Lari dari Kematian, Bertemu Ketidakpastian

Memuat Halaman

Lari dari Kematian, Bertemu Ketidakpastian

Dunia ternyata tidak memiliki cukup tempat untuk warganya, khususnya para pengungsi. Saat mereka terpaksa lari dari rumah, kediaman di mana mereka merenda harapan, para pengungsi justru tak lagi memiliki masa depan. Ketidakpastian di tempat-tempat penampungan menghabisi impian mereka, sebagaimana persekusi, perang saudara, terorisme, dan ancaman pembunuhan telah memaksa mereka pergi dari tanah asal. Yang mereka temui saat mencoba menyelamatkan diri ternyata kebuntuan. Mereka sejatinya tidak pernah berniat pergi...

Mulai

${ item.title }

${ item.desc }

${ profileData[articleIndex-1].title }

Nama: ${ profileData[articleIndex-1].title }
Usia: ${ profileData[articleIndex-1].usia }
Negara Asal: ${ profileData[articleIndex-1].negara }
Pekerjaan di negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].pekerjaan }
Alasan meninggalkan negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].alasan }
Hussain Nazari (31), anak ketiga dari lima bersaudara, adalah seorang pengungsi asal Afghanistan. Sebelum menjadi pengungsi di Indonesia, ia tinggal bersama kedua orangtuanya di Jaghori. Nazari adalah tulang punggung di keluarganya dikarenakan hanya ia satu-satunya anak yang tinggal bersama orangtuanya.
Waktu masih tinggal di negaranya, Nazari adalah seorang sopir di sebuah sekolah. Karena pekerjaannya itulah, ia selalu menjadi incaran Taliban. Kegiatan belajar mengajar di sekolah, menurut pengakuan Nazari, dilarang oleh Taliban. Karena itu, siapa pun yang pekerjaannya berhubungan dengan sekolah tentu akan menjadi incaran Taliban.
”Karena saya sopir mobil di sekolah. Kalau misalnya kerja urusan hukum atau sekolah, kamu pasti jadi target (Taliban),” kata Nazari kepada Kompas
Sadar bahwa hidupnya dalam bahaya karena menjadi incaran Taliban, pada 2013 Nazari memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dari Jaghori, ia pergi ke Kota Kabul dan tinggal di sebuah hotel. Di hotel, ia bertemu dengan seorang yang bekerja di hotel tersebut dan menceritakan ketakutannya karena menjadi incaran Taliban.
Pekerja hotel itu memberikan nomor telepon seseorang yang bernama Kachal. Berdarkan pengakuan Nazari, pekerja hotel itu mengatakan Kachal adalah orang yang membantu pengiriman orang ke negara lain. Saat bertemu Kachal, dirinya dijanjikan akan ditolong dan membicarakan keadaan Nazari kepada bosnya yang bernama Matin.
Untuk mendapatkan bantuan dari Kachal dan Matin, Nazari harus membayar sebesar 10.000 dollar AS. Uang itu didapat Nazari dengan meminta adik dari ibunya untuk menjual mobil dan tokonya. Nazari juga meminta bantuan keluarganya yang lain untuk mebayar kepada Kachal dan Matin melalui money changer.
Setelah urusan bayaran selesai, Nazari pun meninggalkan Kabul menuju Indonesia. Dalam perjalanannya, ia transit di India, Thailand, dan Malaysia. Sewaktu di Kuala Lumpur, Malaysia, Nazari ditempatkan di sebuah rumah besar tanpa kamar yang sudah ditentukan oleh seseorang. Di sana, ia tinggal selama tiga sampai empat hari. Selama tinggal di sana, ia tidak bisa keluar dari rumah itu karena semua pintu dikunci oleh penjaga rumah. Hal itu membuat Nazari merasa seperti berada dalam penjara. Ia tidak nafsu makan, susah tidur.
