saat ini.

OTH yang flamboyan dan super kaya itu, memiliki lahan seluas 81 hektar di pusat Kota Semarang di sekitar rumah tinggalnya di kawasan Gergaji, Semarang. Rumahnya yang besar dan sering disebut Istana Gergaji atau Istana Balekambang, itu, kini masih utuh dan menjadi kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional III Jawa Tengah dan DIY di Jalan Kyai Saleh.

Leiden University Libraries / KITLV

Taman Oei Tiong Ham, Gergaji, Semarang.

KOMPAS/Eddy Hasby

Istana Gergaji terletak di jalan Kyai Saleh, Semarang, Sabtu (20/10/2018) merupakan peninggalan masa kejayaan Oei Tiong Ham. Kini, istana ini difungsikan menjadi kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 3 Jawa Tengah.

Sementara sisa lahannya kini menjadi pusat perkantoran pemerintah di sekitar Simpang Lima Semarang, seperti bagian dari lahan milik Oei Tiong Ham kini menjadi kompleks Polda Jawa Tengah, Kantor Gubernur Jawa Tengah, DPRD Jawa Tengah, kampus Universitas Diponegoro Pleburan, pusat perkantoran di Jalan Pandanaran hingga ke dekat Kampung Kali.

Di puncak kejayaan bisnisnya, sejumlah bangunan kantor di Kota Lama Semarang juga dimiliki OTH dan menjadi pusat operasi gurita bisnisnya yang tersebar di berbagai benua.

Namun, tak sampai 100 tahun kemudian, jejak-jejak keemasan seorang taipan internasional dari Nusantara itu sudah nyaris tak terlihat. Sosoknya pun perlahan-lahan terhapus dari memori kolektif masyarakat. Bahkan, tak sedikit warga Semarang yang lupa atau tidak tahu sama sekali bahwa kotanya pernah menjadi sebuah episentrum bisnis di Asia Timur.

"Rockefeller Asia"

Pada awal abad ke-20, Oei Tiong Ham dijuluki Rockefeller dari Asia yang menyamakan dirinya dengan John D Rockefeller konglomerat minyak bumi pemiliki Standart Oil and Company New York (SOCONY) dari AS. Surat kabar De Locomotief waktu itu bahkan menyebut OTH sebagai orang terkaya di antara Shanghai dan Melbourne.

Liem Tjwan Ling penulis biografi Raja Gula Oei Tiong Ham menceritakan, bisnis yang diwarisi OTH dari ayahnya, Oei Tjie Sien, yakni firma dagang Kian Gwan Concern, mulai berkembang tahun 1870 seiring penghapusan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa) di Hindia Belanda.

Pembukaan Terusan Suez dan pelayaran yang semakin cepat dengan kapal uap membuat perdagangan antara Asia dan Eropa makin pesat. Ini adalah perubahan zaman yang ditangkap Kian Gwan Concern.

OTH meneruskan kendali perusahaan di tahun 1890 ketika berusia 24 tahun. Pada tahun 1893, perusahaan diubah menjadi N.V. Handel Maatschappij Kian Gwan. Awal kebangkitan perusahaan ini adalah perdagangan opium yang kala itu legal di wilayah Hindia Belanda.

mulai

Namun, perusahaan ini kemudian meluaskan bidang usaha ke perdagangan berbagai jenis komoditas lain seraya membuka kantor-kantor cabang berikut gudang di sejumlah negara.

Meski perdagangan gula yang menjadi ujung tombak yang didukung ekspor beragam hasil bumi, seperti karet, kapuk, kopi, tepung tapioka, gaplek, lada, jagung, kacang tanah, biji jarak, minya serai (citronella oil) dan lain lain.

Perdagangan intrainsuler di Nusantara berkembang dengan Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain pulau. Beragam komoditas seperti gambir, lada, dan lain-lain dikumpulkan dari luar Jawa dibawa ke Jawa dan Singapura. Sementara gula dari Jawa dikirim ke pulau-pulau tersebut.

Kunci kebesaran kerajaan bisnis mereka dikokohkan dengan pembelian pabrik-pabrik gula di Jawa pada akhir abad ke-19. Diawali dengan pembelian Pabrik Gula Pakis tahun 1894 kemudian dibeli pula Pabrik Gula Rejoagung, Tanggulangin, Ponen, Krebet.

Total luas lahan lima pabrik gula tersebut mencapai 7.082 hektar. Tak heran, bila Oei Tiong Ham di kemudian hari dijuluki sebagai Raja Gula.

