Citarum adalah sungai yang penuh dengan mimpi-mimpi pembangunan infrastruktur. Pada era Orde Baru, diimpikan pembangunan pembangkit listrik tenaga air di 9 lokasi mulai dari hulu ke hilir. Bahkan, kemudian, berkembang lagi rencana untuk membangun 21 stasiun PLTA di Citarum (Kompas, 9 Agustus 1980).
Jauh sebelumnya, ahli pengairan Belanda, Prof WJ Blommstein, juga berencana mengembangkan 17 sungai di Jawa, termasuk Citarum. Rencana Prof WJ Blommstein ini terdokumentasi dalam kertas kerjanya berjudul, ”A Federal Walfare Plan for the Western Part of Java” (1948).
Setelah puluhan tahun berlalu, infrastruktur apa saja yang telah dibangun di sepanjang Citarum?
Bendung Walahar
”Upacara seremonial, pidato khidmat, dan sampanye. Inilah yang dilihat ratusan penonton. Tetapi, mereka yang telah membangunnya selama bertahun-tahun, mereka yang telah memberikan semua kecerdikan dan semua cintanya pada karya ini memiliki gambaran yang berbeda. Karena titik akhir yang meriah ini, mereka tahu hanyalah awal. Benar, pekerjaan sebenarnya belum datang”, Walahar, 1925, dikutip dari buku: Water Over Sawah's Amsterdam, H.J. Paris, 1949, yang ditulis oleh C Swaan-Koopman.
Pekerjaan sebenarnya adalah tentu saja bekerja keras meningkatkan produktivitas pertanian padi. Apabila sebelumnya dalam setahun hanya ada satu masa tanam. Dengan kehadiran Bendung Walahar, penanaman padi dapat lebih dari satu kali masa tanam.
Sesuai tulisan di dinding bendung itu, Bendung Walahar mulai dimanfaatkan pada 30 November 1925. Sebelumnya, selama dua tahun, konstruksi bendung dibangun di bawah pengawasan ahli hidrologi Belanda, C Swaan Koopman.
Menurut buku Irrigation History of Indonesia (2004), Bendung Walahar merupakan satu dari 19 bendung di Pulau Jawa yang dibangun tahun 1920. Empat bedung di antaranya dibangun di Jawa Barat, yakni di Sungai Citarum, Cipunegara, Cimanuk, dan Cilutung.
Luas areal tanam yang dilayani oleh Bendung Walahar mencapai 87.506 hektar. Sebagai perbandingan, kira-kira luas areal tanamnya sekitar 1.000 kali luas lapangan Monumen Nasional (Monas).
Bendung Curug
Bendung Curug yang dibangun tahun 1965 membagi aliran Sungai Citarum menjadi tiga, yakni saluran induk Tarum Tengah, Tarum Barat, dan Tarum Timur. Saluran induk Tarum Tengah merupakan daerah aliran sungai asli dari Citarum. Adapun Tarum Barat menggelontorkan air sepanjang 68,67 kilometer hingga Jakarta dan Tarum Timur membentang sepanjang 67,37 kilometer.
Saluran Induk Tarum Barat tentu tidak sekadar mengantarkan air dari Citarum menuju Jakarta, ibu kota negeri, sebagai salah satu sumber air bersih. Namun, Tarum Barat sejak awal didesain untuk mengairi 56.628 hektar areal sawah.
Demikian pula dengan Saluran Induk Tarum Timur yang juga didesain untuk mengairi 90.230 hektar areal sawah. Bahkan, Tarum Timur tidak hanya melayani petani di Kabupaten Karawang dan Subang, tetapi juga petani di Kabupaten Indramayu.
Tahun 1939, Profesor Blommstein telah memikirkan distribusi air dari barat-timur di pantai utara Pulau Jawa. Namun, Blommstein merencanakan pembangunan pompa hidrolis yang bergerak dengan kekuatan air itu sendiri. (Buku: Wajah Jasa Konstruksi Indonesia: Tinjauan Keberpihakan, 2010)
Profesor Sedyatmo kemudian memodifikasi ide itu dengan membuat rancangan baru pompa hidrolis. Keunikan dari rancangan baru itu adalah kemiringan sudut-sudut pompa diubah menjadi 45 derajat sehingga ada tenaga lebih besar untuk menaikkan air menuju saluran induk.
”Susunan umum daripada pompa air ini sangat tidak konvensional dan tidak diragukan lagi bahwa instalasi turbin-pompa ini adalah yang paling penting dari jenisnya di seluruh dunia,” kata Ir L Puyo, Direktur Neyrpic, Perancis, saat melihat desain Sedyatmo (Kompas, 29 Oktober 1966).