Rumah dua lantai itu tidak hanya dihuni oleh Nazari, tetapi juga oleh beberapa orang lainnya. Nazari memperkirakan jumlah orang yang ada dalam rumah itu 25-30 orang. Ia tidak mengenali orang-orang yang ada di dalam rumah itu dan tidak mengetahui ke mana mereka hendak pergi. Menurut Nazari,mereka juga enggan untuk diajak berbicara. Listrik dan air sengaja dimatikan oleh penjaga. Nazari menduga hal itu sengaja dilakukan agar keberadaan mereka semua tidak diketahui.
Suatu hari, Nazari mendapatkan perintah dari seseorang yang bernama Reza untuk bersiap-siap berangkat ke pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Setelah menempuh perjalanan selama 3 sampai 4 jam lewat laut, Nazari tiba di sebuah kota yang ia duga bernama Batam.
Dari Batam, Nazari melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Setibanya di Jakarta, Nazari langsung pergi ke kantor UNHCR dengan berjalan kaki. Sampai di Kantor UNHCR, Nazari ditanyai identitas dirinya. Setelah itu, ia mendapat nomor antrean dan diminta Nazari datang kembali dua bulan lagi.
Nazari kemudian tinggal di sebuah kos-kosan di Bogor. Dua bulan kemudian, Nazari kembali lagi ke UNHCR untuk melakukan registrasi. Di sana ia ditanyai beberapa pertanyaan seperti nama, negara asal, kapan tiba di Indonesia, mengapa meninggalkan negaranya, dan beberapa pertanyaan lainnya. Setelah registrasi, Nazari diberi kertas berisi identitas dirinya. Kertas itu, kata Nazari, harus diperpanjang dua bulan sekali.
Saat memperpanjang masa berlaku kertas itu untuk yang kedua kalinya, Nazari mendapatkan kesempatan untuk diwawancara UNHCR. Saat wawancara berlangsung, Nazari ditanyai sejumlah pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan saat ia pertama kali datang ke Kantor UNHCR. Nazari menjelaskan semua keadaannya kepada UNHCR. Tiga bulan kemudian, Nazari mendapatkan kartu UNHCR.
Selama tinggal di Bogor, untuk biaya hidup selain meminjam uang teman, Nazari juga meminta bantuan dari keluarganya di Afghanistan untuk mengirimkannya uang. Kisaran uang yang dikirim sekitar Rp 3 juta. Paling banyak uang yang ia dapat dari keluarganya sekitar Rp 6 juta. Uang tersebut didapat dari menjual harta benda yang mereka punya.
Namun, kiriman uang itu kini tak ada lagi sehingga Nazari memutuskan untuk tinggal di pinggir jalan, tepatnya di depan rumah Detensi Imigrasi, Kalideres, bersama dengan pengungsi lainnya. Setelah itu, ia tinggal di sekitar kantor UNHCR hingga akhirnya ia bersama pengungsi lainnya pindah ke gedung eks kodim, Kalideres. Sama seperti pengungsi lainnya, Nazari ingin segera diberangkatkan ke negara ketiga.
Hal yang paling sulit dalam hidupnya adalah ketika ia harus berpisah dengan keluarganya, khususnya kedua orangtuanya. Ia sedih karena tidak lagi bisa membiayai kedua orangtuanya. Nazari bercerita bahwa ibunya selalu menangis ketika menelepon. Ibunya meminta Nazari untuk tidak kembali ke Afghanistan karena Taliban terkadang masih menanyai keberadaannya.
${ profileData[articleIndex-1].title }