Mancanegara

Mancanegara pun dirambah Kian Gwan dimulai tahun 1910 dengan pembukaan perusahaan cabang di London, Inggris, dengan nama Kian Gwan Western Agency Ltd. Perusahaan ini tadinya bernama FC Grein, agen Kian Gwan di Inggris sejak 1902, tetapi kemudian diambil alih oleh OTH.

Cabang di Amsterdam hingga New York, Amerika Serikat, pun dibuka oleh Kian Gwan melalui jaringan keagenan mereka. Seligman and Company adalah rekanan Kian Gwan di Kota New York yang terutama menangani perdagangan tapioka.

Dalam kurun lima tahun, 1911 – 1915, kantor perwakilan di London sudah menjual 725.000 ton gula dari Jawa ke British India (India), Jepang, China, Amerika Serikat, Kerajaan Inggris serta benua Eropa. Angka ekspornya mencapai 145.000 ton per tahun.

Bisnis gulanya makin besar saat terjadi booming ekonomi pasca Perang Dunia I (1914-1918), dan mencapai puncaknya pada periode 1918-1920.

Cabang di Calcutta (kini Kota Kolkatta, India), dibuka tahun 1925 dan di Kota Mumbay di tahun 1926 serta Karachi di tahun 1928. Semua terjadi setelah OTH meninggal dunia pada 1924 dan kerajaan bisnis itu dilanjutkan anak-anaknya.

Karena menurunnya volume perdagangan gula dari Jawa di British India, Kian Gwan pun berganti strategi dengan berbisnis katun, wool, dan karung goni. Selanjutnya di tahun 1932, di Bangkok, Kerajaan Siam, didirikan kantor cabang untuk mengurus perdagangan beras dan karung goni

Sedangkan di China, Kian Gwan Concern membuka cabang di Shanghai, Hongkong, dan Amoy (Provinsi Fujian). Di tahun 1934, bisnis dikembangkan di China dengan pesat melalui pabrik distilasi alkohol di Distrik Pootung, Shanghai. Mereka mampu memproduksi alkohol dengan kadar 96 – 97 persen.

Cabang di Malaya dan Singapura juga dibuka yang antara lain memiliki bisnis pelayaran di tahun 1911 dengan nama Heap Eng Moh Steamship Company Ltd. Keluarga pihak ayah dari Perdana Menteri Pertama Singapura, Lee Kwan Yew, pernah bekerja di perusahaan tersebut. Heap Eng Moh mengoperasikan kapal yang beroperasi antara Singapura dan Jawa.

Kian Gwan juga membuka bisnis bank dan properti dengan N.V. Bank Veereniging Oei Tiong Ham di tahun 1906 dan Bouw Maatschapij Randusari N.V. yang berbisnis perumahan, perkantoran, dan pergudangan

Rekanan perbankan Kian Gwan di Hindia Belanda tidak saja dengan Javasche Bank, Nederlansch Indie Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij (kini Bank Mandiri). Kian Gwan juga sudah berhubungan tetap dengan Chartered Bank of India, Australia, and China (kini Standart Chartered Bank) dan Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC).

OTH juga dikenal karena menerapkan manajemen perusahaan modern, yakni dengan mengandalkan kontrak-kontrak legal tertulis dan sistem akuntansi modern. Posisi-posisi penting di perusahaannya pun diserahkan ke para tenaga profesional yang dia pekerjakan dari luar lingkaran keluarganya, suatu hal yang berbeda dibanding kebiasaan para taipan Tionghoa pada masa itu.

Tak jarang bahkan dia mempekerjakan orang-orang Belanda untuk mengisi posisi direktur, manajer, hingga tim engineer. Suatu hal yang luar biasa di era kolonial apalagi waktu itu orang Tionghoa dikategorikan sebagai "warga kelas dua".

Kompas/Eddy Hasby

Bekas kompleks gudang milik Kian Gwan Concern yang kemudian menjadi Oei Tiong Ham Concern di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah. Dari gudang ini lah dulu berbagai komoditas diperdagangkan Oei Tiong Ham ke berbagai belahan dunia.

Putri kesayangan OTH, Oei Hui Lan, juga dikenal sebagai salah satu sosialita Eropa sejak ia bersama ibu dan adiknya pindah ke London. Rumah mereka waktu itu berada di Berkeley Square, Mayfair, tak jauh dari Istana Buckingham.