Pemenang tender pompa itu adalah Ferrostaal AG Essen dari Jerman. Tidak heran apabila kemudian, dana pinjaman untuk pengadaan pompa air itu didapat dari Jerman (Jerman Barat, ketika itu).
Jatiluhur
”Saya punya pesan kepada pihak kaum buruh, pun supaya kaum buruh memberikan sumbangan tenaganya sepenuh-penuhnya kepada pelaksanaan proyek ini. Ingat, proyek ini bukanlah proyek milik satu orang kapitalis, tetapi ini adalah proyek negara, proyek rakyat, proyek kita semua,” kata Ir Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia, saat mengunjungi Proyek Bendungan Jatiluhur, 19 September 1965.
Dari pidatonya, tampak keinginan kuat Ir Soekarno agar Bendungan Jatiluhur cepat selesai sebab Jatiluhur merupakan kunci peningkatan produktivitas pertanian, selain untuk mengendalikan banjir dan memenuhi kebutuhan air baku.
Digagas oleh ahli pengairan, WJ van Blommestein, pada tahun 1930, Bendungan Jatiluhur akhirnya menggenangi wilayah seluas 8.300 hektar.
Jatiluhur awalnya didesain untuk mengairi lahan seluas 517.240 hektar (ha). Namun, saat diresmikan Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967, luas lahan tinggal 240.000 ha. Berkurang banyak, tetapi tetap terbilang luas dan kondisinya tetap prima.
Selain sebagai sumber air untuk pengairan, di Jatiluhur juga dibangun pembangkit listrik tenaga air berkekuatan 187 MW.
Terbangunnya Jatiluhur, yang hingga kini masih tetap bendungan terbesar di Indonesia, kata Presiden Soeharto merupakan buah kerja sama rakyat Indonesia. ”Bangunan raksasa ini juga merupakan manifestasi kegotongroyongan rakyat-pemerintah. Bahkan, lambang kerja sama dan persahabatan rakyat dan pemerintah Indonesia-Perancis,” ujar Soeharto, saat peresmian bendungan.
Pembangunan Jatiluhur memang didanai kredit dari Perancis senilai 130 juta dollar Amerika Serikat ditambah Rp 50 miliar uang lama dan Rp 50 juta uang baru. Sebagai pembanding, harga Holden baru keluaran tahun 1967 mencapai 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 280.000 per unit.
Bendungan Cirata
Bendungan Cirata mulai beroperasi pada 23 Maret 1989. Bendungan ini membentuk perairan seluas 6.200 hektar setelah pemerintah merelokasi lebih kurang 10.100 kepala keluarga. Bendungan ini juga dimanfaatkan sebagai PLTA berkapasitas produksi 1.008 megawatt (MW) atau 8 x 126 MW.
Bendungan Saguling
Bendungan Saguling mulai beroperasi pada 24 Juli 1986. Bendungan ini membentuk perairan seluas 5.600 hektar setelah pemerintah merelokasi lebih kurang 3.709 kepala keluarga. Bendungan ini juga dimanfaatkan sebagai PLTA dengan kapasitas daya 700-1.400 MW.
Ratusan hektar sawah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, beberapa tahun lalu diterjang banjir Sungai Citarum. Pertanyaan bermunculan. Bukankah di Sungai Citarum ada tiga bendungan besar? Ada Jatiluhur, Cirata, dan Saguling. Di mana bendungan-bendungan itu, misalnya, saat harus bertugas mengendalikan banjir?
Kini, demi masa depan puluhan juta warga di DAS Citarum, infrastruktur terus dibangun. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus mendesain dan membangun, mulai dari normalisasi sungai, kolam retensi, hingga terowongan.
Pertanyaannya, apakah hanya infrastruktur satu-satunya cara mencegah banjir ataupun menangani sungai? Apakah sungai hanya dapat ditangani dengan infrastruktur? Berapa ratus miliar rupiah atau triliun rupiah harus digelontorkan?
Pembangunan infrastruktur harusnya ditimbang dengan matang. Pantang membangun dam, misalnya, ketika hulu sungai rusak sehingga erosi tanah masuk ke Citarum. Pantang membangun jaringan irigasi apabila tidak ada kepastian pasokan air.
Di samping itu, peran warga dalam menjaga sungai harus terus ditingkatkan. Tanpa peran serta warga, pembangunan infrastruktur akan sia-sia belaka.