Pemindahan Ibu Kota

Ganti orientasi perangkat anda menjadi mode potrait

Berburu
Ibu Kota Baru

Presiden Joko Widodo kembali memunculkan rencana pemindahan ibu kota, wacana yang sudah muncul sejak masa presiden pertama RI, Soekarno. Jakarta dianggap sudah terlalu sulit untuk didandani sebagai ibu kota yang ideal mengingat keterbatasan lahan dan kompleksnya masalah. Selain butuh biaya yang sangat tinggi, pemindahan ibu kota juga butuh perencanaan matang dan waktu pelaksanaan yang tidak sebentar. Seberapa penting sebenarnya memiliki ibu kota baru? Kota mana yang layak menggantikan Jakarta?

Perbincangan mengenai pemindahan ibu kota kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo melempar isu ini ke masyarakat. Wacana perpindahan ibu kota sebenarnya bukan barang baru. Rencana perpindahan ibu kota bahkan sudah muncul sejak presiden pertama RI, Soekarno, berlanjut dengan kepemimpinan selanjutnya, seperti Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Seberapa mendesak pemindahan ibu kota? Memindahkan ibu kota versi Jokowi tampaknya adalah memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain serta membiarkan Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, industri, dan jasa. Selama ini, Jakarta menanggung beban menjalankan banyak fungsi, yakni sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, industri, dan jasa.

Memindahkan ibu kota memang tidak akan begitu saja menyelesaikan masalah yang kadung membelit Jakarta, seperti banjir, macet, polusi, permukiman kumuh, dan kurangnya ruang terbuka hijau. Pemindahan ibu kota lebih bertujuan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan mengurangi ketimpangan antarwilayah yang mendera sejak dahulu.

Pemindahan ibu kota sebenarnya pernah terjadi di masa awal pendirian republik, yakni ke Yogyakarta (1946) dan Bukittingi (1948) untuk menyelamatkan diri dari gempuran Belanda. Untuk saat ini, tentu saja dibutuhkan pertimbangan sangat matang dengan konsekuensi biaya sangat besar untuk memindahkan ibu kota karena berarti ada porsi pembangunan yang harus digeser oleh agenda ini.

Begitu juga dengan perencanaan ibu kota baru yang perlu dipikirkan saksama agar kesalahan lama tidak terulang. Indonesia tentu bisa belajar dari beberapa negara yang pernah punya pengalaman memindahkan ibu kotanya. Apapun keputusannya, akan dirasakan dampaknya oleh anak cucu ahli waris negara ini kelak.

Katingan
Pulang Pisau
Kutai Kartanegara
Kecamatan Jonggol
Jakarta
Gunung Mas
Palangkaraya
lihat
Kemacetan dua arah di jalan tol dan nontol di Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta. Kemacetan lalu lintas di Jakarta menempati peringkat pertama di dunia menurut laporan Castrol's Magnatec Stop-Start Index (2014).
Kompas/Wawan H Prabowo

Mengapa pemerintah ingin memindahkan ibu kota dari Jawa?

  • Hampir 57 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa (Supas 2015).
  • Kegiatan perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan 58,49 persen. PDRB Jabodetabek 20,89 persen PDRB nasional (BPS 2018).
  • Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa mencapai 5,6 persen, di luar Jawa 4,7 persen (BPS 2018).
  • Krisis ketersediaan air bersih di sebagian besar Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta dan Jawa Timur.
  • Konversi lahan terbesar di Jawa. Lahan pertanian turun 0,93 persen (2013-2016) dan konsumsi lahan terbangun terbesar (2000-2030) (KLHS Bappenas 2019).
  • Indonesia rawan gempa, kecuali Kalimantan relatif aman.
  • Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi. Konsentrasi penduduk terbesar di Jakarta (10,27 juta jiwa) dan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) 32,7 juta jiwa (BPS 2017).
  • Turunnya daya dukung lingkungan. Akibatnya, rawan banjir, tanah turun, muka air laut naik, air sungai 96 persen tercemar berat, dan kemacetan tinggi. Kerugian ekonomi mencapai Rp 56 triliun per tahun (Pustral-UGM 2013).
Kereta api melintas di rel layang Manggarai-Kota di sekitar Monas, Jakarta Pusat, Jumat (17/2/2017).
Kompas/Agus Susanto