Nama: ${ profileData[articleIndex-1].title }
Usia: ${ profileData[articleIndex-1].usia }
Negara Asal: ${ profileData[articleIndex-1].negara }
Pekerjaan di negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].pekerjaan }
Alasan meninggalkan negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].alasan }
Sayeed Reza (27) adalah seorang pengungsi dan pencari suaka asal Pakistan yang sudah tinggal di Indonesia sejak 2013. Hal ini bermula dari keingingannya untuk bisa keluar dari negaranya, Pakistan, serta menyelamatkan istri dan kedua orangtuanya dari peperangan yang ada di Quetta, Pakistan.
Peperangan yang terjadi di Pakistan, menurut Reza membuat ia dan keluarganya tidak merasa aman, bahkan untuk sekadar keluar rumah. Reza akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang yang merupakan pelaku people smuggling. Ia mengetahui tentang pelaku people smuggling itu dari komunitas yang bernama Azara. Di Quetta, ada banyak komunitas, Azara salah satunya.
Ketika dihubungi, pelaku penyelundupan orang menanyakan apakah Reza ingin pergi ke Indonesia dengan menggunakan kapal atau pesawat. Karena keterbatasan dana, Reza memutuskan untuk berangkat ke Indonesia dengan kapal. Pelaku penyelundupan orang itu menghubungi Reza dengan nomor yang berbeda-beda.
Reza membayar kepada pelaku melalui orang ketiga sebesar 7.500 dollar AS. Setelah itu, berbekal 1.500 dollar AS, Reza berangkat ke Islamabad, sesuai dengan perintah pelaku penyelundupan orang yang menghubunginya melalui telepon. Pelaku people smuggling melarang Reza untuk membawa banyak uang.
Di Islamabad, Reza tinggal selama 4-5 hari untuk menunggu perintah yang selalu dilakukan melalui telepon. Selama di Islamabad, Reza tinggal di guest house dan membayar sebesar 2.000 rupee per hari. Setelah tinggal selama 4-5 hari di sana, Reza menerima telepon dari pelaku people smuggling dan diminta untuk berangkat ke bandara untuk terbang ke Thailand.
Sesampainya di bandara, Reza dihampiri seseorang. Orang itu memberinya tiket pesawat, boarding pass, dan paspor. Orang itu mengenali Reza, padahal sebelumnya Reza tidak pernah memberikan foto diri kepada pelaku people smuggling Reza tidak dapat memastikan apakah paspor itu legal atau tidak. Di Thailand, Reza dihampiri seseorang dan orang itu memberinya tiket pesawat ke Singapura. Lagi-lagi, ia tidak mengenali siapa orang itu. Setelah tiba di Singapura, seseorang yang tidak ia kenali menuntunnya masuk ke dalam mobil.
Reza melanjutkan perjalanan darat menuju Malaysia dengan menggunakan mobil dan selanjutnya menuju Batam dengan menggunakan kapal. Setibanya di Batam, Reza tinggal di sebuah rumah yang tidak beratap. Ia tinggal di sana selama 13 hari lamanya. Di dalam rumah yang tidak beratap itu, ada pengungsi dan pencari suaka lainnya. Pelaku people smuggling juga memperingatkan Reza untuk tidak keluar dari rumah itu supaya keberadaannya tidak diketahui oleh pihak imigrasi. Reza diizinkan untuk keluar dari rumah itu hanya jika pelaku people smuggling telah memberinya tiket ke Jakarta.
Setelah 13 hari tinggal di rumah yang tidak beratap, Reza berangkat ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Nama di tiket pesawat bukan namanya. Setelah tiba di Jakarta, dengan menggunakan taksi, Reza pergi ke sebuah hotel yang menurut dia khusus untuk para pengungsi dan pencari suaka. Per malam, ia harus membayar Rp 150.000. Setelah itu, Reza pergi ke kantor UNHCR untuk mendaftarkan dirinya agar bisa berangkat ke negara ketiga.
Untuk biaya hidup di Indonesia, awalnya Reza mengandalkan uang yang ia bawa dari Pakistan. Setelah uang itu habis, ia mengandalkan uang yang dikirim oleh keluarganya setiap lima bulan sekali sebesar 500 dollar AS, tetapi kini sudah tidak ada kiriman lagi.
Awalnya ia mengira hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa berangkat ke negara ketiga. Namun, sejak tahun 2013 sampai sekarang, belum ada kepastian dari UNHCR kapan ia akan berangkat ke negara ketiga. Istrinya telah menjual semua perhiasan, termasuk cincin pernikahan mereka. Semua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup Reza di Indonesia.
Harapannya adalah ia dapat segera diberangkatkan ke negara ketiga yang damai tempat ia dan keluarganya bisa tinggal.
${ profileData[articleIndex-1].title }

