Tujuh tahun. Presiden Joko Widodo menargetkan pemulihan Sungai Citarum dapat dituntaskan dalam tujuh tahun. ”Belum terlambat untuk memperbaikinya. Namun, jika kita tidak bekerja cepat, bisa jadi akan terlambat,” ujar Presiden.
Presiden menegaskan, Daerah Aliran Sungai Citarum harus dipulihkan. ”Langkah ini akan jadi contoh untuk revitalisasi DAS di Indonesia, seperti Bengawan Solo dan Brantas,” kata Presiden, saat meninjau kawasan hulu Sungai Citarum di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/2/2018).
Untuk menegaskan komitmennya, Presiden Jokowi berjanji akan memantau pembenahan Citarum setiap tiga bulan atau selambat-lambatnya setiap enam bulan. Jadi, kata Presiden, penyelamatan Citarum tidak sekadar seremoni.
Pernyataan sikap Presiden Jokowi itu diungkapkan di hadapan sejumlah menteri, di antaranya Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Presiden Joko Widodo mendengarkan keterangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei (paling kanan) dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang pembangunan kolam retensi di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Rabu (12/4/2017).
Turut hadir di hulu Citarum, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Doni Monardo, Kepala Polda Jabar Irjen Agung Budi Maryoto, dan Bupati Bandung Dadang Naser.
Sudah tepat kiranya kehadiran Presiden Jokowi di hulu Citarum. Meski pembenahan Citarum harus dikerjakan secara simultan di sekujur tubuh Citarum, gema dari seruan pembenahan Citarum memang paling tepat dari kawasan hulu.
Sebelum Presiden merapat ke hulu Citarum, beberapa minggu sebelumnya, tepatnya Minggu (28/1/2018), pembersihan hulu sungai sudah dimulai. Panglima Daerah Militer III/Siliwangi Mayjen TNI Doni Monardo turun tangan langsung membersihkan hulu Citarum.
”Warga Jawa Barat (Jabar) di bantaran Sungai Citarum ini terancam kehilangan sumber mata air. Ini persoalan serius. Sebab, Jabar dihuni lebih dari 40 juta orang dan menjadi provinsi penyangga Ibu Kota,” ujar Doni, yang juga Wakil Ketua Tim Satuan Tugas Pembenahan Sungai Citarum.
Sejak Januari 2018, ribuan prajurit TNI bersama pemda dan warga sudah bergerak membersihkan Citarum. Perahu khusus pengangkut sampah juga telah dirakit untuk menyusuri Citarum guna membersihkan sungai itu.
Hukum terhadap pencemar Citarum juga ditegakkan. Akhir Januari 2018, Polda Jawa Barat melarang tiga perusahaan beroperasi karena diduga membuang langsung limbah bahan beracun dan berbahaya ke Citarum tanpa diolah.
Ketiga perusahaan itu adalah CV Xpress Laundry, CV Ciharuman Laundry, dan CV Elvito Washing, yang semuanya beroperasi di Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. ”Di lokasi kejadian telah dipasang garis polisi,” kata Kapolda Jabar Irjen Agung Budi Maryoto.
Kali ini, banyak pihak serius dengan pembenahan Citarum. Selasa (16/1/2018), Presiden Jokowi sendiri yang memimpin rapat terbatas terkait DAS Citarum di Graha Wiksa Praniti Kantor Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Kementerian PUPR, Bandung.
Tentu saja, Citarum tidak pernah dibiarkan sendiri.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Dadan Ramdan, dalam waktu 30 tahun, lebih kurang sekitar Rp 4,5 triliun telah dicurahkan untuk Citarum. Hanya, sejauh ini belum terlihat hasilnya.
Sejumlah Proyek di Sungai Citarum
Februari 2015
Pembangunan 100 dam pengendali dari kebutuhan 400 dam. Biaya pembangunan dam pengendali paling murah Rp 200 juta dan penahan biaya paling murah Rp 40 juta.
Juni 2016
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan dana sekitar Rp 24 miliar dari APBD untuk pemulihan Sungai Citarum.
Desember 2017
Kodam III/Siliwangi bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menginisiasi program Citarum Harum.
Januari 2018
Penanganan pencemaran Sungai Citarum dibagi dalam 20 sektor, melibatkan sejumlah pihak, seperti pemerintah daerah, TNI, Polri, balai besar wilayah sungai, dan komunitas peduli lingkungan.
Faktanya, hingga detik ini Citarum masih saja kotor, tidak hanya kotor, tetapi juga tercemar. Pencemaran tidak saja mengotori Citarum, tetapi juga makhluk hidup, termasuk manusia yang hidup dan bergantung pada Citarum.
Reportase harian Kompas, Sabtu, 3 Maret 2018, di halaman 20 dengan judul ”Kepedulian Jaga Sungai Rendah” memperlihatkan Citarum yang kembali kotor. Lokasi pastinya di Citarum, tepatnya di pertemuan Sungai Cikapundung-Citarum.
Pertemuan dua sungai itu kembali kotor, padahal baru tiga hari sebelumnya dibersihkan oleh personel TNI dari Kodam III/Siliwangi, warga setempat, dan sejumlah komunitas peduli lingkungan. Pembersihan sungai itu seolah menjadi sia-sia belaka.
”Operasi militer”
Bagaimana untuk dapat kembali membersihkan Citarum? ”Operasi militer” tentu dapat kembali dilakukan. Karena Pangdam III/Siliwangi punya komitmen kuat, ribuan prajurit TNI dapat kembali diterjunkan ke Citarum untuk membersihkan sungai itu.