Kriteria ibu kota baru

  • Lokasi strategis, berada di tengah wilayah Indonesia sebagai representasi keadilan dan mendorong percepatan pengembangan kawasan timur Indonesia.
  • Punya lahan luas milik pemerintah/BUMN perkebunan untuk mengurangi biaya investasi.
  • Bebas bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, kebakaran hutan, dan lahan gambut.
  • Cukup sumber daya air, bebas pencemaran lingkungan.
  • Dekat dengan kota yang sudah berkembang dengan fasilitas bandara, pelabuhan, jalan, pelabuhan laut dalam, layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi.
  • Potensi konflik sosial rendah, komunitas lokal terbuka terhadap pendatang.
  • Memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan untuk meminimalkan kerawanan negara, meningkatkan hubungan regional dan internasional, tidak dekat wilayah perbatasan negara.

Soekarno

Rencana pemindahan ibu kota sudah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Palangkaraya menjadi pilihan karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Sekitar tahun 1950-an, Palangkaraya hanya sebuah kampung kecil bernama Pahandut dengan jumlah penduduk 900 jiwa. Kemudian, pada Juli 1957, Presiden Soekarno mengunjungi kampung tersebut menggunakan perahu. Setelah dua kali berkunjung, Soekarno memutuskan menjadikan kampung di aliran Sungai Kahayan tersebut menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan pecahan Provinsi Kalimantan Selatan.

Tak hanya itu, melihat wilayah Palangkaraya yang masih luas dan minim potensi bencana alam gempa bumi, Presiden Soekarno saat itu juga menginginkan Palangkaraya bisa menjadi ibu kota negara baru. Sejak itu, kawasan yang kosong tersebut mulai ditata ruangnya menjadi sebuah kota baru. Namun, rencana pemindahan kemudian urung dilaksanakan. Perekonomian Indonesia pada era sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan dinilai masih belum stabil untuk mewujudkan rencana besar tersebut. Rencana pemindahan ibu kota pun mengendap.

Palangkaraya, Kalimantan Tengah

Palangkaraya masuk radar pilihan karena dianggap ideal, seperti hasil kajian Bappenas (2017). Masih ada sekitar 500.000 hektar lahan yang tersebar di Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Gunung Mas. Lahan yang cukup luas ini akan memudahkan pembangunan fasilitas kementerian, lembaga, dan permukiman PNS.

Kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya yang diikuti pemindahan sebagian masyarakat secara tidak langsung akan membangkitkan perekonomian di Palangkaraya dan kabupaten sekitarnya. Pembangunan sejumlah kantor pemerintahan dan fasilitas pendukungnya, seperti permukiman, akan meningkatkan lapangan kerja. Belum lagi fasilitas lain, seperti pusat perdagangan, jasa, serta hotel dan restoran, yang harus tersedia untuk mendukung pusat pemerintahan tersebut.

Tak hanya sektor bangunan dan perdagangan atau jasa yang meningkat, tetapi kemungkinan juga akan diikuti oleh sektor angkutan dan komunikasi, keuangan, dan jasa perusahaan. Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Palangkaraya 7,18 persen dan berada pada urutan kelima setelah Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Kapuas. Harapannya, setelah menjadi ibu kota negara, pertumbuhan ekonominya menjadi nomor satu di Kalimantan Tengah dan menarik perekonomian wilayah lain di Kalimantan Tengah.

Warga Palangkaraya berkegiatan pagi di hari bebas kendaraan di Bundaran Besar Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (1/11/2015). Palangkaraya adalah salah satu kota yang dikaji menjadi ibu kota pengganti Jakarta.
Kompas/Lucky Pransiska

Kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya secara tidak langsung akan mengurangi beban Jakarta, khususnya dari jumlah penduduk, yang akan berpengaruh pada berkurangnya beban arus lalu lintas dan lingkungan. Berdasarkan kajian Bappenas (2017), diharapkan akan dihemat biaya transportasi sekitar Rp 2 triliun.