Nama: ${ profileData[articleIndex-1].title }
Usia: ${ profileData[articleIndex-1].usia }
Negara Asal: ${ profileData[articleIndex-1].negara }
Pekerjaan di negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].pekerjaan }
Alasan meninggalkan negara asal: ${ profileData[articleIndex-1].alasan }
Suaad Awad Omer Y (18) bersama suaminya, Mohamed Mustafa Abdalla (34), mengungsi dari Sudan pada Maret 2019. Sudah empat bulan nasib mereka terkatung-katung di Indonesia.
Sulit bagi kedua pasangan suami istri pengungsi ini memilih opsi untuk kembali ke negara kelahiran mereka. Keselamatan suaminya tengah terancam.
Abdalla, yang lahir di Garsila, Darfur bagian barat, menceritakan, sebelum bertemu Omer, ia menyingkir dari Darfur pada 2017. Perang sipil berkecamuk di Darfur, Sudan, sejak 2003. Ayah dan saudara laki-lakinya sempat terlibat dalam perang ini.
“Setahu saya mereka kalah berperang. Sampai saat ini saya tidak tahu bagaimana nasib mereka. Hanya ibu saya yang masih di sana,” tuturnya saat ditemui di Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (14/9/2019).
Abdalla pun memutuskan pergi meninggalkan Darfur karena takut atas keselamatannya. Ancaman genosida terus menghantui. Abdalla bahkan lari meninggalkan ibunya yang masih menetap di Darfur.
Pada tahun yang sama, Abdalla tiba di ibu kota Sudan, Khartoum. Setelah satu tahun bertahan hidup di ibu kota, Abdalla bertemu dengan calon istrinya, Omer, yang kini berusia 18 tahun. Keduanya memutuskan untuk menikah pada 2018. Sayangnya, pernikahan mereka tidak direstui oleh keluarga Omer. Paman dari keluarga Omer pun mengancam akan membunuh Abdalla. Ketakutan, mereka pun memutuskan untuk lari.
Omer dan Abdalla kebingungan. Mereka tidak bisa melarikan diri ke tempat lain di Sudan akibat perang sipil. Konflik dan perang menghantui negara yang terletak di timur laut Benua Afrika itu, termasuk kota kelahiran Abdalla di Garsila, Darfur bagian barat.
Mengungsi ke negara lain menjadi satu-satunya pilihan bagi mereka. Abdalla pun bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan jasa untuk memberangkatkan Abdalla dan Omer ke luar negeri. Mereka membayar uang 1.100 dollar AS kepada orang tersebut yang menjadi penyedia jasa perjalananan.
“Uang tersebut orang itu gunakan untuk memberikan 'tips' kepada sejumlah pihak guna menyediakan tiket pesawat dan bisa untuk kami. Kami akhirnya memperoleh visa kunjungan ke Indonesia,” kata Abdalla.
Dari Sudan, Abdalla dan Omer berangkat menggunakan pesawat menuju Arab Saudi pada 20 Maret 2019. Lama perjalanan sekitar tiga jam. Setelah transit selama satu hari, keduanya melanjutkan perjalanan selama sembilan jam ke Jakarta, Indonesia. Total perjalanan yang ditempuh selama dua hari.
Pasangan suami istri ini tiba di Indonesia pada 21 Maret. Mereka kemudian mendaftarkan diri sebagai pengungsi di kantor UNHCR Indonesia. Namun, nasib mereka masih terkatung-katung setelah empat bulan tinggal di Indonesia. Belum jelas bagaimana kelanjutan nasib Abdalla dan Omer, beserta bayi yang tengah dikandungnya. Mereka mengisi hari-hari mereka di Jakarta sambil berharap ada cahaya di ujung lorong gelap yang mereka tempuh selama ini.
“Saya sebelumnya tinggal di Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat, lalu sempat tinggal di jalanan. Kami kemudian pindah ke sini (Gedung Eks Kodim Kalideres). Entah negara mana yang ingin menerima kami, yang penting aman,” kata Omer yang kini sedang hamil muda.

Kerabat Kerja

Penulis: Elsa Emiria Leba, Maria Gratia Ondok | Ilustrator: Cahyo Heryunanto | Penyelaras Bahasa: Teguh Candra, Retmawati | Web Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Hanasya Shabrina, Deny Ramanda | Produser: Josie Susilo, Prasetyo Eko Prihananto |

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.

© PT Kompas Media Nusantara

kembali