Hui Lan di kemudian hari menikah dengan Wellington Koo, diplomat yang kemudian menjabat Menlu Republik China di bawah Generalisimo Chiang Kai Shek. Dia pun sempat menulis memoir : No Feast Last Forever. Bahkan dalam periode singkat pada akhir 1926 hingga pertengahan 1927, Hui Lan sempat menjadi Ibu Negara Republik China saat Wellington Koo menjadi Pejabat Presiden Republik China yang berkedudukan di Beijing.

Itulah yang terjadi dengan kerajaan bisnis Oei Tiong Ham semasa Perang Dunia I dan jaman Malaise, lalu Oei Tiong Ham meninggal di tanggal 9 Juli tahun 1924 di Singapura. Selanjutnya Perang Sino - Jepang, Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan Indonesia membuat situasi bisnis kelompok usaha Kian Gwan goyah akibat pergolakan politik.

Oei Tjong Hauw salah satu anak Oei Tiong Ham yang juga menjadi anggota BPUPKI berusaha menjaga kelangsungan usaha Kian Gwan bersama empat orang saudara dari 26 bersaudara anak-anak Oei Tiong Ham dalam keadaan serba sulit.

Jejak-jejak Peninggalan

Namun, riwayat kerajaan bisnis OTH di Tanah Air berakhir pada 10 Juli 1961 ketika pengadilan ekonomi mengeluarkan keputusan penyitaan dan nasionalisasi terhadap seluruh aset OTH Concern di Indonesia.

Pada 1964, pengelolaan seluruh aset eks OTH Concern itu diserahkan ke perusahaan negara PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang masih bertahan hingga kini. Pabrik-pabrik gula yang berada d Jawa Timur pun masih menjadi bagian dari inti bisnis PT RNI hingga saat ini.

"Dari keuntungan di PG Rejoagung ini saja, kami bisa membangun PG Krebet 2 di Malang dan membangun kantor pusat PT RNI di Kuningan, Jakarta," tutur Zainal Arifin, General Manager PG Rejoagung, saat ditemui di kantornya di Madiun, Jawa Timur, Jumat (19/10/2018).

KOMPAS/EDDY HASBY

Komplek lahan pabrik gula Rejo Agung Baru, Madiun, Jawa Timur, Jumat (19/10/2018). Pabrik gula ini yang dikelola oleh PT PG Rajawali I Unit PG Rejo Agung Baru saat ini, merupakan salah satu peningglan masa kejayaan raja gula Oei Tiong Ham, Semarang.

DOK ARSIP PG REJO AGUNG

Stasiun ketel PG Rejoagung pada April 1974

Zainal pun menambahkan, begitu banyaknya aset OTH Concern sehingga pendataannya pun belum selesai sampai saat ini. "Aset Oei Tiong Ham Concern aslinya jauh lebih luas daripada aset pabrik gula ini. Namun sebagian saat ini sudah berubah menjadi lahan pemukiman penduduk dan alih fungsi lain," tuturnya.

Sejumlah gedung perkantoran eks OTH Concern juga masih menjadi aset PT RNI hingga saat ini, termasuk dua bekas kantor pusat OTH Concern di Jalan Kepodang, Semarang. Bekas kantor pusat lama, dimana OTH menjalankan bisnisnya, masih dimiliki PT RNI tetapi disewa oleh sebuah restoran waralaba nasional.

Sementara satu gedung kantor baru yang menjadi kantor pusat OTH Concern di bawah anak-anak OTH, kini masih menjadi kantor PT RNI divisi farmasi. Bangunan kantor yang dibangun tahun 1930 ini terlihat menonjol karena menjadi satu-satunya bangunan berarsitektur Art Deco di Jalan Kepodang tersebut.

KOMPAS/EDDY HASBY

Gedung kantor dagang Oei Tiong Ham Cancern dibangun oleh arsitek Liem Bwan Tjie terletak di Jalan Kepodang, kawasan Kota Lama Semarang, Sabtu (20/10/2018) ini, kini digunakan sebagai kantor PT. Rajawali Nusindo.

KOMPAS/EDDY HASBY

Bekas kantor pusat NV Kian Gwan milik raja gula Oei Tiong Ham di Jalan Kepodang, Purwodinatan, Kawasan Kota Lama, Semarang, Sabtu (20/10/2018). Kini digunakan sebagai restoran Pringsewu.

"Ini bangunan bersejarah, karena dirancang oleh arsitek Liem Bwan Tjie, dan hingga saat ini masih dipertahankan fungsi aslinya sebagai sebuah kantor," tutur Tjahjono Rahardjo, arsitek yang menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang dan anggota Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Rabu (17/10/2018).