Kelebihan

  • Ketersediaan lahan 500.000 ha yang tersebar di Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, & Gunung Mas.
  • Penghematan biaya transportasi sekitar Rp 2 triliun.
  • Pemerataan pembangunan & pertumbuhan ekonomi ke luar Jawa.
  • Beban arus lalu lintas dan lingkungan Jakarta berkurang.
  • Ibu kota pemerintahan ideal.

Kekurangan

  • Tidak akan menghilangkan masalah perkotaan.
  • Biaya ekonomi politik lebih tinggi dibandingkan membenahi kemacetan & banjir.
  • Risiko pemindahan dokumen negara tinggi.
  • Konsekuensi: Perlu dukungan perencanaan yang matang, termasuk sistem infrastruktur yang terintegrasi untuk mendukung kegiatan pemerintahan di lokasi baru.
Sejumlah remaja berswafoto di Tugu Soekarno yang diselimuti kabut asap di Palangkaraya, Kalteng, Kamis (10/9/2015). Jarak pandang kurang dari 100 meter. Anak sekolah diliburkan dan penerbangan terganggu.
Kompas/Megandika Wicaksono

Soeharto

Pada era Orde Baru, wacana pemindahan ibu kota kembali bergulir di tahun 1980. Saat itu, Presiden Soeharto menyuarakan Kecamatan Jonggol di Kabupaten Bogor sebagai calon lokasi pusat pemerintahan baru. Penyebab wacana pemindahan pun relatif sama dengan saat ini, yaitu soal kepadatan wilayah, problem sosial, kemacetan, dan daya dukung lingkungan. Wilayah tersebut dipilih karena hanya berjarak 40 kilometer dari Jakarta, relatif masih kosong, cuaca cukup sejuk, dan bebas dari bencana banjir. Namun, lagi-lagi wacana pemindahan ibu kota tersebut menguap seiring berakhirnya era Orde Baru.

Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor

Jonggol dipilih sebagai calon ibu kota baru pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor ini berlokasi 60 kilometer di Jakarta. Dilihat dari faktor jarak, tidak terlalu jauh dari Jakarta, biaya pemindahannya bisa jadi lebih kecil dan tidak berisiko. Jarak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pun tidak terlalu jauh meski risiko kemacetan di jalur Cengkareng–Jonggol masih menjadi ancaman.

Pada tahun 2010, di sini masih terdapat lahan kosong seluas 30 hektar yang memudahkan proses perencanaan tata ruang dibandingkan lahan yang sudah berisi bangunan. Dengan demikian, potensi benturan proses pembebasan lahan dan biaya pembebasan lahan bisa diminimalkan.

Selain itu, Kecamatan Jonggol berada pada ketinggian 110 meter di atas permukaan laut sehingga bebas dari banjir. Meski demikian, harus diwaspadai berbagai bencana lain yang muncul, seperti tanah longsor. Kecamatan Jonggol dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 ditetapkan sebagai kawasan gerakan tanah tinggi.

Belajar menanam padi di Taman Bunga Mekarsari, Jonggol, Jawa Barat. Jonggol pernah dikaji sebagai ibu kota menggantikan Jakarta.
Kompas/Arbain Rambey

Sebagai kecamatan, infrastruktur yang dimiliki Jonggol butuh peningkatan menjadi skala ibu kota negara. Untuk meningkatkannya dibutuhkan biaya investasi yang tidak kecil. Selain itu, sejumlah infrastruktur, seperti jalan dan jembatan yang ada, juga rawan rusak. Bahkan, April 2017 lalu, Jembatan Cipamingkis yang berada Kampung Jagagita, Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, putus dan membuat akses transportasi Cariu-Jonggol terganggu. Belum lagi lebar jalan yang hanya 6 meter dan hanya bisa menampung dua mobil.

