Ganti orientasi perangkat anda menjadi mode potrait
on
off
Selama ribuan tahun mengairi ”Bumi Pasundan”, Citarum telah berevolusi dari berkah bagi warga sekitar menjadi bencana. Akankah kembali menjadi berkah?
PLTA Cirata, berkekuatan 8 x 126 MW, diresmikan Presiden Soeharto bersamaan dengan PLTA Mrica (Jawa Tengah) dan PLTA Sengguruh (Jawa Tengah) Sabtu, 25 Maret 1989. Ketika itu, kapasitas pembangkit listrik di seluruh Indonesia baru 8.000 MW.
Pembangunan Waduk Jatiluhur dikerjakan setelah tahun 1957 pemerintah mengambil keputusan untuk membendung Citarum. Proyek pembangunan itu dinyatakan selesai secara fisik setelah 10 tahun kemudian. Peresmiannya dilakukan Presiden Soeharto pada Agustus 1967. Sejak itu tamatlah tanah garapan milik ribuan penduduk kecamatan Jatiluhur.
Dari 8.300 hektar daerah itu dikorbankan menjadi danau buatan yang bisa menampung 3 miliar meter kubik air. Sejak itu Waduk Jatiluhur menjadi berkah bagi petani di daerah hilir, menjadi pusat pembangkit listrik tenaga air yang menyuplai energi untuk Bandung dan Jakarta.
PLTA Saguling, berkekuatan 700 MW, diresmikan Presiden Soeharto pada 24 Juli 1986. ”Limbah sampah, erosi akibat tanah garapan harus dipikirkan agar tidak mengganggu fungsi bendungan,” kata Presiden Soeharto.
Banjir di Mekarsari, Baleendah, Kabupaten Bandung, adalah banjir menahun. Namun, akhir tahun 2018, banjir di Mekarsari diperkirakan berkurang dengan mulai beroperasinya kolam retensi di Kampung Cieunteung, Kecamatan Baleendah.
Dari Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, air Citarum mengalir ratusan kilometer hingga Laut Jawa. Dari Tarumajaya, kebersihan CItarum seharusnya dijaga. Jangan memimpikan Citarum Harum apabila hulu Citarum pun rusak.
“Harusnya, tidak boleh ada budidaya ikan di Citarum karena airnya sudah tercemar bahan kimia beracun dan berbahaya,” kata pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia, Muhamad Husen, Jumat (5/1/2018) di Bandung. Namun faktanya, ribuan ikan dari Bendungan Jatiluhur dan Cirata tiap hari dijual di Jakarta dan Jawa Barat.
Dua bendungan itu kini juga disesaki keramba jaring apung. Di Bendungan Cirata, Sabtu (6/1), direkomendasikan 12.000 keramba jaring apung, tetapi kini sudah berkembang menjadi 70.000 keramba jaring apung. Di Jatiluhur hanya direkomendasikan 6.000 keramba jaring apung, tetapi kini sudah mencapai 24.000 keramba. Adakah solusi dari pertumbuhan keramba jaring apung?
”Untuk pabrikan atau industri yang membuang limbah ke Citarum, penanganannya mudah. Para eksekutif, bos, atau pemegang saham perusahaan harus mencoba mandi di sungai yang menampung limbah dari pabrik mereka. Saya yakin mereka kapok, ha-ha-ha...,” kata Sam Bimbo. (Kompas, Rabu, 26 Februari 2014).
Penulis: Haryo Damardono | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Reporter: Her Suganda, Cornelius Helmy Herlambang, Mukhamad Helmy | Fotografer: Agus Susanto, Bambang Sukartiono, Benediktus Krisna Yogatama, Dedi Muhtadi, Fx Puniman, Hamzirwan, Haris Firdaus, Harry Susilo, Her Suganda, Kartono Ryadi, Lucky Pransiska, Markus Duan Allo, Mukhamad Kurniawan, Nugroho F Yudho, Rony Ariyanto Nugroho, Totok Poerwanto | Infografik: Gunawan Kartapranata | Pengolah Foto: Toto Sihono | Desainer & Pengembang: Rafni Amanda, Deny Ramanda, Vandi Vicario | Produser: Haryo Damardono, Septa Inigopatria, Prasetyo Eko Prihananto