Ganti orientasi perangkat anda menjadi mode potrait
Presiden Joko Widodo kembali memunculkan rencana pemindahan ibu kota, wacana yang sudah muncul sejak masa presiden pertama RI, Soekarno. Jakarta dianggap sudah terlalu sulit untuk didandani sebagai ibu kota yang ideal mengingat keterbatasan lahan dan kompleksnya masalah. Selain butuh biaya yang sangat tinggi, pemindahan ibu kota juga butuh perencanaan matang dan waktu pelaksanaan yang tidak sebentar. Seberapa penting sebenarnya memiliki ibu kota baru? Kota mana yang layak menggantikan Jakarta?
Perbincangan mengenai pemindahan ibu kota kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo melempar isu ini ke masyarakat. Wacana perpindahan ibu kota sebenarnya bukan barang baru. Rencana perpindahan ibu kota bahkan sudah muncul sejak presiden pertama RI, Soekarno, berlanjut dengan kepemimpinan selanjutnya, seperti Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Seberapa mendesak pemindahan ibu kota? Memindahkan ibu kota versi Jokowi tampaknya adalah memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain serta membiarkan Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, industri, dan jasa. Selama ini, Jakarta menanggung beban menjalankan banyak fungsi, yakni sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, industri, dan jasa.
Memindahkan ibu kota memang tidak akan begitu saja menyelesaikan masalah yang kadung membelit Jakarta, seperti banjir, macet, polusi, permukiman kumuh, dan kurangnya ruang terbuka hijau. Pemindahan ibu kota lebih bertujuan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan mengurangi ketimpangan antarwilayah yang mendera sejak dahulu.
Pemindahan ibu kota sebenarnya pernah terjadi di masa awal pendirian republik, yakni ke Yogyakarta (1946) dan Bukittingi (1948) untuk menyelamatkan diri dari gempuran Belanda. Untuk saat ini, tentu saja dibutuhkan pertimbangan sangat matang dengan konsekuensi biaya sangat besar untuk memindahkan ibu kota karena berarti ada porsi pembangunan yang harus digeser oleh agenda ini.
Begitu juga dengan perencanaan ibu kota baru yang perlu dipikirkan saksama agar kesalahan lama tidak terulang. Indonesia tentu bisa belajar dari beberapa negara yang pernah punya pengalaman memindahkan ibu kotanya. Apapun keputusannya, akan dirasakan dampaknya oleh anak cucu ahli waris negara ini kelak.
Kondisi Alam | : Dominan landai hingga datar, sedikit berbukit di bagian utara |
Luas Area (Hektar) | : 2.019.711 |
Ancaman Bencana | : Banjir serta kebakaran hutan dan lahan |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 794,36 |
Fasilitas Pendidikan* | : 456 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 165.306 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 6,56 |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 6,8 |
IPM* | : 67,56 |
Kondisi Alam | : Bagian selatan dominan datar, berbukit di bagian utara |
Luas Area (Hektar) | : 889.700 |
Ancaman Bencana | : Banjir serta kebakaran hutan dan lahan |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 1.456,72 |
Fasilitas Pendidikan* | : 293 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 126.181 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 5,86 |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 4,4 |
IPM* | : 67 |
Kondisi Alam | : Dominan bergelombang dan berbukit, area datar ada di dekat pantai |
Luas Area (Hektar) | : 27.263.100 |
Ancaman Bencana | : Banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 2.193,02 |
Fasilitas Pendidikan* | : 1.344 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 752.091 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 15,98 |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 148,3 |
IPM* | : 72,75 |
Kondisi Alam | : Bagian selatan dominan berbukit, landai di bagian utara |
Luas Area (Hektar) | : 10.258 |
Ancaman Bencana | : Banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, dan gempa bumi |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 261,5 |
Fasilitas Pendidikan* | : 105 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 144.292 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 6,44** |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 1,1** |
IPM* | : 71,83** |
Kondisi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara | 1. Kepadatan penduduk 15.366 per km persegi.