Jonggol, menurut peraturan daerah Provinsi Jawa Barat, ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi. Bersama kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur, Jonggol dinilai berperan penting dalam konservasi lingkungan, yang ujungnya untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Peran kawasan konservasi tersebut juga diperkuat dengan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 (Perda No 19 Tahun 2008), yang menyebutkan Kecamatan Jonggol merupakan kawasan resapan air.

Kelebihan

  • Dekat dengan Jakarta (60 km).
  • Biaya pemindahan bisa jadi lebih kecil.
  • Bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
  • Bebas banjir karena terletak di dataran tinggi.
  • Tersedia lahan kosong seluas 30 ribu hektar.

Kekurangan

  • Jonggol merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor sehingga membutuhkan investasi besar untuk meningkatkan skalanya menjadi ibu kota.
  • Harus membangun banyak sarana prasarana pendukung.
  • Rawan jembatan putus.
  • Infrastruktur jalan masih kurang karena saat ini satu-satunya akses jalan menuju Jonggol adalah melewati jalur Cibubur-Cileungsi-Jonggol yang rawan macet.
  • Merupakan daerah konservasi sehingga tidak semuanya bisa dikembangkan menjadi kawasan budidaya.
Areal persawahan yang teraliri irigasi dari Bendungan Cipamingkis di Sukasirna, Desa Bendungan, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/11/2018). Di masa pemerintahan Soeharto, Jonggol pernah dipertimbangkan sebagai ibu kota menggantikan Jakarta.
Kompas/Agus Susanto

Susilo Bambang Yudhoyono

Rencana pemindahan ibu kota Jakarta kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ide tersebut timbul setelah banjir besar melanda selama sepekan di tahun 2007. Saat itu, hampir seluruh jalan di Jakarta terendam air dan perdagangan serta transportasi lumpuh. Presiden SBY menggulirkan tiga skenario. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, ekonomi, dan perdagangan, tetapi dibenahi total. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru di wilayah lain. Ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Pilihannya, Jonggol, Purwokerto, Yogyakarta, atau Malang.

Selain tiga skenario tersebut, SBY menginginkan perluasan cakupan Jakarta sebagai ibu kota menjadi Greater Jakarta hingga Sukabumi dan Purwakarta. Sempat dibentuk Tim Visi Indonesia 2033 untuk mengkaji wacana pemindahan ibu kota. Hasilnya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan memakan biaya hingga Rp 100 triliun, yang akan dikeluarkan bertahap selama 10 tahun. Meski telah membentuk tim pengkajian pada 2010, wacana tersebut tak juga terlaksana. Diduga karena kepindahan ibu kota membutuhkan waktu lebih dari lima tahun, bahkan bisa sampai tiga kali pergantian pemimpin, seperti pengalaman negara lain. Kepemimpinan SBY yang berakhir pada 2014 akhirnya membuat rencana tersebut tak juga terwujud.

Joko Widodo

Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan wacana pemindahan ibu kota. Pemindahan hanya berfokus memindahkan pusat pemerintahan, sedangkan pusat perekonomian, perdagangan, dan jasa tetap di Jakarta. Joko Widodo melihat bahwa beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat industri, perdagangan, dan jasa sangat berat. Demikian pula dengan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial Jakarta yang semakin menurun. Selain itu, ia menginginkan pembangunan yang lebih merata, tidak hanya terpusat di Jawa.

Jokowi bahkan sudah menengok sejumlah lokasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pemerintahannya juga telah menghitung, biaya pembangunan fisik ibu kota baru di Kalimantan akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun, yang akan dibiayai dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta swasta.

Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah

Kabupaten Katingan yang terletak di segitiga emas Kalimantan Tengah tersebut menjadi salah satu calon kuat lokasi ibu kota Indonesia yang baru. Selain tidak ada ancaman bencana geologis, wilayah di sisi barat Kota Palangkaraya tersebut mempunyai modal lahan yang cukup luas untuk lokasi pembangunan pusat pemerintahan baru. Hanya saja, tetap dibutuhkan pembenahan infrastruktur, seperti kesehatan, pendidikan, dan jalan.

