Oleh Tim Harian Kompas 11 September 2023 09:05 WIB
Cerita tragis anak buah kapal migran yang bekerja di kapal ikan asing seperti tidak ada habisnya. Ada yang mengalami kerja nonstop 20 jam sehari, kekerasan fisik, makan bubur dingin, hingga dilarung ke laut lepas.
Minimnya perlindungan awak kapal perikanan karena tidak adanya kejelasan mekanisme pengawasan membuat mereka kian rentan mengalami eksploitasi. Tidak ada jalan kembali bagi mereka begitu kapal ikan membuang sauh dan menuju lautan lepas.
Tidak hanya saat di atas kapal, ABK migran asal Indonesia ini sudah diperdaya sejak di negeri sendiri setelah mereka melamar kerja. Mereka tersandera jeratan eksploitasi perusahaan penyalur dengan beragam bujuk rayu menghanyutkan.
Minimnya perlindungan awak kapal perikanan karena tidak adanya kejelasan mekanisme pengawasan membuat mereka kian rentan mengalami eksploitasi.
Bahkan, setelah meninggal pun, para ABK migran ini masih terkena jerat eksploitasi. Hak-hak mereka yang seharusnya diberikan ke ahli waris dikebiri perusahaan penyalur dengan beragam modus yang menyalahi ketentuan.
Dengan kata lain, ABK mengalami eksploitasi tak berujung sejak awal mulai melamar bekerja di Tanah Air, ketika bekerja di kapal ikan asing, bahkan saat sudah dalam kondisi tak bernyawa.
Liputan investigasi harian Kompas selama Juli-Agustus 2023 merekam beragam kisah pilu ABK perikanan migran yang mengalami kerja paksa di atas kapal dan keluarga mereka yang diperdaya oleh perusahaan penyalur. Berikut kisah mereka….
Mengalami Kerusakan Saraf
Hidup tak lagi sama bagi Muhammad Syafi’i (32) setelah memutuskan bekerja di kapal ikan Lu Rong Yuan Yu 211 pada Mei 2021 silam. Naas seolah menggelayuti dirinya begitu kapal tersebut membuang sauh menuju laut lepas. Pengalaman bekerja di kapal ikan berbendera China tersebut berbuah penderitaan yang tak berkesudahan bagi Syafi’i setelah mengalami kecelakaan kerja. Kecelakaan itu terjadi ketika Syafi’i sedang memasak di dapur dan kapal tiba-tiba limbung karena menghantam ombak di Samudra Pasifik. Melompat ke Selat Malaka
Berharap dapat memperbaiki ekonomi keluarga, Mashuri nekat bekerja di kapal ikan asing. Namun di sana lah ia nyaris menemui kematian. Bersama ketiga rekannya sesama ABK, mereka nekat melompat dari kapal ikan Fu Yuan Yu 1218 yang tengah berada di tengah Selat Malaka. Akibatnya, mereka terombang-ambing di lautan selama 12 jam di atas tumpukan styrofoam berukuran 2 x 2 meter yang diikat jadi satu. Dalam kondisi lemah dan perut kosong, mereka hanya berharap dapat ditemukan oleh kapal yang melintas. Dipukuli dan Kerja 20 Jam Sehari
Adi Saputra harus kehilangan beberapa giginya karena mendapat kekerasan dari sesama anak buah kapal. Ia pun tidak mau menuntaskan kontrak kerjanya sebagai ABK di kapal ikan berbendera China. Perkara bermula dari kerja paksa yang dijalani Ardi sejak melaut pada Mei 2018. Dalam sehari, ia mengoperasikan jaring untuk menangkap ikan rata-rata pukul 11.00-05.00. Selama hampir 20 jam ia tidak boleh duduk sama sekali. Waktu istirahat yang hanya empat jam, tidak mendapat ganjaran gizi yang baik. Korban dan Saksi Kekerasan
Pada suatu dini hari, Ardi melihat rekannya dipukul di bagian belakang telinga kanan. Paginya, Ardi dan kawan-kawannya berniat membangunkan SG. Namun, mereka kaget karena mendapati SG sudah tak bernapas dengan posisi tangan memegangi bagian yang terkena pukulan. Darah segar juga mengalir dari lubang hidung dan telinganya. Ardi menduga, rekannya itu dipukul oleh mandor karena dianggap kurang cepat bekerja. Kapten kapal berencana melarung jenazah SG tetapi dicegah oleh Ardi dan teman-teman. Hak Santunan Jenazah yang Dipangkas
Sukari Tamin kehilangan Kasnali, putra sulungnya, enam tahun lalu. Kasnali meninggal pada 2017 tanpa informasi sebab yang jelas. Ia hanya disebutkan jatuh dari kapal berbendera China, Hebei 8588, setelah sekitar empat bulan berlayar. PT Berkah Jaya Bahari yang merekrutnya menyebut Kanali meninggal karena bunuh diri. Sukari merasa janggal. Apa yang terjadi di atas kapal sampai-sampai anaknya nekat mencemplung ke laut hingga akhirnya jasad almarhum terdampar di pantai negara Cile? Kehilangan Suami dan Uang Jaminan
Sudah kehilangan yang dicinta, dimintai uang pula. Begitulah pengalaman Sri Rahayu saat mengurus hak-hak ahli waris terkait kematian suaminya, Warnoko. Almarhum yang berangkat melalui perantara PT GNM Shipping Marindo disebut meninggal akibat sakit ginjal. Untuk bisa melaut ke Korsel, Warnoko wajib menyerahkan jaminan ke GNM dengan dalih agar ia selesaikan kontrak kerja. Almarhum menitipkan uang Rp 60 juta serta sertifikat tanah ibunya. Jika mangkir sebelum kontrak berakhir, uang jaminan hangus. Anaknya Dilarung di Laut Lepas
Olipah tidak akan pernah bisa berziarah ke makam anaknya, Akhmad. Bahkan, melihat langsung untuk terakhir kalinya pun tidak bisa karena jasad anaknya telah dilarung. Olipah meminta jenazah anaknya dipulangkan. PT Puncak Jaya Samudera, penyalur Akhmad sebagai anak buah kapal, menjanjikan jenazah bisa dimakamkam di Batam. Janji tak terpenuhi karena kapal batal bersandar di Batam. Setelah 23 hari meninggal dan berada di atas kapal, jasad Akhmad dilarung ke laut lepas. Dipungut Biaya Pemulangan Jenazah
Tarwen adalah istri dari almarhum Sulaeman, anak buah kapal yang meninggal karena kecelakaan kapal di Korea Selatan pada tahun 2020. Pascapemakaman suaminya, PT GNM Shipping Marindo yang memberangkatkannya, memberi tahu Tarwen bahwa dia memiliki utang Rp 25 juta. Uang itu disebut sebagai biaya pemulangan jenazah almarhum. Sebelum utang dibayarkan, PT GNM menahan jaminan berupa akta jual beli tanah dan uang Rp 60 juta yang telah dibayarkan Sulaeman sebelum berangkat. Sudah jatuh tertimpa tangga.