Ribuan warga dapat diminta bekerja keras dan ribuan aktivis lingkungan hidup dapat turun tangan untuk membersihkan sungai. ”Penegakan hukum akan lebih kuat jika dilakukan satu pintu oleh Kepolisian Daerah Jabar dan Kejaksaan Tinggi Jabar,” ujar Doni.
Doni juga berharap peraturan presiden (perpres) tentang Satuan Tugas Penanggulangan Pencemaran Sungai Citarum dapat segera diterbitkan. Berbekal perpres itu, Doni yakin dengan keampuhan hukum untuk melakukan penindakan.
Pertanyaannya, benarkah hanya dengan perpres itu Citarum dapat harum? Benarkah persoalan koordinasi menjadi beres dengan terbitnya perpres tersebut? Bukankah Cita Citarum, program Citarum yang lebih dulu diluncurkan, dahulu dikoordinasikan oleh Bappenas, yang piawai dalam urusan koordinasi?
Menanti peran warga
Kiranya, Citarum yang bersih, harum, dan lestari, hanya dapat dicapai dengan peran serta seluruh warga. Tidak hanya warga yang hidup dan bergantung pada Citarum, tetapi juga warga di DAS Citarum dan anak-anak sungai yang bermuara di Citarum.
Mengapa begitu? Karena sejumput sampah yang dibuang di anak Sungai Citarum, meski dari lokasi berjarak belasan kilometer, tetap saja akan bermuara di Citarum. Sampah rumah tangga yang dibuang begitu saja melalui drainase kota juga dapat berdampak buruk bagi Citarum.
Sejauh ini, warga mulai berperan. ”Kini, sejumlah masyarakat di bantaran Sungai Citarum dan anak sungainya antusias dengan bank sampah,” ujar pendiri Bank Sampah Bersinar (BSB) di Kabupaten Bandung, Fifie Rahardja, pada bazar Belanja dengan Sampah. (Kompas, Jumat, 19 Januari 2018).
Digelar di Cipaganti, di DAS Cikapundung—salah satu anak Sungai Citarum, warga antusias ”membarter” sampah. Sampah anorganik, seperti plastik, kertas, kaca, hingga ban sepeda motor, dibawa warga setempat. Sampah itu lantas ditukar dengan kupon pembelian bahan pokok, pakaian, atau sandal-sepatu berharga murah.
”Sejak 2014 hingga saat ini, jumlah nasabah BSB mencapai 7.000 orang. Total tabungan bank sampah mencapai Rp 200 juta per tahun. Harga sampah berkisar Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Dulu, sampah itu dibuang begitu saja ke sungai,” katanya.
BSB ini adalah salah satu inisiatif untuk meraih masa depan Citarum yang lebih baik. Inisiatif yang perlu untuk terus dihidupkan dan diduplikasi di wilayah lain.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga kembali berbuat sesuatu yang lebih nyata. Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung Dedy Dharmawan, misalnya, mengatakan, pemerintah siap menampung kompos warga hingga 60 ton per hari.
”Volume sampah yang dibuang ke sungai harus dikurangi. Rumah tangga dapat mengolahnya menjadi pupuk organik cair ataukah pupuk kompos,” kata Dedy.
Data Balai Besar Wilayah Sungai Citarum menyebutkan, di wilayah Cekungan Bandung yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kota Cimahi terdapat sampah organik-anorganik sekitar 20.462 ton per hari. Dari jumlah itu, 71 persennya tidak terangkut hingga ke tempat pembuangan akhir sehingga kemungkinan dibuang ke Citarum.
Gerak swasta
Ketika sinergi dibutuhkan, program Citarum Harum ternyata didukung oleh kalangan swasta. Empat perusahaan swasta, misalnya, telah menyumbang dana Rp 20 miliar untuk mengembalikan Citarum seperti aslinya.
Pendiri Mayapada Group, Tahir (kiri) berbicara dengan Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo (kanan) dalam pertemuan dengan sejumlah pengusaha kawasan Cimahi dan Bandung di aula Siliwangi Markas Kodam III Siliwagi, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (12/1/2018).
Jumat (12/1/2018), komitmen pendanaan disampaikan oleh Dato’ Sri Tahir, pendiri Grup Mayapada, di Markas Kodam III/Siliwangi, Bandung. Selain Tahir Foundation, dana bantuan diberikan oleh PT Intiland Development Tbk, PT Sioeng Group, dan PT Hanson International Tbk
”Kami mempunyai kewajiban moral ikut memulihkan kondisi Sungai Citarum. Sedikitnya 80 persen warga Jakarta yang menikmati airnya,” kata Tahir. Tahir berkata benar. Air dari Citarum akhirnya diolah menjadi air minum bagi warga Jakarta.
Menurut Doni, perusahaan Artha Graha juga telah menyatakan kesanggupan dalam pembibitan, perawatan, dan penanaman pohon di lahan kritis seluas 80.000 hektar di DAS Citarum. Swasta telah bergerak dan masih dibutuhkan gerakan-gerakan lain.
Setidaknya, gerakan-gerakan dari masyarakat dan swasta telah membuktikan betapa Citarum mendapatkan dukungan. Dukungan bagi Citarum jelas tidak boleh sebatas dalam hal pembangunan infrastruktur. Hal-hal lain bahkan dalam hal urusan sampah jelas harus dilakukan dengan sangat serius dan melibatkan banyak elemen warga.
Peran serta warga, siapa pun dia, dalam menjaga Citarum dengan demikian sangat penting. Meski lebih penting lagi adalah upaya untuk mendidik generasi muda untuk mencintai Citarum. Upaya pembersihan Citarum tidak dapat instan, dan Citarum tetap terus dibutuhkan bagi generasi-generasi mendatang.
Tujuh tahun kiranya merupakan waktu yang realistis untuk memulihkan Citarum.