Menurut Tjahjono, setidaknya ada empat bangunan di Jalan Kepodang itu yang dulunya dimiliki Oei Tiong Ham. Selain dua kantor tersebut, juga ada bangunan berarsitektur peranakan Tionghoa yang kini menjadi sebuah kafe, dan satu lagi gedung kantor yang dulu disewakan sebagai kantor perusahaan asuransi Monod, sehingga dijuluki Monod Huis.

Pengingat kejayaan bisnis OTH juga masih bisa ditemui di dekat kawasan Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Di sana berdiri kompleks pergudangan dengan bentuk dinding penyangga atap yang khas. Terdapat tulisan besar "Marabunta" dan patung semut besar.

KOMPAS/EDDY HASBY

Gedung Monod Diephuis & Co, Jl. Kepodang, Purwodinatan, Kawasan Kota Lama, Semarang, Sabtu (20/10/2018). Gedung Monod Diephuis & Co ini salah satu sisa kejayaan masa Oei Tiong Ham.

KOMPAS/EDDY HASBY

Bekas kantor pusat NV Kian Gwan milik raja gula Oei Tiong Ham di Jalan Kepodang, Purwodinatan, Kawasan Kota Lama, Semarang, Sabtu (20/10/2018). Kini digunakan sebagai restoran Pringsewu.

Di kompleks pergudangan yang nyaris punah tertelan rob dan abrasi Pantai Semarang itu, bahkan masih tertera tulisan Kian Gwan dengan huruf kapital besar-besar. Di sini lah dulu berbagai komoditas yang diperdagangkan OTH Concern disimpan dan disalurkan ke berbagai belahan dunia.

Masih ada juga bangunan yang disebut Gedhong Duwur di salah satu puncak bukit di kawasan Simongan di dekat Jalan Pamularsih, Kota Semarang. Menurut Tjahjono, itu dulunya adalah rumah ayah OTH, Oei Tjie Sien. Bangunan itu kini menjadi tempat tinggal penduduk dan kondisinya secara umum tidak terawat.

Yang menjadi permata utama peninggalan kejayaan OTH di Semarang adalah bekas rumahnya yang disebut Istana Gergaji atau Istana Balekambang. Hingga saat ini, bangunan tersebut masih menampakkan wibawa dan kemewahannya.

Dan rumah itu hanya bagian dari seluruh kawasan "istana" seluas 8,5 hektar. Dulu di bagian belakang rumah tersebut terdapat taman yang sangat luas yang menjadi sebuah kebun binatang pribadi OTH, dan dilengkapi bangunan-bangunan panggung terapung alias bale kambang.

Kini kawasan tersebut sudah menjadi kawasan permukiman padat dan dikenal sebagai kawasan Gergaji Balekambang.

Irene Indriasari (42), dosen Universitas Diponegoro yang tinggal di kawasan itu sejak kecil, mengenang, sekitar 30 tahun lalu, zaman dia masih kecil, masih banyak ditemukan sisa-sisa Bale Kambang OTH tersebut, seperti gapura, prasasti dan patung-patung. "Kini sudah hampir tidak ada semuanya," ujarnya.

Salah satu bangunan asli dari era itu, yang dulu menjadi tandon air dan terletak di sebuah bukit di belakang kompleks Polda Jateng saat ini, kini sudah berubah menjadi rumah warga. Dinding-dindingnya masih asli, tetapi sudah ditambahi atap dan kusen-kusen pintu untuk tempat tinggal.

Sejarawan Semarang Jongkie Tio menambahkan, sebuah rumah di Jalan Pandaran yang sekarang menjadi restoran juga dulunya milik keluarga Oei Tiong Ham. "Pada dasarnya seluruh rumah-rumah di Jalan Pandanaran itu dulunya milik Oei Tiong Ham atau dibangun oleh perusahaan Oei Tiong Ham," papar Jongkie yang ditemui di rumah makan miliknya, Restoran Semarang, Sabtu (20/10/2018).

Ketika Anda singgah di Semarang, terutama di pusat kota Semarang, jangan heran bila properti-properti tua yang tidak terawat itu adalah jejak dari OTH. Karena, butuh waktu untuk mengembalikannya ke kejayaan di masa silam.

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa | fotografer: Eddy Hasby | infografik: Novan Nugrahadi | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | designer & pengembang: Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda | Produser: Dahono Fitrianto, Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.