Kelebihan

  • Terletak di tengah wilayah Indonesia (jarak ke ujung barat sekitar 2.500 kilometer & jarak ke ujung timur sekitar 3.000 kilometer).
  • Akses mudah ke wilayah pesisir (sekitar 160 kilometer dari pantai dan waktu tempuh normal sekitar empat jam).
  • Masih tersedia lahan kosong. Luas lahan tak terbangun sekitar 99 persen dari total luas seluruh wilayah (lebih dari 2 juta hektar).
  • Kondisi kepadatan penduduk masih rendah, yaitu 8 jiwa per kilometer persegi.
  • Wilayah didominasi topografi datar hingga landai.
  • Sedikit berbukit di bagian utara.
  • Tidak ada ancaman bencana geologi (sesar).
  • Kinerja ekonomi terus meningkat hingga mencapai 6,56 persen pada tahun 2017.
  • PDRB per kapita naik mencapai Rp 41,17 juta pada tahun 2017.
Tarian Giring Giring Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, memeriahkan Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional 2009 di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Minggu (27/12/2009) malam. Dengan lahan yang luas dan wilayah yang relatif bebas gempa, Katingan masuk dalam daftar kandidat calon ibu kota baru menggantikan Jakarta.
Kompas/Raditya Helabumi

Kekurangan

  • Infrastruktur jalan belum memadai (total 32,34 persen jalan yang beraspal & didominasi kondisi jalan tanah).
  • Ketersediaan RS dan sekolah masih sangat kurang.
  • Layanan kesehatan didominasi layanan posyandu.
  • Kualitas SDM rendah (Indeks Pembangunan Manusia tahun 2017 hanya sebesar 67,56).
  • Rata-rata lama sekolah sekitar 8,64 tahun.
  • Angka harapan hidup hanya 65,63 tahun.
  • Kegiatan ekonomi didominasi sektor primer, sektor industri dan jasa belum berkembang pesat.
  • Risiko bencana tinggi untuk banjir serta kebakaran hutan dan lahan (sebagian besar kawasan memiliki lapisan gambut).
  • Lokasi jauh dari pelabuhan laut (sekitar enam jam).
  • Ketersediaan sumber daya air terbatas, mengandalkan air sungai.
  • Struktur demografi homogen dan secara historis pernah terjadi konflik sosial (peristiwa Sampit).
Suasana belajar di Sekolah Dasar Negeri Sebangau Jaya, Kecamatan Katingan Kuala, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Senin (5/6/2017). Sekolah ini minim fasilitas, anak-anak sekolah terkadang harus menggunakan satu kursi untuk dua orang dan juga tanpa meja. Kualitas SDM yang masih rendah menjadi PR bagi Katingan yang belum lama ini diperhitungkan sebagai salah satu kandidat ibu kota baru.
Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo

Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

Kabupaten Pulang Pisau sempat disebut-sebut sebagai calon ibu kota negara yang baru. Secara letak geografis, daerah ini cukup diperhitungkan karena terletak di pesisir selatan Kalimantan Tengah dan dekat dengan pusat ibu kota provinsi, Palangkaraya (jarak lebih kurang 100 km). Namun, kondisi lingkungan yang sarat akan banjir dan kebakaran hutan belum cukup mendukung pembangunan ibu kota negara baru di daerah ini.

Kelebihan

  • Daerah masih aktif bertumbuh dan dikembangkan (daerah otonom baru, dibentuk pada 2002).
  • Berada di pesisir selatan Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
  • Menjadi pintu gerbang baru Kalimantan Tengah dengan pelabuhan baru untuk akses ke Jawa.
  • Dekat dengan pusat ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Palangkaraya (sekitar 100 km).
  • Dilewati jalur trans-Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Selatan.
  • Wilayah didominasi topografi datar hingga landai.
  • Bebas bencana gempa bumi.
Petani karet Kalimantan Tengah di Desa Tanjung Sangalang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Minggu (11/12/2005). Pulang Pisau diperhitungkan sebagai salah satu kandidat ibu kota menggantikan Jakarta.
Kompas/Cyprianus Anto Saptowalyono