2. Penurunan muka tanah di utara 7,5 cm per tahun. 3. Bencana banjir. 4. Sebanyak 82 persen sungai di Jakarta tercemar. 5. Kemacetan lalu lintas peringkat pertama di dunia menurut laporan Castrol's Magnatec Stop-Start Index (2014). 6. Kesenjangan. Ekonomi Jakarta triwulan I tahun 2017 tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun, lebih tinggi dari nasional (5,01 persen per tahun). 7. Peranan ekonomi Jakarta terhadap PDB nasional meningkat dari 15,7 persen (2010) menjadi 17 persen (2015). 8. Peredaran uang nasional 70 persen di Jakarta. |
Kondisi Alam | : Daerah bervariasi (bagian selatan dominan landai, bagian utara dominan berbukit), tidak berbatasan dengan pantai |
Luas Area (Hektar) | : 1.080.400 |
Ancaman Bencana | : Banjir dan tanah longsor |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 738,99 |
Fasilitas Pendidikan* | : 374 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 115.054 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 115.054 |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 4,71 |
IPM* | : 69,95 |
Kondisi Alam | : Daerah dominan landai dan tidak berbatasan langsung dengan pantai |
Luas Area (Hektar) | : 239.950 |
Ancaman Bencana | : Banjir dan kebakaran hutan |
Panjang Jalan (Kilometer)* | : 911,83 |
Fasilitas Pendidikan* | : 335 |
Jumlah Penduduk (Jiwa)* | : 275.667 |
Pertumbuhan Ekonomi (%)* | : 7,18 |
PDRB (Triliun Rupiah)* | : 11,29 |
IPM* | : 79,69 |
Mengapa pemerintah ingin memindahkan ibu kota dari Jawa?
Kriteria ibu kota baru
Rencana pemindahan ibu kota sudah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Palangkaraya menjadi pilihan karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Sekitar tahun 1950-an, Palangkaraya hanya sebuah kampung kecil bernama Pahandut dengan jumlah penduduk 900 jiwa. Kemudian, pada Juli 1957, Presiden Soekarno mengunjungi kampung tersebut menggunakan perahu. Setelah dua kali berkunjung, Soekarno memutuskan menjadikan kampung di aliran Sungai Kahayan tersebut menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan pecahan Provinsi Kalimantan Selatan.
Tak hanya itu, melihat wilayah Palangkaraya yang masih luas dan minim potensi bencana alam gempa bumi, Presiden Soekarno saat itu juga menginginkan Palangkaraya bisa menjadi ibu kota negara baru. Sejak itu, kawasan yang kosong tersebut mulai ditata ruangnya menjadi sebuah kota baru. Namun, rencana pemindahan kemudian urung dilaksanakan. Perekonomian Indonesia pada era sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan dinilai masih belum stabil untuk mewujudkan rencana besar tersebut. Rencana pemindahan ibu kota pun mengendap.
Palangkaraya masuk radar pilihan karena dianggap ideal, seperti hasil kajian Bappenas (2017). Masih ada sekitar 500.000 hektar lahan yang tersebar di Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Gunung Mas. Lahan yang cukup luas ini akan memudahkan pembangunan fasilitas kementerian, lembaga, dan permukiman PNS.
Kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya yang diikuti pemindahan sebagian masyarakat secara tidak langsung akan membangkitkan perekonomian di Palangkaraya dan kabupaten sekitarnya. Pembangunan sejumlah kantor pemerintahan dan fasilitas pendukungnya, seperti permukiman, akan meningkatkan lapangan kerja. Belum lagi fasilitas lain, seperti pusat perdagangan, jasa, serta hotel dan restoran, yang harus tersedia untuk mendukung pusat pemerintahan tersebut.
Tak hanya sektor bangunan dan perdagangan atau jasa yang meningkat, tetapi kemungkinan juga akan diikuti oleh sektor angkutan dan komunikasi, keuangan, dan jasa perusahaan. Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Palangkaraya 7,18 persen dan berada pada urutan kelima setelah Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Kapuas. Harapannya, setelah menjadi ibu kota negara, pertumbuhan ekonominya menjadi nomor satu di Kalimantan Tengah dan menarik perekonomian wilayah lain di Kalimantan Tengah.
Kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya secara tidak langsung akan mengurangi beban Jakarta, khususnya dari jumlah penduduk, yang akan berpengaruh pada berkurangnya beban arus lalu lintas dan lingkungan. Berdasarkan kajian Bappenas (2017), diharapkan akan dihemat biaya transportasi sekitar Rp 2 triliun.
Kelebihan
Kekurangan
Pada era Orde Baru, wacana pemindahan ibu kota kembali bergulir di tahun 1980. Saat itu, Presiden Soeharto menyuarakan Kecamatan Jonggol di Kabupaten Bogor sebagai calon lokasi pusat pemerintahan baru. Penyebab wacana pemindahan pun relatif sama dengan saat ini, yaitu soal kepadatan wilayah, problem sosial, kemacetan, dan daya dukung lingkungan. Wilayah tersebut dipilih karena hanya berjarak 40 kilometer dari Jakarta, relatif masih kosong, cuaca cukup sejuk, dan bebas dari bencana banjir. Namun, lagi-lagi wacana pemindahan ibu kota tersebut menguap seiring berakhirnya era Orde Baru.
Jonggol dipilih sebagai calon ibu kota baru pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor ini berlokasi 60 kilometer di Jakarta. Dilihat dari faktor jarak, tidak terlalu jauh dari Jakarta, biaya pemindahannya bisa jadi lebih kecil dan tidak berisiko. Jarak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pun tidak terlalu jauh meski risiko kemacetan di jalur Cengkareng–Jonggol masih menjadi ancaman.
Pada tahun 2010, di sini masih terdapat lahan kosong seluas 30 hektar yang memudahkan proses perencanaan tata ruang dibandingkan lahan yang sudah berisi bangunan. Dengan demikian, potensi benturan proses pembebasan lahan dan biaya pembebasan lahan bisa diminimalkan.
Selain itu, Kecamatan Jonggol berada pada ketinggian 110 meter di atas permukaan laut sehingga bebas dari banjir. Meski demikian, harus diwaspadai berbagai bencana lain yang muncul, seperti tanah longsor. Kecamatan Jonggol dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 ditetapkan sebagai kawasan gerakan tanah tinggi.
Sebagai kecamatan, infrastruktur yang dimiliki Jonggol butuh peningkatan menjadi skala ibu kota negara. Untuk meningkatkannya dibutuhkan biaya investasi yang tidak kecil. Selain itu, sejumlah infrastruktur, seperti jalan dan jembatan yang ada, juga rawan rusak. Bahkan, April 2017 lalu, Jembatan Cipamingkis yang berada Kampung Jagagita, Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, putus dan membuat akses transportasi Cariu-Jonggol terganggu. Belum lagi lebar jalan yang hanya 6 meter dan hanya bisa menampung dua mobil.
Jonggol, menurut peraturan daerah Provinsi Jawa Barat, ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi. Bersama kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur, Jonggol dinilai berperan penting dalam konservasi lingkungan, yang ujungnya untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Peran kawasan konservasi tersebut juga diperkuat dengan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 (Perda No 19 Tahun 2008), yang menyebutkan Kecamatan Jonggol merupakan kawasan resapan air.
Kelebihan
Kekurangan
Rencana pemindahan ibu kota Jakarta kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ide tersebut timbul setelah banjir besar melanda selama sepekan di tahun 2007. Saat itu, hampir seluruh jalan di Jakarta terendam air dan perdagangan serta transportasi lumpuh. Presiden SBY menggulirkan tiga skenario. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, ekonomi, dan perdagangan, tetapi dibenahi total. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru di wilayah lain. Ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Pilihannya, Jonggol, Purwokerto, Yogyakarta, atau Malang.
Selain tiga skenario tersebut, SBY menginginkan perluasan cakupan Jakarta sebagai ibu kota menjadi Greater Jakarta hingga Sukabumi dan Purwakarta. Sempat dibentuk Tim Visi Indonesia 2033 untuk mengkaji wacana pemindahan ibu kota. Hasilnya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan memakan biaya hingga Rp 100 triliun, yang akan dikeluarkan bertahap selama 10 tahun. Meski telah membentuk tim pengkajian pada 2010, wacana tersebut tak juga terlaksana. Diduga karena kepindahan ibu kota membutuhkan waktu lebih dari lima tahun, bahkan bisa sampai tiga kali pergantian pemimpin, seperti pengalaman negara lain. Kepemimpinan SBY yang berakhir pada 2014 akhirnya membuat rencana tersebut tak juga terwujud.
Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan wacana pemindahan ibu kota. Pemindahan hanya berfokus memindahkan pusat pemerintahan, sedangkan pusat perekonomian, perdagangan, dan jasa tetap di Jakarta. Joko Widodo melihat bahwa beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat industri, perdagangan, dan jasa sangat berat. Demikian pula dengan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial Jakarta yang semakin menurun. Selain itu, ia menginginkan pembangunan yang lebih merata, tidak hanya terpusat di Jawa.
Jokowi bahkan sudah menengok sejumlah lokasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pemerintahannya juga telah menghitung, biaya pembangunan fisik ibu kota baru di Kalimantan akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun, yang akan dibiayai dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta swasta.
Kabupaten Katingan yang terletak di segitiga emas Kalimantan Tengah tersebut menjadi salah satu calon kuat lokasi ibu kota Indonesia yang baru. Selain tidak ada ancaman bencana geologis, wilayah di sisi barat Kota Palangkaraya tersebut mempunyai modal lahan yang cukup luas untuk lokasi pembangunan pusat pemerintahan baru. Hanya saja, tetap dibutuhkan pembenahan infrastruktur, seperti kesehatan, pendidikan, dan jalan.
Kelebihan
Kekurangan
Kabupaten Pulang Pisau sempat disebut-sebut sebagai calon ibu kota negara yang baru. Secara letak geografis, daerah ini cukup diperhitungkan karena terletak di pesisir selatan Kalimantan Tengah dan dekat dengan pusat ibu kota provinsi, Palangkaraya (jarak lebih kurang 100 km). Namun, kondisi lingkungan yang sarat akan banjir dan kebakaran hutan belum cukup mendukung pembangunan ibu kota negara baru di daerah ini.
Kelebihan
Kekurangan
Wilayah Kutai Kartanegara menjadi satu-satunya wilayah di Kalimantan Timur yang menjadi salah satu calon lokasi ibu kota. Kabupaten di selatan Balikpapan tersebut cukup ideal untuk menjadi pusat pemerintahan baru, di antaranya ketersediaan lahan yang luas, bukan lahan konservasi, dekat dengan akses pelabuhan dan bandara, serta dilewati Tol Balikpapan-Samarinda. Ditunjang juga oleh struktur perekonomian yang kuat sebagai penyumbang kegiatan ekonomi di Kalimantan Timur. Namun, lingkungan wilayah bekas Kasultanan Kutai Kertanegara tersebut rusak oleh aktivitas tambang yang berdampak pada ketersediaan air bersih dan munculnya bencana banjir dan longsor.
Kelebihan
Kekurangan
Kabupaten Gunung Mas masuk dalam ”radar” calon ibu kota. Ketersediaan lahan yang luas dengan wilayah yang bebas bencana gempa bumi menjadi poin plus kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah ini. Namun, kondisi infrastrukturnya belum memadai dengan kondisi masyarakat yang rawan konflik sosial.
Kelebihan
Kekurangan
Skenario pemindahan ibu kota
Biaya pembangunan fisik ibu kota (sumber dana APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, dan swasta)
Produser: Sri Rejeki | Penulis: Sri Rejeki, M Puteri Rosalina | Web Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Infografik: Gunawan Kartapranata | Ilustrator: Tiurma Clara Jessica, Elga Yuda Pranata | Litbang Kompas: Yoesep Budianto, Debora Laksmi, M Puteri Rosalina, Yohanes Adven, Rangga Eka, Mahatma Chrysna, Andreas Yoga, Agustina Purwanti | Penyelaras Bahasa: Nanik Dwiastuti | Fotografer: Wawan H Prabowo, Agus Susanto, Lucky Pransiska, Megandika Wicaksono, Arbain Rambey, Raditya Helabumi, Dionisius Reynaldo Triwibowo, Cyprianus Anto Saptowalyono, Lukas Adi Prasetya, Alif Ichwan | Sumber: Litbang Kompas, BPS, BNPB, dan Google Earth
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.