Kekurangan

  • 60 persen wilayahnya merupakan lahan gambut dan rawan kebakaran lahan.
  • Rawan banjir (rob dan akibat curah hujan tinggi).
  • Sumber air sedikit tercemar.
  • Banyak lahan budidaya yang dilindungi untuk pertanian karena ditargetkan menjadi lumbung padi terbesar.
  • Struktur demografi homogen dan secara historis pernah terjadi konflik sosial (peristiwa Sampit).
Ratusan hektar lahan yang habis terbakar di Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Jumat (30/10/2015). Kebakaran hutan merupakan salah satu potensi bencana yang harus diwaspadai di wilayah ini.
Kompas/Lucky Pransiska

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Wilayah Kutai Kartanegara menjadi satu-satunya wilayah di Kalimantan Timur yang menjadi salah satu calon lokasi ibu kota. Kabupaten di selatan Balikpapan tersebut cukup ideal untuk menjadi pusat pemerintahan baru, di antaranya ketersediaan lahan yang luas, bukan lahan konservasi, dekat dengan akses pelabuhan dan bandara, serta dilewati Tol Balikpapan-Samarinda. Ditunjang juga oleh struktur perekonomian yang kuat sebagai penyumbang kegiatan ekonomi di Kalimantan Timur. Namun, lingkungan wilayah bekas Kasultanan Kutai Kertanegara tersebut rusak oleh aktivitas tambang yang berdampak pada ketersediaan air bersih dan munculnya bencana banjir dan longsor.

Kelebihan

  • Memiliki lahan luas (27 juta hektar).
  • Memiliki ketersediaan lahan dengan status APL, hutan produksi dengan konsesi HTI dan hutan produksi yang bebas konsesi.
  • Kepadatan penduduk rendah (3 jiwa per kilometer persegi).
  • Dekat dengan Pelabuhan Semayang, Balikpapan.
  • Memiliki 18 pelabuhan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
  • Dekat dengan dua bandara di Balikpapan dan Samarinda.
  • Dekat dengan akses Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.
  • Lokasi deleniasi dilewati oleh ALKI II di sekitar Selat Makassar.
  • Penyumbang PDRB tertinggi di Kalimantan Timur.
  • Struktur demografi heterogen, sebagian besar pendatang.
  • Tidak berbatasan langsung dengan batas negara.
Perempuan suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Budaya Lung Anai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, membawakan tarian dalam rangkaian prosesi uman undrat atau pesta panen, Sabtu (20/5/2016). Pesta adat ini sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Keterbukaan masyarakat lokal dan potensi konflik sosial yang rendah menjadi salah satu yang diperhitungkan dalam pemilihan calon ibu kota baru.
Lukas Adi Prasetya

Kekurangan

  • Infrastruktur umum kurang.
  • Banyak kasus kejahatan.
  • Ketersediaan air bersih kurang.
  • Lingkungan Bukit Soeharto rusak karena aktivitas tambang.
  • Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor.
Kegiatan penambangan di perbatasan Samarinda-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (16/12/2011). Bebas pencemaran lingkungan menjadi salah satu kriteria dalam pemilihan ibu kota.
Kompas/Alif Ichwan

Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah

Kabupaten Gunung Mas masuk dalam ”radar” calon ibu kota. Ketersediaan lahan yang luas dengan wilayah yang bebas bencana gempa bumi menjadi poin plus kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah ini. Namun, kondisi infrastrukturnya belum memadai dengan kondisi masyarakat yang rawan konflik sosial.

Kelebihan

  • Bebas bencana gempa bumi.
  • Ketersediaan lahan yang luas.
  • Kepadatan penduduk rendah (10,2 jiwa per kilometer persegi).
  • Kualitas udara bagus.
  • Indeks kualitas lingkungan hidup bagus.
  • Bukan kawasan konservasi.
Para penghuni rumah betang Toyoi sedang berbincang di muka pintu rumah panjang khas Dayak di Desa Tumbang Melahoi, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (16/5/2017). Komunitas lokal yang terbuka dengan pendatang serta potensi konflik sosial yang rendah menjadi salah satu poin plus bagi calon ibu kota baru.
Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo

Kekurangan

  • Infrastruktur belum memadai (jalan dan listrik).
  • Ketersediaan sumber daya air tanah terbatas, hanya memanfaatkan air sungai.
  • Memiliki lapisan gambut yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan (tujuh kecamatan rawan kebakaran).
  • Rawan konflik sosial.
  • Rawan banjir, terutama di bagian selatan di daerah rawa.
  • Jauh dari Pelabuhan Sampit (sekitar enam jam).
  • Jauh dari Palangkaraya (sekitar lima jam).
  • Jauh dari Bandara Tjilik Riwut (sekitar lima jam).
Kondisi jalan lintas tengah di Jalan Tewah-Tumbang Jutuh, Kecamatan Rungan Hulu, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (19/2/2014). Pemilihan ibu kota baru mempertimbangkan kondisi infrastruktur dasar.
Kompas/Megandika Wicaksono

Skenario pemindahan ibu kota

  • Jika pusat pemerintahan tetap di Jakarta, tetapi pusat jasa, perdagangan, dan industri dipindahkan ke empat pulau besar lain secara merata. Kelebihannya, beban lalu lintas dan lingkungan Jakarta berkurang. Kekurangannya, butuh investasi besar untuk memindahkan pusat jasa, perdagangan, dan industri beserta sumber daya manusia masing-masing.
  • Jika pusat perdagangan, industri, dan jasa tetap di Jakarta, pusat pemerintahan pindah ke Kalimantan. Kelebihannya, tersedia lahan 500.000 hektar yang tersebar di Palangkaraya, Katingan, dan Gunung Mas, menghilangkan kerugian akibat macet Rp 2 triliun per tahun, terjadi pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, serta mengurangi beban lalu lintas dan lingkungan di Jakarta. Kekurangan, tidak menghilangkan masalah perkotaan di Jakarta, biaya ekonomi politik lebih tinggi dibandingkan membenahi kemacetan dan banjir, risiko pemindahan dokumen negara tinggi.
  • Tidak perlu memindahkan ibu kota. Kelebihan, tidak ada biaya pindah, tetapi butuh investasi besar untuk pengembangan teknologi infrastruktur. Kekurangan, kondisi lingkungan makin buruk, pertumbuhan ekonomi hanya bertumpu di Jawa.

Biaya pembangunan fisik ibu kota (sumber dana APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, dan swasta)

  • Gedung legislatif, gedung eksekutif, gedung yudikatif, istana negara, dan bangunan strategis TNI/Polri (Rp 32,7 triliun).
  • Rumah dinas (bertingkat dan rumah tapak ASN, TNI/Polri), sarana pendidikan (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi), sarana kesehatan, dan lembaga pemasyarakatan (Rp 265,1 triliun).
  • Sarana dan prasarana (jalan, listrik, telekomunikasi, air minum, drainase, pengolah limbah, sarana olahraga (Rp 156,2 triliun).
  • Ruang terbuka hijau (Rp 4 triliun)
  • Pengadaan lahan (Rp 8 triliun).
  • Total Rp 466 triliun.
  • Peningkatan bandara dan pelabuhan (sumber dana BUMN).

Kerabat Kerja

Produser: Sri Rejeki | Penulis: Sri Rejeki, M Puteri Rosalina | Web Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Infografik: Gunawan Kartapranata | Ilustrator: Tiurma Clara Jessica, Elga Yuda Pranata | Litbang Kompas: Yoesep Budianto, Debora Laksmi, M Puteri Rosalina, Yohanes Adven, Rangga Eka, Mahatma Chrysna, Andreas Yoga, Agustina Purwanti | Penyelaras Bahasa: Nanik Dwiastuti | Fotografer: Wawan H Prabowo, Agus Susanto, Lucky Pransiska, Megandika Wicaksono, Arbain Rambey, Raditya Helabumi, Dionisius Reynaldo Triwibowo, Cyprianus Anto Saptowalyono, Lukas Adi Prasetya, Alif Ichwan | Sumber: Litbang Kompas, BPS, BNPB, dan Google Earth

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.

© PT Kompas Media Nusantara
Scroll